Home / Romansa / Berbagi Luka / Jonathan Vincentius

Share

Jonathan Vincentius

last update Last Updated: 2022-03-07 17:01:16

Gadis itu terduduk di dalam kelompoknya yang beberapa waktu lalu diumumkan oleh para kakak tingkat dengan jabatan panitianya. Ia berada dalam kelompok yang jumlahnya ada 9 orang dengan dirinya. Kemudian jika ditambah lagi oleh kakak pendamping, yaitu kakak yang bertugas untuk mendampingi dan memberi arahan pada kelompoknya, maka jumlah mereka bertambah menjadi 10 orang.

Soal kakak pendamping, secara khusus penjelasannya begini; jadi, setiap kelompok akan memiliki seorang kakak senior yang mendampingi mereka jika ada aturan, tugas atau permainan baru yang harus disampaikan, yang mereka para calon mahasiswa-mahasiswi baru dalam kelompoknya harus pahami.

Kelompok yang terbentuk untuk ospek periode kali ini terhitung melampaui 60 kelompok, dengan jumlah anggotanya berjumlah rata-rata 9-12 orang. Kemudian, kalau ada yang ingin tahu, nama kakak pendamping dari kelompok gadis itu adalah Guntoro, seorang mahasiswa hukum yang baru menginjakkan kaki di semester 3.

“Nah, sekarang gue mau kenal sama lo semua satu-satu. Kita muter aja kali, ya? Kalian sebut nama, asal sekolah, hobi dan motivasi masuk ke Jakarta University ini. Tenang aja, kalian mau perkenalan panjang-panjang juga gapapa, kok. Waktu yang disediain untuk pendekatan kelompok ini lumayan lama soalnya, 1 jam,” ujar Guntoro dengan senyuman lebarnya. Guntoro tampak seperti seorang yang suka tertawa. Entah bagaimana ceritanya, gadis itu mampu melihatnya dari air mukanya yang tampak seolah tak ada beban.

“Waduh, dari gue aja kali ya, kak? Kalo terakhir-akhir ntar malah jadi grogi,” sahut salah satu dari kawan kelompok si gadis. Dari name tag-nya, dapat si gadis lihat kalau yang baru berbicara itu bernama Jonathan.

“Boleh boleh, berarti dari lo dulu, ya. Temen-temen semuanya perhatiin. Siapa tau nanti ada yang kepincut, kan lumayan, hahaha,”

“Wei, ngeri bos!” Tawa yang menggelegar seketika memenuhi kelompok si gadis yang tengah terduduk di bawah pohon beringin besar depan kampus. Sungguh spot yang sangat sejuk.

“Oke, halo semua, nama gue Jonathan Vincentius, biasa dipanggil Jonathan. Asal sekolah gue dari SMA Dermawan Bandung. Terus soal hobi, gue suka ngabuburit sambil ngecengin bolang-bolang yang ngantri beli bakwan deket rumah gue. –“ Belum Jonathan selesai dengan perkenalannya, gelagak tawa kembali tumpah begitu menggelegar memenuhi kelompok si gadis.

“AHAHAHA! Manteb banget lo, bro! Fix, kita serupa!” Tawa kembali menyusul. Kelompok itu kini terlihat tengah dalam keadaan asyiknya, hingga si gadis menjadi ketakutan sendiri. Ia takut kalau saatnya tiba nanti, ia malah akan merusak suasana. Kemudian juga, ah! Semuanya terasa sangat mengintimidasi sekarang. Gadis itu sungguh tak menyukai bagaimana cara batinnya menanggapi sesuatu.

