Kaila masih berdiri di tempatnya. Ia bisa melihat Angkasa yang menatap dirinya bingung. Kaila juga bisa mendengar langkah kaki semakin mendekat ke arahnya. Kak Eric semakin mendekati dirinya. “Ngapain?” tanya Kak Eric tepat di samping Kaila. Gadis itu mengeras. Raut wajahnya terlihat datar. Selama ini ia selalu kabur dari Kakaknya. Ia tidak ingin bertemu dengan Kakaknya, ia benci dengan Kakaknya yang meninggalkan dirinya sendirian dengan beban yang banyak sedangkan Kakaknya hidup dengan damai bersama Papanya. Kaila tidak menoleh sedikit pun dan langsung hendak pergi dari sana, tapi tidak semudah itu. Eric langsung menahan tangan Kaila dengan cepat. “Mau ke mana lagi, Kai?” tanyanya. “Lo udah kabur dari rumah selama satu minggu,” lanjutnya. “Gue gak kabur,” balas Kaila. “Gue diusir.” Angkasa bisa mendengar percakapan kedua kakak beradik itu karena jarak mereka masih sangat dekat, hanya terpisahkan beberapa jengkal kaki. “Mama gak pernah niat buat ngusir lo,” ujar Kak Eric denga
Udara dingin mengenai kulit Kaila dan membuat bulu kuduknya berdiri. Ia menekuk lututnya dan memeluk dirinya sendiri. Saat ini, Kaila sedang duduk di balkon apartemennya. Langit masih gelap, jalanan juga masih sepi tapi ia bisa melihat pedagang kaki lima mulai membuka lapak dan menyiapkan jualannya. Kaila bahkan bisa mencium aroma bubur ayam dari tempatnya sekarang. Nasi uduk, nasi kuning, dan berbagai macam sarapan yang ada di depan apartemennya. Ia juga melihat seorang ibu-ibu yang membawa satu buah keranjang belanjaan yang berisi sayur dan beberapa kebutuhan dapur lainnya. Gadis itu meraih gelas yang ada di sampingnya dan meminumnya dengan perlahan. Ia tidak bisa tidur. Sedari tadi ia mencoba untuk tidur tapi matanya masih kunjung belum ingin menutup. “Gak tidur lo?” Suara Angkasa mengagetkan Kaila. Gadis itu hampir menjerit dan memecahkan satu buah gelas lagi, tapi untung saja baru hampir, bukan beneran pecah. “Lo bisa gak jangan ngagetin?” keluh Kaila. Ia meletak
Kaila lagi-lagi menguap. Hari ini Kaila sudah menguap mungkin hampir empat puluh kali, dan ini masih jam enam sore. Dia sangat mengantuk karena semalam tidak tidur sama sekali, sedangkan piring serta gelas berhamburan di depannya saat ini. Meminta Kaila untuk segera membersihkan mereka yang kotor. Setelah kelas jam dua siang tadi, ia langsung menuju kafe meskipun masih ada cukup waktu untuk dirinya, tapi ia memilih untuk segera pergi ke kafe. Lagipula ia tidak punya tujuan lain. Shiftnya dimulai dari jam tiga sore sampai jam sepuluh malam. Hari ini kafe sangat ramai, Kaila tidak berhenti membersihkan piring dan gelas dan sesekali ia juga membantu Bang Yansa yang sibuk menyiapkan pesanan pelanggan. Kaila sudah menduganya, karena hari ini sangat panas. Sejak tadi pagi, sudah terlihat kalau matahari akan menantang seluruh umat manusia dengan panasnya. Baru satu jam yang lalu cuaca sudah agak mendingan karena matahari juga sudah mulai bersembunyi dan akan digantikan dengan malam hari
“Pop, Kaila mana?” tanya seorang pemuda yang angkasa tidak tahu siapa.Pemuda itu berbarengan dengan dirinya masuk ke kafe ini tadi. Ia juga tampak mengenal orang-orang yang bekerja di sini. Mungkin pemiliknya, pikir Angkasa, atau paling tidak anak pemiliknya.“Barusan ke belakang,” jawab gadis itu, yang ternyata bernama Popi, teman kerjanya Kaila.Pemuda itu mengangguk dan segera menyusul Kaila ke belakang. Ia menghilang dari balik tirai. Angkasa mencoba untuk fokus dengan apa yang dikatakan Altar saat ini karena pemuda itu sedang menjelaskan rencana BEM yang akan datang, tapi Ketua BEM-nya malah tidak menyimak.“Lo beneran gue tonjok ya, Sa,” kesal Altar karena mata Angkasa hanya menunduk dan menatap kopinya yang sudah hampir dingin tapi belum disentuhnya.“Hah, kenapa?” balas Angkasa segera mendongak.Altar menghela napas pelan. “Lo lagi ada masalah?” tanyanya pada akhirnya, ia sudah ingin bertanya sejak tadi. Sejak Angkasa menanyakan pertanyaan yang aneh menurut Altar.Angkasa men
