Tuan Handanu Nugroho, biasa dipanggil Tuan Danu. Pria beristri tiga dengan kekayaan yang melimpah ruah. Pewaris tahta tunggal dari Nugroho, sang tuan tanah di kampung Sahara. Beliau pemilik sah dari separuh wilayah di kampung yang lumayan besar. Semenjak kepulangannya pada Sang Maha Pemilik Hidup, harta benda dan semua aset berpindah tangan pada putranya. Sangat berbanding jauh dengan sang ayah, Tuan Danu tipe manusia yang keras kepala. Siapa yang tak takut dengan manusia yang satu ini? Dia banyak uang. Bisa melakukan apapun sesuai kemauan hati. Pernah ada yang melawannya karena dinilai tak punya hati nurani. Tak lama setelah itu, orang yang berani melawan Tuan Danu, diusir dari kampung tanpa membawa benda apapun kecuali seperangkat baju lusuh yang dikenakan. Lelaki itu menatap Una sekelebat. Setelah mengusap ujung sembirnya yang merah. Tamparan yang tak tanggung-tanggung. Semua tenaga Una keluarkan, karena merasa dilecehkan. Siapapun dia, jika tak menghargai kehor
Masih berdiri menggenggam benda pipih di tangan kanan. Dahi wanita yang tengah berbadan dua itu mengerut. Kepercayaan yang sudah dibagun kokoh, ternyata masih goyah setelah menerima panggilan dari nomor wanita lain di ponsel suaminya. Gegas Qia menanyakan nama asing yang tak pernah diceritakan padanya selama ini. Menghampiri Fajrul di taman belakang, lelaki itu sibuk menaburkan butiran hitam kecokelatan untuk makanan ikan hias yang dipelihara beberapa minggu terakhir. Langkah Qia tak secepat dulu. Ada calon bayi di rahim yang mengharuskannya bergerak dengan hati-hati. Bukan tanpa sebab, kandungan Qia cukup lemah. Hampir seminggu sekali, ia harus memeriksakan kandungannya pada dokter spesialis ternama. "Mas, tadi ada telepon masuk. Tapi langsung terputus saat Qia menerimanya," tunjuk Qia sembari menyerahkan ponsel pada suaminya. Deg! Netra lelaki itu membulat sempurna. Senyum yang sempat terbesit, kini luntur dalam sekejap. Gegas meraih benda pipih dari tangan dang i
Lagi dan lagi, Fajrul membungkam mulutnya setelah melakukan tindakan yang berlebihan. Rona merah di kedua pipi, perlahan memudar. Gegas mengatur napasnya lebih dalam. Menata kembali emosi jiwa agar bisa stabil seperti sedia kala. Fajrul berusaha agar tak terjadi kontak mata dengan Una. Menanti hingga panggilan telepon usai. Lelaki itu tak bisa diam, panik. Ketar-ketir jika Qia kembali curiga terhadapnya. Untung saja, ada panggilan mendadak untuk pendamping pasien atas nama Rifqiatul Istiqomah. Akhirnya, ia terbebas dari situasi menegangkan di dalam kamar inap kelas VIP. "Aneh sekali, kenapa Mas Fajrul sehisteris itu? Padahal, mereka belum pernah bertemu. Tak mungkin juga mereka saling mengenal tanpa sepengetahuanku," gumam Qia sembari menggaruk kepala bagian samping. Mengurus administrasi sudah beres. Kini Fajrul bisa bernapas lega di koridor Rumah Sakit. Memanfaatkan situasi yang sepi. Gegas menghubungi nomor Una untuk menanyakan apa yang sebenarnya terjadi di kamp
Hari berlalu dengan singkat. Tak terasa Una sudah menempati rumah susun kurang lebih dua purnama. Sayangnya, tak ada pekerjaan yang kunjung didapatkan. Berdiri di depan jendela adalah hobi barunya. Pandangan melihat ke bawah, tepatnya ke rumah megah di bawah sana. Sesekali ujung bibirnya terangkat, tatkala mendapati sang suami duduk berdua dengan Qia. Begitu hangat kedua pasangan yang menanti kehadiran buah hati mereka. Tiap pagi berjalan mengelilingi taman. Saat lelah, keduanya duduk di bangku taman. Terlihat senyum semringah dari kejauhan. Tak jarang, Fajrul mengelus lembut perut Qia yang kian membesar. Kebahagiaan yang bisa dirasakan Una. Pilihannya untuk mengizinkan sang suami menikah lagi ternyata tak berujung sia. Ia bisa menikmati kebahagiaan suami juga sahabatnya, hanya dengan bantuan kedua mata. Aneh? Tentu sangat tak masuk akal. Melihat lelakinya bermesraan dengan sahabatnya sendiri, sama sekali tak melukai batinnya. Nyatanya, tak sepedih yang dibayangkan.