“Yoilah! Oke, selanjutnya itu motivasi gue masuk Jakarta University. Sebelum itu, gue mau ngingetin kalo gue bakal story telling bentar. Kalo ada yang gak suka, mohon Anda yang keluar, karena saya sudah terlalu pw ngasoy di sini, sama-sama.” Jonathan kembali mengundang gelak tawa di tengah-tengah para insan yang tak saling mengenal itu. Lelaki itu tampak memiliki bakat untuk membuat suasana canggung menjadi nyaman. Tak ada sedikit pun ketakutan yang terpancar dari matanya. Jiwa yang bebas, terbang tinggi menembus langit yang ketujuh. Gadis itu ingin memiliki jiwa yang seperti itu.

“Jadi, sebenernya awalnya itu gue gak pengen ke Jakarta, karena menurut gue jauh banget dari kota tempat gue berasal, yaitu Bandung. Gue tuh udah merancangkan gimana masa depan gue bakal berjalan setelah lulu SMA. Intinya gue pengen stay di Bandung. Tapi, keadaan menuntut gue buat pergi dari Bandung.”

“Buset, berasa baca novel, nih gue. Melow banget kisah lo ninggalin Bandung, ye,” potong seorang gadis dengan name tag-nya yang bertuliskan nama, Venelia Agatha.

“Maklum, hobi gue dulu mungutin novel-novel bekas di rongsok.” Tak usah ada lagi yang heran jika tawa kembali mengalir. Jonathan dan caranya bicara terlalu menggelikan untuk diabaikan.

“Haha, gue lanjut, ya. Waktu itu gue lagi santai, menikmati cakrawala yang warnanya gelap. Kirain gue mau ujan, tapi ternyata gue lagi pake kacamata gayanya bapak gue, makanya langitnya item.”

“Lo gokil banget woi! Ntar kapan-kapan gue ajak nongkrong, deh.” Kali ini Guntoro yang memotongnya. Wajahnya sudah memerah, dengan matanya yang berair, karena terus saja tertawa sedari tadi.

Berbeda dengan suasana yang kian mengasyikkan bagi tiap-tiap insan dalam kelompok tersebut. Gadis itu, saat telinganya mendengar kata nongkrong, nyalinya seolah baru saja dilindas oleh mobil besar. Pikiran-pikiran buruk mulai menghantuinya, mengatakan bahwa mereka adalah kelompok orang-orang bejat yang hobinya hanya mabuk-mabukkan dan merokok. Orang kota, gadis itu tak menyukai pergaulan mereka.

“Oke, nah, waktu gue lagi duduk santai itu, tiba-tiba segerombolan bolang tukang antri bakwan yang gue sebut di awal cerita tadi datengin gue. Dengan syuriken lima ribuan yang mereka anggep senjata kematian di tangan mereka, mereka nantangin gue. Katanya gini, heh, mang! Gara-gara maneh tukang bawang tutup! Aing mau nantangin maneh! Sok, kadieu lawan aing! Kata gue, lah, tukang bakwan sama gue apa urusannya?” Jonathan benar-benar merupakan seorang lelaki berkepribadian ceria, jauh lebih ceria dibanding Guntoro. Nampaknya, lelaki itu akan mendapat banyak sekali teman nantinya.

“Terus lo tanggepin gak, bro?” tanya Guntoro seraya memegangi perutnya yang kelihatannya mulai keram karena terlalu banyak tertawa.

“Gue tanggepin dengan kepala yang dingin, kak. Gue tanyain mereka, tukang bakwannya tutup dari kapan. Terus mereka jawab tutup pas shalat Jumat. Langsung gue ngomong sama mereka, yah, itu tukang bakwannya mah mau ngikut shalat, kenapa jadi aing yang disalahin?! Kirain gue para bolang itu bakal ngerti, tapi ternyata gak. Mereka malah makin jadi. Mereka nantangin gue terus, sampe ada tuh yang masang ancang-ancang silatnya. Pas gue tanya itu silat jurus apaan, dia bilang kalo itu jurus aduk dodol, dapet dari sinetron Indosiar.”

“HAHAHAHA! Hidup lo penuh petualangan mengejutkan, ya!” Kini ganti seorang lelaki lain bernama Miki lain yang menanggapi. Lelaki itu sama seperti Guntoro, wajahnya memerah karena terlalu banyak tertawa.

