Home / Romansa / Berbagi Luka / Terlalu Berisik

Share

Terlalu Berisik

last update Last Updated: 2022-03-04 13:47:27

Seorang gadis dengan seragam putih hijaunya berdiri di barisan paling belakang sembari kepalanya menunduk ke bawah. Sedari tadi, semenjak insiden di depan gerbang kampus itu, gadis itu belum juga mengangkat kepalanya. Ia bahkan tak tahu wajah para senior yang tadi sempat bertengkar kecil karenanya. Tak ada satu pun pikiran yang terlintas dalam kepalanya. Pikirannya hanya memberitahunya kalau hari ini akan berjalan sangat buruk.

Bahunya yang sempat bergetar tadi sudah cukup tenang kini. Meski tak juga berani untuk mengangkat kepalanya, menatap orang-orang yang mungkin akan menjadi teman-temannya nanti, gadis itu setidaknya sudah tak begitu merasa takut. Kondisi tengah sangat tenang sekarang. Mereka baru saja dirapikan oleh para senior yang bertugas sebagai panitia acara ospek.

“Selamat pagi, adik-adik semuanya...” sapa suara dengan aura cerianya dari area depan. Ah, acaranya akan benar-benar dimulai. Gadis itu tak menyukainya. Burukkah jika ia berharap bahwa masa sekarang ini lebih baik ditimpa virus mematikan, hingga menyebabkan kegiatan normal tak usah berjalan? Kalau bisa semuanya online, jadi tak perlu berhadapan dengan orang sebanyak kini.

“Pagi, kak!” balas kerumunan anak-anak mantan murid SMA yang sudah rapi berbaris. Jumlah mereka sangat banyak, bahkan sampai hampir mampu memenuhi halaman depan kampus atau universitas yang luasnya terhitung mengaggumkan.

“Waduh, semangat banget, ya, kayaknya. Aku jadi ikutan semangat, nih, Kak Davin!” Seorang wanita berambut hitam pendek bersuara. Ia tersenyum begitu cerah dengan microphone hitam di tangannya.

“Widih, widih, widih, aku juga, nih, Kak Inggrit. Adek-adek kita ini emang spirit-nya masih on fire banget ternyata. Saking on fire-nya, sampe nular, loh kek kita” sambung lelaki yang berdiri di sebelah wanita berambut pendek. Lelaki itu terlihat seimbang tingginya dengan si wanita. Siapa tadi namanya? Davin?

“Hahaha, iya, ya, emang luar biasa adek-adek kita ini. Oh, ngomong-ngomong, kalian semua udah siap, kan, untuk ospek hari ini? Coba, mana suaranya? Aku sama Kak Davin mau denger!”

“Siap!!!!”

No

Suara kembali terdengar ricuh. Semuanya tampak sangat bersemangat dengan segala tingkah yang tampak masih dipenuhi dengan energi anak-anak SMA.

“Wohoo!! Tuh, kan, aku jadi makin-makin-makin-makin semangat dengernya!”

“Waduh, makinnya banyak amat, tuh, Kak Inggrit, kayak robot kelebihan batre.” Kini, tawa keluar sebagai tanggapan. Candaan yang diucapkan oleh sosok bernama Davin itu mampu mengundang keceriaan dalam kerumunan manusia sekarang.

“Hahaha, maaf, maaf, habisnya gimana, dong? Itu tuh bukti kalo adek-adek kita ini emang beneran keren banget semangatnya! Iya, gak?!?!”

“WOOOO!!!”

“Oke, oke. Nah, sebelumnya, kita berdua mau ngenalin diri dulu. Ada yang udah tau siapa nama kita?”

“Kak Inggrit!!/Kak Davin!!” teriak kerumunan bersusul-susulan.

“Wih, ternyata kita terkenal, Kak Inggrit.”

“Heh, tadi, kan kita saling nyebut nama, gimana, sih? GR banget kamu, tuh.”

“Oh? Iya deng, ya, hehe...” Tawa kembali terdengar. Gadis itu akui, kedua pembawa acara yang bernama Inggrit dan Davin itu memang cukup menyenangkan dan interaktif. Meski tak begitu jelas bentuk dan rupa wajahnya, gadis itu seolah tahu kalau keduanya memiliki tampilan yang ramah senyum. Mengerti, kan, maksudnya?

