Share

Jonathan Vincentius

Gadis itu terduduk di dalam kelompoknya yang beberapa waktu lalu diumumkan oleh para kakak tingkat dengan jabatan panitianya. Ia berada dalam kelompok yang jumlahnya ada 9 orang dengan dirinya. Kemudian jika ditambah lagi oleh kakak pendamping, yaitu kakak yang bertugas untuk mendampingi dan memberi arahan pada kelompoknya, maka jumlah mereka bertambah menjadi 10 orang.

Soal kakak pendamping, secara khusus penjelasannya begini; jadi, setiap kelompok akan memiliki seorang kakak senior yang mendampingi mereka jika ada aturan, tugas atau permainan baru yang harus disampaikan, yang mereka para calon mahasiswa-mahasiswi baru dalam kelompoknya harus pahami.

Kelompok yang terbentuk untuk ospek periode kali ini terhitung melampaui 60 kelompok, dengan jumlah anggotanya berjumlah rata-rata 9-12 orang. Kemudian, kalau ada yang ingin tahu, nama kakak pendamping dari kelompok gadis itu adalah Guntoro, seorang mahasiswa hukum yang baru menginjakkan kaki di semester 3.

“Nah, sekarang gue mau kenal sama lo semua satu-satu. Kita muter aja kali, ya? Kalian sebut nama, asal sekolah, hobi dan motivasi masuk ke Jakarta University ini. Tenang aja, kalian mau perkenalan panjang-panjang juga gapapa, kok. Waktu yang disediain untuk pendekatan kelompok ini lumayan lama soalnya, 1 jam,” ujar Guntoro dengan senyuman lebarnya. Guntoro tampak seperti seorang yang suka tertawa. Entah bagaimana ceritanya, gadis itu mampu melihatnya dari air mukanya yang tampak seolah tak ada beban.

“Waduh, dari gue aja kali ya, kak? Kalo terakhir-akhir ntar malah jadi grogi,” sahut salah satu dari kawan kelompok si gadis. Dari name tag-nya, dapat si gadis lihat kalau yang baru berbicara itu bernama Jonathan.

“Boleh boleh, berarti dari lo dulu, ya. Temen-temen semuanya perhatiin. Siapa tau nanti ada yang kepincut, kan lumayan, hahaha,”

“Wei, ngeri bos!” Tawa yang menggelegar seketika memenuhi kelompok si gadis yang tengah terduduk di bawah pohon beringin besar depan kampus. Sungguh spot yang sangat sejuk.

“Oke, halo semua, nama gue Jonathan Vincentius, biasa dipanggil Jonathan. Asal sekolah gue dari SMA Dermawan Bandung. Terus soal hobi, gue suka ngabuburit sambil ngecengin bolang-bolang yang ngantri beli bakwan deket rumah gue. –“ Belum Jonathan selesai dengan perkenalannya, gelagak tawa kembali tumpah begitu menggelegar memenuhi kelompok si gadis.

“AHAHAHA! Manteb banget lo, bro! Fix, kita serupa!” Tawa kembali menyusul. Kelompok itu kini terlihat tengah dalam keadaan asyiknya, hingga si gadis menjadi ketakutan sendiri. Ia takut kalau saatnya tiba nanti, ia malah akan merusak suasana. Kemudian juga, ah! Semuanya terasa sangat mengintimidasi sekarang. Gadis itu sungguh tak menyukai bagaimana cara batinnya menanggapi sesuatu.

“Yoilah! Oke, selanjutnya itu motivasi gue masuk Jakarta University. Sebelum itu, gue mau ngingetin kalo gue bakal story telling bentar. Kalo ada yang gak suka, mohon Anda yang keluar, karena saya sudah terlalu pw ngasoy di sini, sama-sama.” Jonathan kembali mengundang gelak tawa di tengah-tengah para insan yang tak saling mengenal itu. Lelaki itu tampak memiliki bakat untuk membuat suasana canggung menjadi nyaman. Tak ada sedikit pun ketakutan yang terpancar dari matanya. Jiwa yang bebas, terbang tinggi menembus langit yang ketujuh. Gadis itu ingin memiliki jiwa yang seperti itu.