“Yoi, dong! Terus singkat cerita aja, ya. Dikarenakan gue ini orangnya gak suka ribut, akhirnya gue menyarankan untuk adu suit aja. Mereka gak mau tuh awalnya, terus pas gue bilang kalo mereka menang gue beliin bakwan, mereka mulai tuh perundingan meja bundarnya. Gue mikirnya pasti diterima, lah. Eh, gak taunya mereka malah masang taruhan yang lebih tinggi. Sungguh, isi taruhannya sangat-sangat mengguncang hati nurani.” Jonathan memasang raut mukanya yang tampak seperti orang yang paling tersakiti di dunia.

“Apaan emang taruhannya?”

“Katanya gini, mang, kalo maneh menang, aing sama temen-temen aing pergi dari rumah maneh. Tapi, kalo aing sama temen-temen aing yang menang, maneh harus pergi dari Bandung. Lah, kenapa malah belahan jiwa gue disenggol?”

“Lo kalah abis itu, bro? Hahaha, ngakak banget gue!”

“Iya, gue kalah telak, kak. Kalah 5-0. Waktu itu gue gak terlalu mentingin gue yang kalah dari para bolang itu. Gue mikirnya, kan cuma mainan. Lagian juga mereka masih piyik, mana peduli sama yang gituan. Terus dalam waktu yang berdekatan, kira-kira 2 hari kemudian, papa kasih kabar kalo papa harus pindah dinas ke Jakarta, jadi satu keluarga ikut pindah semua. Saat itu, berpikirlah gue, ternyata bumi pun memperhitungkan keringat yang menitik dari dahi para bolang itu saat tengah berusaha untuk menang suit dari gue...”

“MELOW BANGET LO! AHAHAHAHA!” Venelia Agatha kembali bersuara dengan matanya yang menyipit dan tubuhnya yang bergerak tak bisa diam, karena tawanya yang terlalu mengambil alih kendali tubuhnya.

“Ahaha! Nah, jadi begitulah perkenalan gue yang cukup panjang,” final Jonathan pada akhirnya. Tepuk tangan yang meriah kemudian mulai memenuhi seisi kelompok itu. Mereka tampak sangat menyukai sosok Jonathan yang kelihatan friendly.

“Keren banget, bro! Gue suka yang kayak gini! Perjuangan lo berarti panjang juga, ya. Dari yang tadinya hobinya jailin bolang-bolang Bandung, tau-tau diusir dari Bandung dan itu mengakibatkan lo terdampar di Jakarta.”

“Betul, kak! Sungguh rangkuman yang nyelekit!”

“Makanya, baek-baek lo sama anak kecil. Mereka tuh masih bersih hatinya, makanya kalo tersakiti pasti ada balesan buat yang nyakitin.” Tari Mashandra, begitulah nama yang tertulis pada name tag-nya yang menggantung di lehernya.

“Yoi, saking bersihnya tuh hati, liat orang nyungsep bukannya ditolongin malah diketawain. Bah, indah sangat idupnya,” tanggap Jonathan tak setuju. Gadis itu, di tengah rasa takutnya, ia tahu kalau kelompoknya adalah kelompok yang paling ramai. Di bawah pohon beringin yang lebat daunnya, gadis itu sesekali tersenyum kaku, takut kalau-kalau ia tampil terlalu mencolok. Mungkin saja ia akan ditunjuk nanti. Jujur saja, sampai sekarang, ia masih berandai, kapan Sang Kuasa akan mengabulkan doanya tadi pagi? Kapan ia akan dibuat menghilang?

“Eh, gue jadi tertarik buat gak usah urut gitu, deh, perkenalannya. Gimana kalo yang abis perkenalan tunjuk salah satu temennya aja buat perkenalan selanjutnya?” usul Guntoro yang ditanggapi oleh anak lain dengan anggukan tanda setuju. Berbeda dengan teman-teman satu kelompoknya, gadis itu malah menundukkan wajahnya. Mengapa firasatnya jelek sekali?