“Haduh, emang dasar Kak Davin ini. Oke, sekarang ini, udahan dulu, deh, bercandanya. Nanti kalo bercanda terus, waktunya makin kebuang banyak.” – Inggrit

“Ah, iya, bener. Kita langsung move on ke rundown selanjutnya aja, ya. Nah, sebelum semua kegiatan ospek ini berjalan, kita tentu harus mengawali semuanya dengan berdoa, dong, ya?” – Davin

“Betul banget. Kita hidup di negara yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Tuhan itu gak boleh dilupain dalam setiap langkah kita.” – Inggrit

“True! Setuju banget, Kak Inggrit. Sekarang, mari temen-temen semua, kita siapkan hati dan pikiran kita untuk berdoa kepada Tuhan, menurut kepercayaan masing-masing.” Tampak kerumunan dan kumpulan kakak senior yang bertugas mulai menundukkan kepala mereka. Gadis yang berdiri di barisan paling belakang pun ikut melakukannya.

“Berdoa dimulai...” – Inggrit

“If You love me, make me disappear from this moment. Amen.”

Sekitar 15 detik suasana menghening. Orang-orang tampak begitu khusyuk dengan kepentingan ucapan permohonan mereka masking-masing. Entah apa yang mereka mohonkan, gadis itu tak tahu. Yang ia pikirkan sekarang hanyalah tentang waktu yang berjalan terlalu lama.

“Berdoa selesai.” Kepala-kepala yang tadinya menunduk mulai kembali terangkat. Jujur saja, pandangan si gadis terasa dipenuhi dengan warna biru kini.

“Baik, sekarang, kita akan mendengarkan ucapan sambutan dari Rektor kita, Bapak Susilo Yang Terhormat. Untuk Bapak Susilo, dipersilahkan untuk mengambil tempatnya,” ujar Davin sembari tersenyum dengan sangat sopan. Gelagatnya berubah dari menyenangkan menjadi berwibawa.

Kini, seorang lelaki tua mulai berjalan keluar dari barisan orang-orang tua (dosen dan beberapa pimpinan) di samping barisan para anggota himpunan. Sesaat setelah lelaki tua itu mulai bicara, gadis itu sudah bisa menebak kalau ia merupakan orang yang sangat tegas dan disiplin. Aura yang tadinya santai dan asyik, mendadak berubah menjadi mencekam. Sekuat itu kah kesan yang bapak rektor itu timbulkan?

Kata-kata sambutan yang bapak rektor itu sampaikan terhitung lumayan panjang. Ia memberikan sambutan singkat, kemudian dilanjutkan dengan wejangan-wejangan yang harus dan sebaiknya dilakukan oleh para calon mahasiswa baru selama dan setelah menjadi anggota tetap di universitas yang kini tengah ia pimpin.

Gadis itu bersyukur. Ia bersyukur karena penglihatannya tak terlalu baik, hingga ia tak perlu menyaksikan ekspresi yang tebakannya tampak tajam dari bapak rektor itu.

“Saya, Susilo Gunawan Setiadi, sebagai rektor Jakarta University, mengucapkan selamat mengikuti ospek tahun 2021!” Tepuk tangan mulai terdengar setelah beberapa saaat terdiam dilanda keheningan. Bapak rektor itu pun segera mengambil langkahnya untuk mundur, kembali ke dalam barisan tempatnya semula bernaung.

“Wah, terima kasih banyak, Bapak Susilo atas kata sambutannya yang sangat memotivasi. Tuh, adek-adek semua denger, kan? Kita harus semangat dalam belajar. Mungkin belajar itu bikin stres dan pusing, tapi kita harus inget kalo semua jerih payah itu pasti ada bayarannya,” ucap Davin menanggapi sambutan yang baru saja Pak Susilo, sang bapak rektor berikan.

“Amin! Nah, setelah bapak rektor kita yang terhormat, sekarang kita juga akan mendengarkan kata-kata sambutan dari ketua himpunan kita, nih. Wih, ketua himpunan kita ini ganteng, baik, terus ramah banget, lho. Yakin, deh aku, pasti banyak, nih adek-adek yang bakal suka. Kak ketua, siap-siap dapet surat cinta, ya!” Kerumunan yang sempat kembali terdiam dari suara tepuk tangannya itu kembali terdengar ricuh. Para gadis di sana mencoba untuk saling berbisik-bisik, pastinya tentang ketua himpunan yang baru saja disebut tampan itu. Hah, jujur saja, gadis itu tak begitu tertarik. Ia hanya ingin kembali ke apartemennya kini.

