Tania hanya menghabiskan waktu seharian di kamar. Ia tidak tahu aktivitas apa yang cocok dilakukan disini untuk membuang rasa bosannya.
Pintu diketuk, “Tania. Ayo kita makan siang.” Tania bangkit. Ketika melangkah menuju pintu, ia berhenti. Sungguh tidak tahu malu ia menjadi nyonya di rumah ini. Ia hanya makan, tidur, dan berdiam diri di kamar. “Tan, ayo, mumpung masih hangat.” Pintu terbuka, Tania menatap Wini yang tersenyum menunggunya, “Aku akan makan nanti. Kamu duluan saja.” “Ada mas Adrian, dia mau kita makan bertiga.” Mendengar namanya, Tania justru ingin menghindar, bukan semangat untuk makan bersama. Wini menarik tangan Tania, “Tan, aku senang kalau kamu mau bergabung dengan kami. Yuk. Mas Adrian akan kembali ke kantor sebentar lagi.” Tania duduk disebelah Adrian. Ia hanya berdiam diri ketika Wini menyiukkan nasi dan lauknya, “Cukup.” Wini terus menyiukkan nasi dan lauk yang banyak untuk madunya, “Kamu harus makan yang banyak dan bergizi. Aku sengaja masak banyak daging dan sayur untuk kamu. Habiskan ya.” Tania mulai makan. Ia menikmati masakan Wini yang enak. Ia tersenyum diam-diam. Sadar hanya ia yang makan, Tania berhenti mengunyah, “Kenapa?” Adrian dan Wini tersenyum. “Aku senang kamu suka masakanku.” “Wini adalah chef terbaik di rumah ini. Dia akhirnya punya fans selain aku yang menyukai masakannya.” Tania tersenyum kecil mendengar pujian Adrian pada istri pertamanya. “Kamu bisa masak?” tanya Wini. Tania menggeleng, “Aku menghabiskan waktu untuk bekerja.” Adrian manggut-manggut, “Bekerja tidak terlalu buruk. Perempuan yang menata karirnya dengan baik terlihat berbeda.” Wini melirik Adrian dengan tatapan lain. Tania tahu madunya itu pasti cemburu dan malah memujinya. Seharusnya Adrian tidak perlu melakukan itu. Ia tidak perlu mendapatkan pujian apapun, karena ia tidak membutuhkan itu. “Makan, Tan, nanti kalau kamu mau apapun, kamu bisa minta Wini buatkan.” “Terima kasih.” Selesai makan, Adrian bergegas kembali ke kantor. Ia berdiri. Wini membantunya merapikan kemejanya. “Aku usahakan pulang lebih awal.” Adrian mencium kening Wini. “Gak masalah, aku punya teman baru di rumah.” Adrian tertawa, “Aku akan dilupakan.” Ia bergerak mencium kening Tania yang berdiri disebelahnya yang lain. Tania melongo. Ia terlalu kaget sehingga tidak sempat untuk menghindar. Ia otomatis melihat ekspresi Wini yang tersenyum dipaksakan. “Kamu juga istrinya. Kamu berhak mendapatkan ciuman itu.” Tania merasa tidak nyaman. Ia membuang muka untuk menyembunyikan wajahnya yang merah. “Aku berangkat, kalian akur-akur ya di rumah.” “Aku antar ke depan.” Adrian menahan Wini, “Gak usah, aku bisa sendiri. Aku pergi.” Wini menumpuk piring kotor agar memudahkan pekerjaan ART. Ia tidak mengajak Tania bicara seperti tadi. “Wini.” Tania berusaha mencairkan suasana. “Iya?” Wini menghentikan aktivitas menumpuk piring. “Aku—aku pastikan Adrian tidak akan melakukan hal seperti tadi. Aku akan menghindar.” Wini tertawa, “Tan, kamu juga istrinya.” “Tapi aku tahu kamu tidak suka.” sergah Tania cepat. Wini tidak langsung menjawab. Matanya terlihat terkejut. Wini tidak pandai berbohong, “Aku—aku hanya belum terbiasa. Lama-lama aku pasti—” “Kamu cemburu. Aku tahu kamu tidak bisa menerima aku secepat itu. Win, percayalah, aku tidak pernah mau pernikahan ini ada. Aku hanya mengikuti perintah papaku yang haus akan hormat dari orang lain. Papa akan malu jika tahu anaknya hamil tanpa suami.” “Aku paham situasinya. Aku mengizinkan pernikahan ini dengan penuh kesadaran.” Tania menyentuh punggung tangan Wini, “Kita sama-sama perempuan. Aku masih denial dengan takdir buruk yang terjadi dalam hidupku, kamu juga. Tolong berhenti pura-pura menerima aku sebagai madumu seolah semua itu tidak masalah. Aku tidak perlu diperlakukan sehangat itu.” Wini tertawa setelah air mukanya mendung seperti sudah ketahuan sesuatu, “Kamu bilang apa sih? Memiliki madu tidak selamanya buruk, Tan. Aku