“Boleh, kak. Oke, gue tunjuk, ya...”

1

2

3

“Sara Melody, deh! Lo kayaknya diem banget dari tadi.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Berbagi Luka   Pulang Ke Rumah

    Sara terduduk di jok belakang - jok penumpang - di motor besar milik Leon. Gadis itu memakai helm berat milik Leon juga di kepalanya. Sedangkan Leon sendiri, si pemilik helm, lelaki itu tak memakainya. Katanya, keselamatan penumpang jauh lebih penting dibanding keselamatan pengemudi. Entah dari mana pembelajaran seperti itu Leon dapatkan, yang jelas Sara memilih untuk tak banyak bicara. Sara hanya berakhir dengan mengikuti segala perkataan Leon padanya. Angin malam kota Jakarta terasa sejuk dan dingin saat menerpa kulit. Sara memilih untuk tidak mengenakan jaketnya, karena kulitnya yang baru saja diolesi salep lagi. Rambut Sara yang panjang berterbangan diterpa oleh kencangnya tabrakan angin bagi dirinya. Omong-omong, tadi juga ia menggerai rambutnya, karena merasa bahwa kondisi sudah tak tengah panas lagi. Saat ini waktu menunjukkan pukul 19:00 pm. Bakso yang mereka tunggu itu akhirnya datang juga setelah menunggu dalam waktu yang cukup lama. Sesudah menyantap habis bakso, Leon meng

  • Berbagi Luka   Sekoteng dan Sate

    "Kenapa?" Sara terkesiap ketika Leon tiba-tiba membuka matanya dari doanya. Lelaki itu terkekeh kecil saat mendapati Sara tengah memperhatikannya dengan segala pikirannya yang melayang kemana-mana. Cukup memalukan bagi Sara sebenarnya. Dirinya tak mau kalau Leon sampai salah sangka dengannya, atau pun merasa tak nyaman atas tingkahnya barusan. "Maaf, kak," ujar Sara kemudian. Leon lalu terlihat kembali terkekeh. Tangannya kini mulai bergerak untuk meraih mangkuk sekoteng hangatnya. "Dimakan, itu kalo dingin rasanya jadi aneh." Sara menurut. Ia mengikuti Leon, untuk segera juga meraih mangkuknya. Pikirnya, sekoteng merupakan minuman atau kuliner yang tak begitu populer di tempatnya berasal. Karenanya, untuk tahu cara menyantapnya, ia perlu memperhatikan dan mengikuti Leon terlebih dulu. Bisa saja imajinasinya mengatakan: sendokkan kuah bersamaan dengan sedikit isiannya, tetapi ternyata pada kenyataannya, seharusnya dicicip dahulu kuahnya. "Cara makannya bebas, kayak kue balok kemarin

  • Berbagi Luka   Taman Kota

    18:00 WIB Sara terdiam bersama dengan Leon di sampingnya. Matanya sibuk memandangi indahnya langit sore yang mulai meredup. Di tengah itu, suasana yang sepi nan tenang menyapa, meninggalkan kesan yang sangat nyaman bagi Sara. Angin tempat dimana mereka, Sara dan Leon terduduk pun terasa sangat sejuk, sedikit dingin, namun tak sampai yang membunuh. Taman Kota Sudirman, di sana lah keduanya tengah berdiam. Dengan mulut yang terkatup rapat, netra keduanya sibuk menjelajah langit abu-abu gelap, simbol bahwa hari akan berganti malam. Suasana semacam sekarang merupakan suasana yang sungguh bersahabat dengan batin Sara yang riwuh. Bayangkan saja, kepala Sara sudah sangat berisik, pun batinnya. Kemudian, dirinya ditempatkan di tengah lautan manusia yang terus-menerus harus berteriak dengan otot - tentulah Sara merasa sangat hancur baik dari psikis maupun psikologis. Saat ini merupakan saat-saat healing baginya. Hhh Sara menarik napasnya dalam-dalam. Udara di sekitar Jakarta tempatnya tin

