Home / Rumah Tangga / Berbagi Suami / 6. Kedatangan Romi

Share

6. Kedatangan Romi

Author: Rahmani Rima
last update Last Updated: 2024-11-25 08:11:37

Tania tak membukakan pintu kamarnya ketika Adrian mengetuk. Ia enggan diganggu.

“Kita harus tidur satu kamar, Tania.” Adrian berusaha merayu.

“Kata siapa?”

“Kita suami istri.”

“Wini istrimu juga, tidur saja sama dia.”

Adrian memainkan cincin nikah dijemarinya. Wini dan orang tuanya meminta ia tidur bersama Tania, sekalian mendekatinya secara alami. Tapi kalau begini mana mungkin ia bisa mendekati istri barunya.

“Aku sudah hamil, kamu tidak perlu melakukan apapun.”

“Aku hanya akan menemani kamu.”

“Aku tidak biasa ditemani siapapun. Masuk saja ke kamar Wini.”

“Tapi—”

“Kamu akan membiarkan aku tidak tidur semalaman?”

“Oke, aku ke kamar Wini. Kalau ada apa-apa kamu bisa telpon aku.”

Tania tak menjawab.

“Aku pergi.”

Tania tak lagi menatap pintu setelah suara lift terdengar. Ia masih setia duduk di window seat sedari datang kesini. Memperhatikan dedaunan tertiup angin lebih menyenangkan dari pada bertemu dengan orang-orang di rumah ini.

Tania membuka jendela, merasakan angin malam menembus masuk ke dalam pori pipinya. Ia menutup mata sambil tersenyum. Berharap seiring berjalannya waktu perasaan bersalahnya pada Wini akan hilang. Toh papa bilang Wini menyambut baik adanya pernikahan ini.

“Apa keluarga ini sangat menginginkan anak?” tanya Tania pada diri sendiri.

“Ya, keluarga ini sangat menginginkan anak.”

Suara itu membuat Tania membuka matanya, “Kamu!”

Adrian tersenyum, “Kamu suka suasana disini?”

Tania tak habis pikir Adrian bisa ada didepan jendela kamarnya. Ia pikir Adrian yang menaiki lift tadi.

“Kamu mau keluar?”

“Aku mau tidur.” Tania menutup jendela cepat-cepat. Tak lupa ia menutup semua gorden agar tidak perlu melihat Adrian dibalik jendela.

“Ada banyak bintang di langit. Kamu mau lihat?”

Tania tak mengindahkan rayuan itu. Ia memilih berbaring di kasur dan menyelimuti diri sendiri.

“Wah, bintangnya indah sekali. Aku jarang melihat bintang sebanyak ini di Jakarta.”

Tania tak tahan. Ia bangkit dan memutar kunci lalu berjalan menyusuri rumah, “Kemana ya jalan menuju belakang rumah?”

Saat kebingungan, mbok Sayem yang baru selesai beberes menghampirinya, “Ada yang bisa dibantu, non?”

“Mbok, jalan menuju belakang rumah kemana, ya?”

“Kesini, non, mari mbok antarkan.”

Tania membuntuti mbok Sayem.

Rumah ini terlalu besar dengan banyak ruangan sehingga Tania kesulitan menyusuri setiap jalannya.

“Ini, non, jalannya. Mau mbok temani?”

“Enggak, mbok. Saya—sendiri aja.”

Mbok Sayem senyum-senyum, “Ya sudah mbok tinggal ya, non.”

Tania mengedarkan matanya ke arah taman belakang yang luas. Ia melihat Adrian duduk disebuah kain dengan berjejer makanan diatasnya persis akan kemping.

Dengan perasaan menyesal, Tania membalikkan badan. Kalau tahu Adrian sudah merencanakan sesuatu untuk mereka, ia tidak akan keluar kamar dan tergoda mendengar rayuannya soal bintang.

“Tania, tunggu.”

“Aku—hanya mau tahu arah ke belakang rumah.”

Adrian menunjuk bintang yang bertabur banyak di langit, “Aku gak bohong. Bintangnya banyak.”

Tania mengikuti arah tangan Adrian menunjuk. Bibirnya tersenyum lebar dengan mata berbinar.

Adrian tak pernah melihat senyum Tania selebar ini. Di acara resepsi pernikahannya tadi, istri keduanya lebih banyak memendam marah dan malu. Kini ia bisa menikmati senyum indah itu.

Tania sadar Adrian tengah memperhatikannya. Ia berjalan buru-buru pada amparan kain dan duduk disana menatap langit dengan puasnya.

Mereka tak bicara sama sekali. Tania menunggu Adrian yang mengajaknya bicara. Begitupun sebaliknya. Adrian menunggu Tania yang mulai bertanya.

Sampai berjam-jam kemudian, Tania tahu-tahu menjatuhkan kepalanya ke arah kiri, dimana ia tidak bisa menahan kantuknya. Untungnya Adrian sigap mendekatkan dirinya, sehingga kepala itu bisa jatuh ke bahunya.