senang jadi punya saudara dan teman di rumah ini. Kita sama-sama menjaga mas Adrian ya? Bukan karena dia nakal. Dia justru baik, sangat baik. Dia hanya terkadang—lupa pulang ke rumah karena terlalu fokus bekerja.” Wini mengeratkan kursi dengan meja, “Mas Adrian sangat terpukul ketika hasil pemeriksaan dari dokter kandungan keluar. Dia jadi lebih sering menghabiskan waktu di kantor, apalagi saat akhir pekan. Jika aku paksa dia terus di rumah, dia akan diam dan tiba-tiba menangis. Dia bilang, dia takut aku meninggalkannya. Padahal, itu tidak mungkin. Aku begitu mencintainya.” “Lalu kenapa kamu bersedia Adrian menikahiku?” Wini tersenyum, “Keluarga Kiehl membutuhkan pewaris.” “Anakku bukan anak Adrian. Itu tidak ada bedanya jika keluarga Kiehl mengadopsi anak yang kalian urus.” “Ayah dan ibu tidak sembarangan dalam mencari pewaris. Mereka setuju kamu yang menikahi mas Adrian karena mengenal baik papamu. Kamu beruntung, Tania, saat kamu ditimpa masalah, Tuhan mempertemukan kami semua. Kami juga bersyukur kamu menjadi cahaya di keluarga ini.” Tania tersenyum, “Adrian tidak boleh kehilangan istri sebaik kamu. Kalian harus saling menjaga satu sama lain.” “Kamu harus ada di dalamnya.” “Aku?” Tania tertawa, “Aku tidak mengharapkan pernikahan ini akan langgeng, Win, aku akan—” “Kamu benar, aku cemburu. Percayalah, aku melepaskan mas Adrian untuk menikahi kamu dengan air mata yang turun semalaman. Tapi setelah berbaik sangka pada rencana Tuhan, aku percaya, aku dan kamu pasti ditakdirkan untuk berbagi suami karena suatu hal.” Tania masih tak habis pikir, perempuan dihadapannya ini kenapa memiliki hati sebaik ini? Ia saja yang berstatus jadi istri kedua ingin sekali memiliki Adrian seutuhnya dengan segenap kelebihannya, kecuali masalah Infertilitas itu. Apalagi jika ia menjadi istri pertama. Ia akan melakukan apapun untuk membuat Adrian tidak menikah lagi. Jadi, sebenarnya, adakah cinta sejati seperti yang dimiliki Wini untuk Adrian?Tania menyiapkan makan malam saat Adrian sibuk bermain dengan Noah dan Seraphina di ruang keluarga. “Non, bagaimana kondisi non Wini?” tanya mbok Sayem sambil menata meja. “Dokter bilang ada perkembangan baik. Kita doakan saja, mbok.” “Tentu, non. Mbok selalu mendoakan yang terbaik untuk non Wini.” “Meja siap, saya panggil mas Adrian dan anak-anak dulu.” “Iya, non.” Tania melenggang mendekati ruang keluarga. Noah sedang menghujami Adrian dengan banyak pertanyaan. Ia tertawa mendengar setiap pertanyaan polos anak sulungnya, membuat Adrian harus putar otak untuk menjawabnya. “..pa, kalo mama Wini bangun terus karena tidur terlalu lama, perasaannya jadi tidak bagus, bagaimana?” “Bagaimana mungkin sebuah perasaan berubah begitu saja hanya karena terlalu lama tidur?” “Aku lihat di tivi begitu. Ketika orang tidur terlalu lama perasaannya jadi buruk. Aku hanya takut mama Wini tidak suka aku dan adik Sera.” “Maksudmu?” “Aku memiliki dua ibu, aku lahir dari rahim mama Tan
Tiga tahun kemudian.... “Mama! Aku mau liat mama Wini ke rumah sakit!” teriak Noah sambil berlari-lari membawa selembar kertas yang sudah ia gambar. “Iya, tapi adek harus mandi dulu.” tutur Tania sambil membuka baju Seraphina, adik Noah. “Memang adek boleh ikut?” “Nggak, adek di rumah sama nenek. Tapi adek harus mandi dulu. Kakak Noah tunggu di depan ya, sama pak Udin.” “Oke.” Noah berlari ke depan, memamerkan gambarnya berisi dua mama, satu ayah, dirinya dan Seraphina. “Sayang...” “Aku di kamar bawah, mas!” Adrian menghampiri Tania. Ia mengecup pucuk kepala istrinya dari belakang, “Noah mana?” “Dia di depan. Dia begitu tidak sabar bertemu Wini.” Adrian tertawa. “Dia begitu tidak sabaran mirip kamu.” “Apa yang kamu katakan? Bukankah itu kamu?” Tania mendelik kesal, “Kalau kita tidak sabaran, Seraphina tidak akan ada di dunia ini.” “Mau aku tolong mandikan Sera?” “Tidak. Kamu temani Noah saja. Dia membawa oleh-oleh untuk Wini.” “Baiklah. Aku tunggu di de