“Lho, Bang Asa bukan?”Bumi berdiri dan menunjuk Angkasa yang juga berdiri di belakangnya, tepatnya bertumpu pada meja kasir dan menatap Kaila yang sedang mengobati lukanya. Gadis itu juga mendongak karena mendengar Bumi menyebut nama Angkasa.Angkasa terlihat bingung. “Iya,” balasnya. “Kok bisa tau gue?” tanya Angkasa memuaskan rasa penasarannya, kenapa Bumi bisa mengenalnya sedangkan dirinya tidak mengenal Bumi?“Ketua BEM kampus siapa yang gak kenal sih,” balas Bumi tertawa.Ah, dia lupa kalau dirinya adalah ketua BEM kampus, wajar saja orang banyak mengenalnya. Hm, lama-lama Angkasa juga bisa sombong nih karena banyak yang kenal dengan dirinya.Angkasa tertawa menanggapi Bumi. “Oh haha, jurusan apa emang?” tanya Angkasa pada pemuda itu.“Manajemen bang, baru masuk,” jawab Bumi dan menarik perhatian Kaila.Kaila tidak tahu kalau Bumi adik tingkatnya, ia pikir mereka berdua sebaya tapi siapa yang mengira kalau ternyata Bumi lebih muda dari dirinya, dan merupakan adik tingkatnya.Ang
Jam sudah menunjukkan hampir pukul sebelas malam.Kaila, Yansa, dan juga Popi berberes-beres kafe. Kafe tutup memang jam sepuluh, tapi bagi tiga pegawai ini, mereka tetap pulang jam sebelas karena harus membereskan ini-itu terlebih dahulu. Kaila harus mencuci piring, Popi akan mengelap meja dan mengepel lantai, Yansa akan menyiapkan kopi-kopi untuk besok serta membersihkan peralatan kopi mereka.Ketiganya masih saja sibuk, tapi ada satu orang yang hanya bersantai dan memainkan ponselnya di sana.Bumi.Pemuda itu masih belum pulang. Popi dan Yansa tahu, dia pasti akan mencoba untuk mengantar Kaila pulang. Mereka berdua juga tahu sepertinya keduanya mengenal satu sama lain sebelum bertemu di kafe ini.“Lo udah ngomong ke Kaila?” tanya Yansa mendekat.Bumi menggeleng. “Nanti aja deh, pas mau pulang,” jawabnya.“Kata gue mah pasti ditolak lagi,” sahut Popi yang memegang gagang pel. Ia tertawa mengejek.Ini bukan kali pertama Bumi mengajak Kaila pulang bareng, ini sudah kedua kalinya. Wakt
Angkasa tidak menjawab apa-apa. Pemuda itu hanya terdiam dan menatap Kaila yang memakan mie buatannya. Kemudian dia juga ikut memakan mie buatannya dan mengangguk perlahan. “Karena lo ngomong begitu, gue jadi pengen nanya,” balas Angkasa. Kaila menatap Angkasa dengan mulutnya yang penuh. “Ya!” balasnya tapi terdengar tidak begitu jelas karena mulutnya sangat penuh dengan mie. Angkasa tertawa lalu menggeleng.”Telen dulu itu,” ujarnya. “Gue cuma becanda,” lanjutnya dan terkekeh. Kaila mengunyah makanannya dan melihat ke luar jendela, tirai balkon mereka terbuka, begitu pula dengan pintu kacanya yang membuat angin malam ikut masuk. Udaranya dingin tapi Kaila tidak keberatan, dia sudah sangat terbiasa dengan udara malam seperti ini. Bukankah ada orang yang mengatakan kalau udara malam itu tidak sehat? Maka artinya Kaila tidak sehat. Dia sudah terlalu sering menghirup udara malam. “Ah, pintunya terbuka karena tadi gue ngerjain tugas di luar.” Angkasa melihat arah tatapan Kaila dan m
Cuaca hari ini cukup mendung.Kaila berjalan menyusuri jalanan dengan langkah santai. Ia melihat sekelilingnya, orang-orang berlalu-lalang, motor dan mobil juga. Burung berterbangan dari pohon satu ke pohon yang lain. Saat ini, Kaila sedang tidak punya tujuan. Sepuluh menit yang lalu ia masih berada di kelas, tapi dosen mereka baru mengabari kalau beliau tidak bisa datang karena suatu urusan. Akhirnya, Kaila memutuskan untuk berjalan-jalan saja. Lagi pula ini masih jam sepuluh, masih ada banyak waktu sebelum bekerja di kafe. Kaila juga sering berjalan sendirian di kampus seperti ini, tanpa tujuan yang jelas dan kadang berhenti untuk membeli makanan dari mamang-mamang gerobak. Kali ini ia berhenti di depan mamang gerobak yang menjual telur gulung. “Lima ya, Pak,” ujarnya. Bapaknya mengangguk dan mulai membuatkan telur gulung yang dipesan oleh Kaila. Melihat cara masak telur gulung selalu saja satisfying. Kaila memberikan uang lima ribu pada Bapaknya dan duduk di kursi yang a