“Kalian ada hubungan, ya?”Kaila masih melanjutkan makannya meskipun pertanyaan dari Bumi sedikit mengejutkan dirinya, lagi pula semua orang di sini pasti sedang mengira kalau Kaila punya hubungan dengan Angkasa. Cowok satu itu memang membuat semuanya semakin rumit. Stres kayaknya. “Jangan terlalu kepo,” sahut Kaila melirik Bumi. “Mau gue punya hubungan atau enggak sama dia, itu bukan urusan lo,” lanjutnya. Bumi mengangguk perlahan. “Ya nanya doang sih,” balasnya pelan. "Hei Bum!” seru seseorang. Ghina, teman satu angkatan Tania dan Kaila menghampiri mereka bertiga. Ia menatap Kaila sedikit tidak senang, Kaila bahkan tidak tahu apa yang sudah ia perbuat pada gadis itu sampai-sampai dia tidak senang melihat Kaila. “Kalian berdua ngapain di sini?” tanya Ghina pada Tania dan Bumi. Tania dan Bumi menatap satu sama lain dengan bingung. “Ya duduk?” jawab mereka bersamaan. Kaila tertawa pelan. Dia tidak bisa menahannya karena ekspresi serta nada kedua orang itu sangat lucu m
Kaila tidak tahu apa yang ada di otak Angkasa saat ini. “Deket sama kamu?” ulang Henni. “Jadi kamu beneran mengakui kalo kamu lagi dekat sama cewek ini?” tanya Henni menekankan semua kalimatnya. Semua orang juga menatap ke arah mereka. Beberapa banyak yang terkejut, tapi ada yang biasa saja dan terlihat tidak begitu tertarik namun masih mendengarkan karena tidak ingin ketinggalan informasi. “Ya,” jawab Angkasa mantap. “Dia temen gue,” lanjutnya. Kaila hanya diam di sana. “Jadi lo bisa gak berhenti ganggu semua temen cewek gue?” tanya Angkasa dengan tajam. “Ini bukan kali pertama lo kayak gini Hen, ini udah ke sekian kalinya lo ngelabrak temen gue seakan-akan mereka salah temenan sama gue.” Semua orang mulai berbisik-bisik dan Kaila bisa mendengar beberapa ocehan dari beberapa orang yang ada di belakangnya. “Iya ih bener, Kak Henni sering banget kayak gitu.”“Lebay ya, padahal cuma mantan.”“Lagian dia gak sih yang selingkuh. Aneh banget dia yang selingkuh dia juga yang mohon-mo
“Lo nyari apaan sih?” Kaila melihat Angkasa sedari tadi mondar-mandir di apartemen mereka. Terlihat sekali sedang mencari sesuatu tapi dia tidak mengatakan apa yang sedang ia cari, jadi Kaila ikut pusing melihatnya tanpa bisa membantu. “Topi gue,” jawabnya. “Lo liat gak?” “Warna apaan?” tanya Kaila balik. “Merah.” “Gue liat ada di dalam mesin cuci,” jawab Kaila menunjuk ke arah mesin cuci yang ada di pojokan. “Kok ada di sana?” tanya Angkasa seraya berjalan menuju mesin cuci dan benar saja, topinya ada di sana. “Lo ya yang ngeletakkin di sini?” tuduhnya. “Enak aja, ngapain,” sahut Kaila tidak terima. Dia memakai topinya dan kembali masuk ke kamar beberapa detik, lalu keluar lagi dan duduk di depan Kaila yang sedang duduk di kursi makan sembari memakan serealnya. Mereka berdua sudah akrab. Ya, sejak beberapa hari lalu ketika Angkasa mengatakan kalau Kaila punya teman. Namun sejujurnya, Kaila juga masih menjaga jarak. Dia memang sudah santai dan nyaman dengan Angkasa tapi ia ma
Siang semakin terik dan Kaila harus pergi ke kafe. Kaila berdiri di balkonnya dengan pakaian yang sudah siap untuk pergi, tapi dia menatap matahari yang sedang memancarkan aura panasnya. Hari ini benar-benar terik, ia mungkin bisa terbakar kalau naik ojek motor. Kaila membuka ponselnya dan melihat beberapa buah pesan masuk. Salah satunya ada dari Mamanya, yang sampai sekarang Kaila tidak tahu Mamanya dapat nomornya dari mana. Atau mungkin Mamanya minta dengan salah satu temannya di kampus karena Kaila bergabung di grup kelas mereka dan tentu saja mereka punya nomor ponsel Kaila. Kalau begitu ceritanya, berarti Mamanya masih suka mencari Kaila di kampus? Wah. Kaila memutuskan untuk pergi sekarang juga karena waktu sudah menunjukkan pukul dua dan lebih baik menunggu daripada terlambat, jadi ia memilih untuk pergi sekarang juga. Sebelum pergi, ia memastikan untuk menutup dan mengunci pintu balkon, sesuai pesanan Angkasa. Lalu dia keluar apartemen dan menuju halte terdekat. Dia akan