Sudah satu minggu semua masih sama. Wini masih di ICU setelah dilakukan operasi untuk mengeluarkan pendarahan dalam jaringan otaknya. Ia terus berada di kesadaran koma, membuat Adrian dan Tania kehilangan minat hidup seperti semestinya. Mereka sama-sama tidak bicara dengan siapapun. Baik Adrian maupun Tania, merasa apa yang menimpa Wini belum bisa mereka terima. “Tania, Adrian, lebih baik kalian pulang. Mama yakin Wini akan segera bangun.” “Betul. Kita tidak pernah putus mendoakannya disini. Pulanglah, demi Noah.” Adrian melirik mama dan papa. Mereka terus menemaninya dan Tania di rumah sakit. Sedang ayah dan ibu belum bisa datang karena masih harus menyelesaikan urusan mereka di luar negeri. “Mama tahu kalian terpukul. Tapi Wini tidak akan pernah mau kalian begini. Sudah satu minggu kalian tidak pulang. Kasihan Noah.” Adrian menggenggam tangan Tania, “Mama dan papa ada benarnya. Kita pulang. Kita masih memiliki tanggung jawab pada Noah.” “Wini...” “Iya, aku tahu kamu
Tania tidak bisa tidur mengingat ancaman mama Wini. Tadi begitu ia jatuh, ia langsung bangkit dan pergi. Ia menahan rasa nyeri dan takut pada Wini dan Adrian. Ia tidak mau merusak momen. Ceklek. “Kamu belum tidur?” Adrian mendekati ranjang. “Mas? Kenapa kesini? Ini jadwalmu bersama Wini.” Adrian tersenyum, “Kami sudah selesai.” “Lalu?” Tania takut Adrian akan minta jatah saat pikirannya sedang kalut. Adrian mengelus lengan Tania, “Tidak, aku tidak akan mengganggumu. Aku hanya ingin tidur disini, memelukmu sampai pagi.” “Mas, lebih baik kamu tidur bersama Wini. Kamu bisa memeluknya sampai pagi.” “Dia memintaku kesini. Dia kelelahan dan tidak ingin diganggu.” “Hm begitu. Tidurlah disini.” Adrian benar-benar memeluk Tania sampai pagi. Malam ini Noah tidak terbangun untuk minum susu. Ketika di cek popoknya di pagi hari, tidak begitu penuh. Suaminya masih tidur. Tania yang terjaga semalaman enggan membangunkannya. Pintu terbuka. Wini tampak berbeda hari ini. Rambutn
Tania mengumumkan ia dan Adrian tidak jadi bercerai pada semua orang di rumah, juga pada mama-papa. Mereka menyambut berita dengan penuh suka cita. “Bagaimana untuk merayakan ini kita semua makan diluar?” Adrian menawari. “Aku setuju, mas. Aku rasa sedang malas masak. Jadi idemu sangatlah bagus.” “Aku juga setuju. Sepertinya kita perlu menunjukkan pada orang-orang, kalau memiliki dua istri dan berbagi suami tidak selamanya buruk.” Adrian tersenyum. Ia merentangkan kedua tangannya siap dipeluk kedua istrinya. Wini dan Tania memeluk Adrian. “Aku harap hubungan kita terus seperti ini, mas.” Wini menuturkan doanya. “Aku juga. Masalah pasti ada, tapi aku percaya kalau kita pasti selalu bisa melalui semuanya dengan baik.” Tania juga menuturkan doanya. “Pasti. Kita hanya perlu bersabar. Ayo bersiap. Aku tunggu istri-istri cantikku bersama tuan muda, Noah.” Semua tertawa. Wini dan Tania sudah siap. Mereka mengenakan gaun yang sudah dipesan Adrian secara khusus. Semua asi
Tania melirik Adrian, “Mas Adrian bilang, Noah—sakit.” Wini tersenyum, “Noah sehat. Mas Adrian yang sakit.” Tania lagi-lagi melirik Adrian, “Kamu tega membohongiku?” “Aku pikir kamu tidak akan datang, jika aku tidak bilang Noah sakit.” “Kamu tidak perlu bohong!” “Gendonglah Noah. Kamu berikan asi langsung. Aku tidak tahu harus mengatakan apa jika dia bertanya ketika besar, siapakah yang mengurusnya saat ia masih bayi.” Tania menatap Noah. Ia menerimanya dari Wini, “Jaket ini...” “Noah selalu menangis jika baumu hilang, Tan. Mamamu sering datang kesini membawa baju-baju bekasmu untuk menemani Noah dan—mas Adrian tidur.” Wajah Adrian merah padam. “Jadi sekarang yang merindukanku ada dua orang?” pancing Tania. Wini tertawa, “Aku tinggal, aku akan buatkan kamu masakan yang enak. Berbincanglah dengan mas Adrian.” Tania dan Adrian diam saja setelah Wini pergi. Masing-masing dari mereka tidak tahu harus membicarakan apa. “Kamu tidak perlu memberikanku bodyguard lagi.