“Jadi, sebenernya awalnya itu gue gak pengen ke Jakarta, karena menurut gue jauh banget dari kota tempat gue berasal, yaitu Bandung. Gue tuh udah merancangkan gimana masa depan gue bakal berjalan setelah lulu SMA. Intinya gue pengen stay di Bandung. Tapi, keadaan menuntut gue buat pergi dari Bandung.”

“Buset, berasa baca novel, nih gue. Melow banget kisah lo ninggalin Bandung, ye,” potong seorang gadis dengan name tag-nya yang bertuliskan nama, Venelia Agatha.

“Maklum, hobi gue dulu mungutin novel-novel bekas di rongsok.” Tak usah ada lagi yang heran jika tawa kembali mengalir. Jonathan dan caranya bicara terlalu menggelikan untuk diabaikan.

“Haha, gue lanjut, ya. Waktu itu gue lagi santai, menikmati cakrawala yang warnanya gelap. Kirain gue mau ujan, tapi ternyata gue lagi pake kacamata gayanya bapak gue, makanya langitnya item.”

“Lo gokil banget woi! Ntar kapan-kapan gue ajak nongkrong, deh.” Kali ini Guntoro yang memotongnya. Wajahnya sudah memerah, dengan matanya yang berair, karena terus saja tertawa sedari tadi.

Berbeda dengan suasana yang kian mengasyikkan bagi tiap-tiap insan dalam kelompok tersebut. Gadis itu, saat telinganya mendengar kata nongkrong, nyalinya seolah baru saja dilindas oleh mobil besar. Pikiran-pikiran buruk mulai menghantuinya, mengatakan bahwa mereka adalah kelompok orang-orang bejat yang hobinya hanya mabuk-mabukkan dan merokok. Orang kota, gadis itu tak menyukai pergaulan mereka.

“Oke, nah, waktu gue lagi duduk santai itu, tiba-tiba segerombolan bolang tukang antri bakwan yang gue sebut di awal cerita tadi datengin gue. Dengan syuriken lima ribuan yang mereka anggep senjata kematian di tangan mereka, mereka nantangin gue. Katanya gini, heh, mang! Gara-gara maneh tukang bawang tutup! Aing mau nantangin maneh! Sok, kadieu lawan aing! Kata gue, lah, tukang bakwan sama gue apa urusannya?” Jonathan benar-benar merupakan seorang lelaki berkepribadian ceria, jauh lebih ceria dibanding Guntoro. Nampaknya, lelaki itu akan mendapat banyak sekali teman nantinya.

“Terus lo tanggepin gak, bro?” tanya Guntoro seraya memegangi perutnya yang kelihatannya mulai keram karena terlalu banyak tertawa.

“Gue tanggepin dengan kepala yang dingin, kak. Gue tanyain mereka, tukang bakwannya tutup dari kapan. Terus mereka jawab tutup pas shalat Jumat. Langsung gue ngomong sama mereka, yah, itu tukang bakwannya mah mau ngikut shalat, kenapa jadi aing yang disalahin?! Kirain gue para bolang itu bakal ngerti, tapi ternyata gak. Mereka malah makin jadi. Mereka nantangin gue terus, sampe ada tuh yang masang ancang-ancang silatnya. Pas gue tanya itu silat jurus apaan, dia bilang kalo itu jurus aduk dodol, dapet dari sinetron Indosiar.”

“HAHAHAHA! Hidup lo penuh petualangan mengejutkan, ya!” Kini ganti seorang lelaki lain bernama Miki lain yang menanggapi. Lelaki itu sama seperti Guntoro, wajahnya memerah karena terlalu banyak tertawa.