Tak beberapa lama kemudian, seorang lelaki dewasa dengan perawakannya yang menjulang tinggi mulai berjalan, keluar dari barisan himpunannya. Sesaat setelah ia keluar dan menampakkan diri, kerumunan yang berisik itu menjadi tambah berisik. Suara-suara melengking, berteriak bersusul-susulan. Gadis itu yang mendengarnya pun spontan menutup telinganya. Berisik.

“Waduh, waduh, waduh, kak ketua, gimana, nih? Kayaknya tebakan aku bener, deh. Siap-siap surat-surat cinta menuhin kamar kakak, ya!” goda Inggrit sembari tertawa kecil. Sang ketua himpunan yang digoda pun tampak juga tertawa seraya menutup mulutnya, karena malu.

Sesungguhnya, gadis itu lumayan penasaran dengan setampan apa wajah ketua himpunan yang saat ini sudah berdiri di atas panggung kecil yang letaknya di depan semua kerumunan. Mengapa sampai sekarang kerumanan masih berteriak-teriak tak jelas?

“Adek-adek, mohon tenang dulu, ya. Kita beri waktu untuk ketua himpunan kita ini untuk memberi kata-kata sambutan.” Davin yang sempat ikut tertawa itu pun mulai mengambil tindakan. Ia mulai memberi perintah untuk kerumunan agar kembali pada keadaan tenang mereka.

Sesaat setelah teriakan-teriakan mereda, lelaki tinggi dengan jabatan ketua umum himpunannya itu mulai bicara.

“Perkenalkan saya Justin Philemon. Saya menjabat sebagai ketua umum himpunan kampus kita, Jakarta University, salam kenal, ya...”

“Salam kenal, kak!!!”

“Woo!!!”

“Keren!!!”

Kerumunan kembali bersuara. Si gadis yang merasa bahwa itu menimbulkan suara yang terlalu bising pun spontan menutup telinganya untuk yang kesekian kalinya. Perasaan tak betah dalam dirinya dihantam dengan kebisingan yang membuatnya merasa terganggu.

“Selamat pagi, semuanya, bapak dan ibu pimpinan serta para dosen. Selamat pagi rekan-rekan saya. Dan selamat pagi adik-adik semuanya. Pertama-tama, saya ingin berterima kasih pada dua pembawa acara kita, Inggrit dan Davin, yang sudah memberi saya waktu dan kesempatan untuk bicara di sini, di depan adik-adik calon generasi penerus masa depan yang hebat. Nah, hari ini merupakan hari yang kami, para anggota himpunan, panitia-panitia, para bapak ibu pimpinan juga dosen-dosen sangat tunggu-tunggu. Hari ini merupakan hari pertama dari ospek yang telah kami siapkan dengan baik. Di hari pertama ini, kegiatannya akan cukup santai dan gak terlalu berat, seperti hari-hari yang akan datang. Jadi, saya berharap adik-adik semua bisa menikmati hari ini dengan baik. Banyak-banyak kenalan dengan sesama kalian. Jangan membuat rusuh dan merusak suasana ospek yang kami siapkan dengan matang. Lalu, pada akhirnya, saya sebagai ketua himpunan ingin mewakili rekan-rekan himpunan dan panitia untuk mengucapkan, selamat mengikuti ospek yang Jakarta University selenggarakan. Semoga dari ospek yang akan berjalan selama lima hari ini, kalian dan kami akan mendapat banyak pengalaman juga pelajaran berharga yang menyenangkan untuk diingat. Akhir kata, terima kasih banyak.” Ketua Himpunan dengan nama Justin Philemon itu membungkuk hormat, kemudian tepuk tangan dan teriakan-teriakan yang riuh kembali keluar begitu ramainya. Kali ini, karena gadis itu merasa diperhatikan, entah oleh siapa, ia akhirnya ikut bertepuk tangan, meski perasaan tak nyaman tengah menyelingkupinya.

Tepuk tangan mereda setelah sosok ketua himpunan itu undur diri dari atas panggung kecil di depan kerumunan. Ia kemudian terlihat kembali bergabung dengan rekan-rekan himpunannya yang lain. Kelompok dimana ketua himpunan itu bergabung mengenakan jas atau almamater putih, lalu kelompok lain dengan almamater hitam berdiri di sisi kanan, atau sebrang mereka.