  • Berbagi Luka   17:10 WIB

    Mata Sara memaku memandangi sosok-sosok mahasiswa baru yang tengah menjalani hukuman dari para panitia keamanan. Ini sudah waktunya pulang, tetapi para mahasiswa tersebut masih harus menjalani hukuman akibat perbuatan mereka sebelumnya. Sara pikir hukuman hanya diperbolehkan untuk berjalan selama jam ospek belum berakhir, tapi ternyata tidak begitu. Diri Sara melamun dengan pikirannya yang berkelana dari satu tempat ke tempat lain. Sebentar ke arah para mahasiswa yang sedang dihukum, sebentar ke arah kulitnya yang terasa sangat panas kini, sebentar lagi ke arah bahwa dirinya ingin menangis ditempat, kemudian sebentar ingin segera menginjakkan kaki di kamar apartemennya. Sara tengah terduduk di sebuah lapangan, dimana para mahasiswa baru atau para peserta ospek sedang berhamburan keluar menuju gerbang. Sara tak begitu peduli perihal itu. Pikirannya yang blank membuatnya menjadi seperti mayat yang dipaksakan untuk hidup; tidak mampu berpikir, tetapi juga memil

  • Berbagi Luka   Air Mata yang Tak Terlihat

    Sara memilih untuk pasrah saat gilirannya untuk maju tiba. Kulitnya yang terasa sakit itu sudah diabaikannya kini. Lelah sendiri jika harus memikirkan hal-hal yang memberatkan pikiran. Biar saja kulitnya itu menjerit kesakitan. Kalau pun harus pingsan, maka terjadilah. Atau, kalau pun harus terjadi kecelakaan, terjadilah juga. Bukankah kehidupan Sara tak jauh-jauh dari yang namanya kesialan? Untuk apa pula Sara mengharapkan hal baik terjadi? Takdir baginya ditulis untuk menderita, bukan untuk menikmati apa yang orang lain bisa nikmati.Setelah semua alat pengaman dan segala perlengkapan dipasangkan di tubuhnya, Sara menarik napasnya dalam. Kali ini, Sara melarang keras hatinya untuk mengucap permohonan pada Yang Kuasa. Ia tak hanya mengunci mulutnya, tetapi juga kebebasan batinnya untuk berseru pada Yang Lebih Tinggi. Tak ada gunanya. Malah akan seperti orang bodoh yang mengemis. "Sara, semangat!" Sara menoleh pelan ke arah rekan-rekannya yang berteriak menye

  • Berbagi Luka   Kekecewaan

    14:00 WIB Kulit Sara terasa terbakar. Sinar matahari siang ini sangat keterlaluan. Sara yang tak pernah sama sekali merasakan sengatnya, kini benar-benar merasakannya. Ingin sekali Sara berlari dari tempatnya berdiri, namun rasanya tak mungkin. Jika saja itu terjadi, maka masalah baru akan timbul nanti. Sara harus menghindari yang seperti itu, karena jam pulang semakin dekat. Drama adalah hal yang anti di jam-jam rawan seperti sekarang. Setelah melewati pos 5 yang sungguh menguras keringat tadi, kelompok Sara sudah berpindah ke pos 6, yaitu pos panjang tebing. Astaga, siang-siang terik begini panjat tebing, Sara tak bisa membayangkan, sebrutal apa matahari akan memanggang mereka semua nantinya. Rasanya tak akan kuat jika harus melakukannya. "Sara, menurut kamu, semuanya bakal kebagian panjat tebingnya, gak?" celetuk Seren. Sara yang mendengarnya pun menoleh sembari kepalanya sedikit menunduk. Bisakah Sara melepaskan ikat rambutnya saja sekarang? Ti

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status