“Yoi, dong! Terus singkat cerita aja, ya. Dikarenakan gue ini orangnya gak suka ribut, akhirnya gue menyarankan untuk adu suit aja. Mereka gak mau tuh awalnya, terus pas gue bilang kalo mereka menang gue beliin bakwan, mereka mulai tuh perundingan meja bundarnya. Gue mikirnya pasti diterima, lah. Eh, gak taunya mereka malah masang taruhan yang lebih tinggi. Sungguh, isi taruhannya sangat-sangat mengguncang hati nurani.” Jonathan memasang raut mukanya yang tampak seperti orang yang paling tersakiti di dunia.

“Apaan emang taruhannya?”

“Katanya gini, mang, kalo maneh menang, aing sama temen-temen aing pergi dari rumah maneh. Tapi, kalo aing sama temen-temen aing yang menang, maneh harus pergi dari Bandung. Lah, kenapa malah belahan jiwa gue disenggol?”

“Lo kalah abis itu, bro? Hahaha, ngakak banget gue!”

“Iya, gue kalah telak, kak. Kalah 5-0. Waktu itu gue gak terlalu mentingin gue yang kalah dari para bolang itu. Gue mikirnya, kan cuma mainan. Lagian juga mereka masih piyik, mana peduli sama yang gituan. Terus dalam waktu yang berdekatan, kira-kira 2 hari kemudian, papa kasih kabar kalo papa harus pindah dinas ke Jakarta, jadi satu keluarga ikut pindah semua. Saat itu, berpikirlah gue, ternyata bumi pun memperhitungkan keringat yang menitik dari dahi para bolang itu saat tengah berusaha untuk menang suit dari gue...”

“MELOW BANGET LO! AHAHAHAHA!” Venelia Agatha kembali bersuara dengan matanya yang menyipit dan tubuhnya yang bergerak tak bisa diam, karena tawanya yang terlalu mengambil alih kendali tubuhnya.

“Ahaha! Nah, jadi begitulah perkenalan gue yang cukup panjang,” final Jonathan pada akhirnya. Tepuk tangan yang meriah kemudian mulai memenuhi seisi kelompok itu. Mereka tampak sangat menyukai sosok Jonathan yang kelihatan friendly.

“Keren banget, bro! Gue suka yang kayak gini! Perjuangan lo berarti panjang juga, ya. Dari yang tadinya hobinya jailin bolang-bolang Bandung, tau-tau diusir dari Bandung dan itu mengakibatkan lo terdampar di Jakarta.”

“Betul, kak! Sungguh rangkuman yang nyelekit!”

“Makanya, baek-baek lo sama anak kecil. Mereka tuh masih bersih hatinya, makanya kalo tersakiti pasti ada balesan buat yang nyakitin.” Tari Mashandra, begitulah nama yang tertulis pada name tag-nya yang menggantung di lehernya.

“Yoi, saking bersihnya tuh hati, liat orang nyungsep bukannya ditolongin malah diketawain. Bah, indah sangat idupnya,” tanggap Jonathan tak setuju. Gadis itu, di tengah rasa takutnya, ia tahu kalau kelompoknya adalah kelompok yang paling ramai. Di bawah pohon beringin yang lebat daunnya, gadis itu sesekali tersenyum kaku, takut kalau-kalau ia tampil terlalu mencolok. Mungkin saja ia akan ditunjuk nanti. Jujur saja, sampai sekarang, ia masih berandai, kapan Sang Kuasa akan mengabulkan doanya tadi pagi? Kapan ia akan dibuat menghilang?

“Eh, gue jadi tertarik buat gak usah urut gitu, deh, perkenalannya. Gimana kalo yang abis perkenalan tunjuk salah satu temennya aja buat perkenalan selanjutnya?” usul Guntoro yang ditanggapi oleh anak lain dengan anggukan tanda setuju. Berbeda dengan teman-teman satu kelompoknya, gadis itu malah menundukkan wajahnya. Mengapa firasatnya jelek sekali?

“Boleh, kak. Oke, gue tunjuk, ya...”

1

2

3

“Sara Melody, deh! Lo kayaknya diem banget dari tadi.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status