Farel berdiri di sana dalam diam.Begitu juga dengan Kaila, namun selang beberapa detik ia menunduk dan menyapa semuanya.“Selamat datang,” sapa Kaila namun dengan ekspresi yang datar. Ia tidak tersenyum sama sekali karena ia tidak bisa dan juga tidak ingin memberikan senyumannya pada orang-orang yang sedang berdiri di sana.“Wih, beneran kerja di sini lo, Kai?” tanya Tata, gadis yang ada di belakang Hina, ia terkekeh menatap Kaila dari ujung kaki sampai ujung kepala. Meremehkan.“Mama lo bukannya udah kaya ya jadi simpenan om-om?” ujar sebuah suara lainnya, Julia, gadis bertubuh ramping dan rambut yang panjang sepinggang.“Heh, gak boleh ngomong gitu,” sahut Wawan, pemuda yang satunya, tapi sepertinya hanya bercanda.“Ups, sorry, gak maksud bilang gitu,” ujar Julia dan menutup mulutnya dengan menyebalkan.Saat ini, hanya ada beberapa pelanggan di sini tapi obrolan mereka bisa didengar oleh pelanggan lainnya, termasuk Altar yang duduk tidak jauh dari tempat Kaila berdiri. Dia diam di
“Tau gak, orang bodoh emang banyak omong.”Altar mengatakan itu dari tempat duduknya. Dia masih duduk di sana yang hanya terpisah oleh satu meja.“Lo siapa?” tanya Tata. “Gak usah ikut campur.”“Gimana gue gak ikut campur, orang kalian aja ngajak ngomong semua orang yang ada di sini,” jawab Altar. “Kalian ngajak kami bicara, dan artinya gue boleh dong nimbrung omongan kalian?”Kaila melihat Altar yang terlihat sangat santai kemudian Altar berdiri dari tempat duduknya dan berjalan menuju meja itu. Ia menatap dua pemuda yang ada di sana. Farel dan Wawan.“Lo apa gak malu bro punya temen kayak gini?” tanya Altar dengan nada mengejek. “Kalo gue mah gak mau ya temenan sama orang-orang kayak gini, kecuali kalo gue juga kayak mereka,” lanjutnya dan mengisyaratkan sesuatu.Wawan hendak protes karena Altar baru saja mengatakan kalau Wawan dan Farel sama saja seperti keempat gadis itu, tapi Farel menahan tangan Wawan supaya pemuda itu tidak memperpanjang masalah.“Sorry,” ujar Farel. “Gue bakal
Angkasa masih berdiri di tempatnya dengan menatap lelah ke arah Kaila. Sebelumnya, Altar memberitahunya kalau teman-teman Kaila datang ke kafe dan mereka menghina Kaila lagi, tidak hanya itu, Altar juga memberitahu kalau kemungkinan ada mantan Kaila di sana. Altar memberitahu Angkasa di jam sepuluh tadi, sangat terlambat sebenarnya karena kejadian itu terjadi di sore hari tapi Altar memberitahu Angkasa ketika kafe itu tutup. Sialnya lagi, setelah Angkasa mendapat pesan dari Altar, ponsel Kaila tidak aktif. Dia masih ada di rumahnya saat itu. Menonton televisi dengan adiknya tapi seketika dia pergi dari sana dan membuat adiknya kebingungan karena dirinya pergi tiba-tiba. Angkasa juga tidak mengerti, kenapa dia sekhawatir ini? “Kenapa khawatir sama gue?” tanya Kaila masih di tempatnya dengan kerutan di dahinya yang semakin dalam. “Emangnya gue ngapain?” tanyanya lagi dan tidak mengerti kenapa Angkasa bertindak seperti ini. Jangankan Kaila, Angkasa saja tidak mengerti dengan diriny
Kaila tidak bisa tidur. Pertama, karena ia merasakan nyeri di perutnya. Kedua, karena ucapan yang dilontarkan oleh Angkasa beberapa jam tadi. “Karena gue beneran khawatir hari ini, Kai. Gue serius.” Kaila berbaring di kasurnya dengan tangan yang menekan perutnya karena merasakan nyeri yang luar biasa. Matanya menatap lampu kamarnya yang mati dan sinar matahari sedari tadi sudah memasuki kamarnya karena ini juga sudah jam tujuh pagi. Angkasa mengatakannya dengan nada yang datar tapi Kaila bisa merasakan kalau dirinya serius mengatakan itu. Entah apa yang membuatnya merasakan kalau Angkasa serius, tapi sepertinya karena sorot matanya yang sedikit mengintimidasi namun memberikan rasa hangat. “Agh.” Sementara otaknya terus berpikir, perutnya semakin nyeri. Tadi subuh dia sempat ke toilet dan mendapati kalau dirinya datang bulan hari ini. Seperti kebanyakan gadis lainnya, Kaila juga selalu sakit perut ketika datang bulan namun biasanya dia akan meminum obat dan sakit itu sembuh. Sud