Gadis itu tengah berandai, orang-orang itu hebat. Adakah di antara mereka semua yang memiliki perasaan mengganggu sepertinya? Adakah dari mereka yang pernah merasakan takut, hingga kesulitan bernapas? Semudah itukah berada dalam sebuah organisasi penting, dimana mereka semua diwajibkan untuk bisa bicara di depan umum dengan percaya diri? Jika saja gadis itu merupakan mereka, ia pasti akan sangat menikmati hidupnya.

“Wah, untuk ketua himpunan kita, terima kasih banyak. Nah, sekarang ini, kita akan mendengarkan tata tertib dan bagaimana ospek akan berjalan oleh Ibu Laras, Dekan Fakultas Administrasi Bisnis. Untuk Ibu Laras kami persilahkan tempat dan waktunya.”

Ah, sudah masuk ke dalam tahap tentang pelaksanaan ospek. Gadis itu kembali menundukkan kepalanya dalam-dalam. Bahunya dalam waktu singkat kembali bergetar. Rasa takutnya kembali menyerang. Bagaimana sekarang? Bagaimana jika ia pada akhirnya nanti hanya akan mengacaukan semuanya?

Please, just this moment grant my prayer. Make me disappear.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Berbagi Luka   Pulang Ke Rumah

    Sara terduduk di jok belakang - jok penumpang - di motor besar milik Leon. Gadis itu memakai helm berat milik Leon juga di kepalanya. Sedangkan Leon sendiri, si pemilik helm, lelaki itu tak memakainya. Katanya, keselamatan penumpang jauh lebih penting dibanding keselamatan pengemudi. Entah dari mana pembelajaran seperti itu Leon dapatkan, yang jelas Sara memilih untuk tak banyak bicara. Sara hanya berakhir dengan mengikuti segala perkataan Leon padanya. Angin malam kota Jakarta terasa sejuk dan dingin saat menerpa kulit. Sara memilih untuk tidak mengenakan jaketnya, karena kulitnya yang baru saja diolesi salep lagi. Rambut Sara yang panjang berterbangan diterpa oleh kencangnya tabrakan angin bagi dirinya. Omong-omong, tadi juga ia menggerai rambutnya, karena merasa bahwa kondisi sudah tak tengah panas lagi. Saat ini waktu menunjukkan pukul 19:00 pm. Bakso yang mereka tunggu itu akhirnya datang juga setelah menunggu dalam waktu yang cukup lama. Sesudah menyantap habis bakso, Leon meng

  • Berbagi Luka   Sekoteng dan Sate

    "Kenapa?" Sara terkesiap ketika Leon tiba-tiba membuka matanya dari doanya. Lelaki itu terkekeh kecil saat mendapati Sara tengah memperhatikannya dengan segala pikirannya yang melayang kemana-mana. Cukup memalukan bagi Sara sebenarnya. Dirinya tak mau kalau Leon sampai salah sangka dengannya, atau pun merasa tak nyaman atas tingkahnya barusan. "Maaf, kak," ujar Sara kemudian. Leon lalu terlihat kembali terkekeh. Tangannya kini mulai bergerak untuk meraih mangkuk sekoteng hangatnya. "Dimakan, itu kalo dingin rasanya jadi aneh." Sara menurut. Ia mengikuti Leon, untuk segera juga meraih mangkuknya. Pikirnya, sekoteng merupakan minuman atau kuliner yang tak begitu populer di tempatnya berasal. Karenanya, untuk tahu cara menyantapnya, ia perlu memperhatikan dan mengikuti Leon terlebih dulu. Bisa saja imajinasinya mengatakan: sendokkan kuah bersamaan dengan sedikit isiannya, tetapi ternyata pada kenyataannya, seharusnya dicicip dahulu kuahnya. "Cara makannya bebas, kayak kue balok kemarin