Sontak tubuh wanita itu membungkuk, memberi salam hormat. Pria paruh baya berjalan ke arah Una. Disertai tarikan bibir yang membentuk lengkung senyum indah. Setelah sekian lama tak berjumpa, akhirnya mereka dipertemukan kembali. Masih berdiri dengan kedua telapak tangan menyatu. Bersalaman tanpa menyentuh kulit satu sama lain, karena keduanya bukan mahram. "Alhamdulillah, sudah lama ayah tidak bertemu denganmu, Riz," tutur beliau sangat bahagia. Bak anak sendiri, Una sudah dianggap seperti bagian keluarga dari lelaki yang tak lain adalah ayah dari Qia. Beliau juga banyak membantu biaya perkuliahan Una hingga lulus. Tentunya, karena hubungan Una yang sangat erat dengan putri semata wayangnya. Lima menit dihabiskan dengan perbincangan hangat. Bertukar kisah juga tak lupa menanyakan kabar kesehatan. Keduanya hanyut dalam rindu yang akhirnya terobati. Una pun terlihat nyaman, bak sedang duduk dengan sosok ayah yang memang tak pernah dirasakan selama hidupnya. "Jadi,
Masa penantian membuat debaran jantung para manusia di ruang tunggu makin tak karuan. Proses operasi yang memakan waktu cukup lama. Khawatir terjadi sesuatu yang menjadi kendala selama proses melahirkan. Di dalam sana, Qia terlentang lepas. Dipenuhi selang-selang bening yang menghubungkan tubuhnya dengan alat-alat medis. Tit … tit … tit! Suara itu memekikkan telinga Qia. Tubuhnya yang menggigil juga menahan sakit akibat suntik bius pada tulang belakang. Sangat malu, ketika para ahli medis berdiri mengelilingi. Hanya dilapisi selembar kain tanpa resleting. Juga satir diantara kepala dan perutnya yang siap dibedah. Tak ada harapan lain, selain bisa lulus melewati pertaruhan nyawa yang tak bisa diwakilkan. Suara detak jantung yang keras, membuatnya teringat akan dosa-dosa selama hidupnya. Terlebih, wajah Una yang terus memenuhi kelopak mata. Membuatnya semakin rapuh dan tak bisa membayangkan, bagaimana ia harus menghadapi sahabat sekaligus madu untuknya saat berjumpa n
Dilema, harus pergi saat itu juga. Atau menanti jenazah sahabatnya di semayamkan. Di sisi lain, ia tak ingin melewatkan kesempatan yang pasti tak datang dua kali. Kabar duka datang dari Mbah Aab dan Niswa. Keduanya baru saja mengalami kecelakaan tunggal saat dalam perjalanan ke sebuah rumah makan di mana akan dilangsungkan pertemuan dua keluarga. Keadaan Mbah Aab cukup parah, mengharuskan pria renta itu dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan lanjut. Dengan pertimbangan cukup rumit, akhirnya Una memutuskan untuk menemani ibunda Qia hingga beliau merasa tenang. Bukan atas kemauan pribadi, namun atas permintaan ayah Qia yang tak tega melihat istrinya terpuruk dalam suasana berkabung. Ratusan orang memenuhi pelataran rumah Qia. Rentetan karangan bunga bersemat ungkapan turut berbelasungkawa, berjajar rapi di sepanjang jalan masuk. Kereta beroda manusia, bergerak cepat menuju tempat pemakaman. Dengan iringin kalimah tahlil yang menggema, hingga menggetarkan ha
Setelah melewati perhelatan panjang, akhirnya Una luluh dengan para petugas. Namun ia hanya minta untuk segera diantar ke tempat pemakaman sang kakek. Ia harus menyaksikan prosesi yang hanya bisa terjadi sekali dalam seumur hidup. Melalui prosedur yang sesuai, walau cukup memakan waktu panjang. Akhirnya, Una diperbolehkan pergi karena kondisinya yang tak terlalu parah. Ditemani sepupu Fauzi, keduanya gegas berlalu dari rumah sakit. Setengah jam perjalanan. Membuat Una tak bisa tenang. Untung saja, tak terjebak macet di pusat kota. Begitu mereka sampai di tempat pemakaman umum, dekat rumah Fauzi. Puluhan orang sudah ramai berhamburan pulang. Nahas, Una terlambat untuk kesekian kalinya. Tanah basah bertabur bunga mawar yang harum. Terlihat gundukan sepanjang tinggi badan manusia pada umumnya. Lengkap dengan nisan marmer bertuliskan nama Abdullah bin Muhaimin. Kedua lutut Una terjatuh menyentuh bumi. Ia tak kuasa melanjutkan langkahnya untuk sampai di depan pusara sang