  • Berbagi Luka   Taman Kota

    18:00 WIB Sara terdiam bersama dengan Leon di sampingnya. Matanya sibuk memandangi indahnya langit sore yang mulai meredup. Di tengah itu, suasana yang sepi nan tenang menyapa, meninggalkan kesan yang sangat nyaman bagi Sara. Angin tempat dimana mereka, Sara dan Leon terduduk pun terasa sangat sejuk, sedikit dingin, namun tak sampai yang membunuh. Taman Kota Sudirman, di sana lah keduanya tengah berdiam. Dengan mulut yang terkatup rapat, netra keduanya sibuk menjelajah langit abu-abu gelap, simbol bahwa hari akan berganti malam. Suasana semacam sekarang merupakan suasana yang sungguh bersahabat dengan batin Sara yang riwuh. Bayangkan saja, kepala Sara sudah sangat berisik, pun batinnya. Kemudian, dirinya ditempatkan di tengah lautan manusia yang terus-menerus harus berteriak dengan otot - tentulah Sara merasa sangat hancur baik dari psikis maupun psikologis. Saat ini merupakan saat-saat healing baginya. Hhh Sara menarik napasnya dalam-dalam. Udara di sekitar Jakarta tempatnya tin

  • Berbagi Luka   17:10 WIB

    Mata Sara memaku memandangi sosok-sosok mahasiswa baru yang tengah menjalani hukuman dari para panitia keamanan. Ini sudah waktunya pulang, tetapi para mahasiswa tersebut masih harus menjalani hukuman akibat perbuatan mereka sebelumnya. Sara pikir hukuman hanya diperbolehkan untuk berjalan selama jam ospek belum berakhir, tapi ternyata tidak begitu. Diri Sara melamun dengan pikirannya yang berkelana dari satu tempat ke tempat lain. Sebentar ke arah para mahasiswa yang sedang dihukum, sebentar ke arah kulitnya yang terasa sangat panas kini, sebentar lagi ke arah bahwa dirinya ingin menangis ditempat, kemudian sebentar ingin segera menginjakkan kaki di kamar apartemennya. Sara tengah terduduk di sebuah lapangan, dimana para mahasiswa baru atau para peserta ospek sedang berhamburan keluar menuju gerbang. Sara tak begitu peduli perihal itu. Pikirannya yang blank membuatnya menjadi seperti mayat yang dipaksakan untuk hidup; tidak mampu berpikir, tetapi juga memil

  • Berbagi Luka   Air Mata yang Tak Terlihat

    Sara memilih untuk pasrah saat gilirannya untuk maju tiba. Kulitnya yang terasa sakit itu sudah diabaikannya kini. Lelah sendiri jika harus memikirkan hal-hal yang memberatkan pikiran. Biar saja kulitnya itu menjerit kesakitan. Kalau pun harus pingsan, maka terjadilah. Atau, kalau pun harus terjadi kecelakaan, terjadilah juga. Bukankah kehidupan Sara tak jauh-jauh dari yang namanya kesialan? Untuk apa pula Sara mengharapkan hal baik terjadi? Takdir baginya ditulis untuk menderita, bukan untuk menikmati apa yang orang lain bisa nikmati.Setelah semua alat pengaman dan segala perlengkapan dipasangkan di tubuhnya, Sara menarik napasnya dalam. Kali ini, Sara melarang keras hatinya untuk mengucap permohonan pada Yang Kuasa. Ia tak hanya mengunci mulutnya, tetapi juga kebebasan batinnya untuk berseru pada Yang Lebih Tinggi. Tak ada gunanya. Malah akan seperti orang bodoh yang mengemis. "Sara, semangat!" Sara menoleh pelan ke arah rekan-rekannya yang berteriak menye

  • Berbagi Luka   Kekecewaan

    14:00 WIB Kulit Sara terasa terbakar. Sinar matahari siang ini sangat keterlaluan. Sara yang tak pernah sama sekali merasakan sengatnya, kini benar-benar merasakannya. Ingin sekali Sara berlari dari tempatnya berdiri, namun rasanya tak mungkin. Jika saja itu terjadi, maka masalah baru akan timbul nanti. Sara harus menghindari yang seperti itu, karena jam pulang semakin dekat. Drama adalah hal yang anti di jam-jam rawan seperti sekarang. Setelah melewati pos 5 yang sungguh menguras keringat tadi, kelompok Sara sudah berpindah ke pos 6, yaitu pos panjang tebing. Astaga, siang-siang terik begini panjat tebing, Sara tak bisa membayangkan, sebrutal apa matahari akan memanggang mereka semua nantinya. Rasanya tak akan kuat jika harus melakukannya. "Sara, menurut kamu, semuanya bakal kebagian panjat tebingnya, gak?" celetuk Seren. Sara yang mendengarnya pun menoleh sembari kepalanya sedikit menunduk. Bisakah Sara melepaskan ikat rambutnya saja sekarang? Ti

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status