Pagi harinya, sekitar pukul sembilan, Tania membuka mata dan terkejut ketika ia berada di kamar asing. Ia bangkit sekaligus.

“Tenang, Tan, ini—” mata Tania mengedar, “Kamar kamu di rumah keluarga Kiehl.”

Tania membuang nafasnya lega. Ia melihat jam dinding dan terkejut melihat sudah sesiang ini. Ia malu keluar kamar dan menyapa orang-orang yang pasti sudah beraktivitas masing-masing.

Tok-Tok-Tok

“Non?”

Tania bangkit dari ranjang, “Iya, mbok?”

“Ada tamu buat non.”

“Siapa, mbok?” Tania merapikan rambutnya sebelum membasuh muka di kamar mandi.

“Namanya den Romi katanya.”

Tania masuk ke kamar mandi dan membasuh mukanya cepat. Ia tidak sabar bertemu mantan kekasihnya yang menjadi akar dari semua ini terjadi.

Tania menggosok gigi dan merapikan bajunya. Ia keluar dan siap menghadapi kenyataan terpahit yang membuat hidupnya tersungkur penuh derita.

“Romi?” Tania berdiri menatap punggung Romi yang berdiri siap pergi di ruang tamu.

Romi membalikkan badan. Ia menatap keseluruhan tubuh mantan kekasihnya. Ia tersenyum miring, “Maaf baru sempat datang. Kamu—baik-baik saja?”

Tania tersenyum lebar, “Seperti yang kamu lihat, sangat baik.”

“Meskipun menikah dengan pria beristri dan menjadi istri kedua?”

Senyum Tania hilang. Ia ingin sekali berakting bahwa hidupnya akan tetap baik-baik saja tanpa Romi. Menunjukkan bahwa ia bahagia sudah menikahi pria kaya, pewaris perusahaan besar. Tapi ia lupa, bahwa yang ia nikahi bukanlah pria sembarangan, melainkan pria yang sudah memiliki istri.

Romi tersenyum, “Aku gak nyangka, selera kamu berubah drastis setelah aku tinggalkan. Tapi aku gak bisa berbuat apa-apa, apalagi kamu sudah menikah. Bahkan kalian hanya saling mengenal satu bulan. Kamu begitu patah hati berpisah denganku?”

Tania menahan tawanya. Ia bahkan tak memiliki kesempatan sedikit pun untuk mengenal Adrian sebelum menikahinya, karena papa langsung menentukan tanggal, satu hari setelah mengambil keputusan untuk menikahkannya demi menjaga nama baik keluarga.

“Aku bawakan bunga dan hadiah kecil untuk kamu. Suamimu—mana?” Romi melirik sana-sini mencari Adrian.

“Dia sudah pergi ke kantor. Nanti aku sampaikan kamu datang.”

Romi menatap baju yang Tania kenakan. Hanya sebuah piyama sederhana yang ikatannya tidak terlalu kuat, “Jadi kamu baru bangun? Karena terlalu lelah menghadapi pria beristri?”

Tania ingin sekali melawan, tapi kali ini ia memilih diam. Ia berusaha tersenyum setiap kali bicara, “Kamu sepertinya memiliki banyak waktu? Tidak ke kantor sekarang?”

Romi terkejut Tania berani mengusirnya. Padahal yang ia tahu, Tania adalah perempuan tidak enakan.

“Bukankah sudah ada yang menunggumu di kantor, di ruanganmu? Sekretaris pribadimu itu?”

Romi merapikan jasnya kasar. Ia tersinggung mendengar sindiran Tania, “Aku ke kantor sekarang. Sekali lagi selamat atas pernikahan kamu. Semoga pernikahanmu bertahan lama.”

“Tentu. Menjadi istri kedua bukan penghalang bahwa aku tidak akan bahagia dan pernikahan kami tidak bertahan lama. Pergilah, aku akan bersiap pergi ke kantor suamiku.” Tania terpaksa berbohong demi melancarkan rencana untuk merendahkan Romi.

“Baik. Nikmatilah posisi menjadi istri dari pria beristri, Tania.” Romi pergi begitu saja.

Tania berteriak kencang setelah mobil Romi terdengar pergi, “Aku gak akan pernah maafin kamu, Romi!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Berbagi Suami   105. Derita Istri Kedua

    Tania menyiapkan makan malam saat Adrian sibuk bermain dengan Noah dan Seraphina di ruang keluarga. “Non, bagaimana kondisi non Wini?” tanya mbok Sayem sambil menata meja. “Dokter bilang ada perkembangan baik. Kita doakan saja, mbok.” “Tentu, non. Mbok selalu mendoakan yang terbaik untuk non Wini.” “Meja siap, saya panggil mas Adrian dan anak-anak dulu.” “Iya, non.” Tania melenggang mendekati ruang keluarga. Noah sedang menghujami Adrian dengan banyak pertanyaan. Ia tertawa mendengar setiap pertanyaan polos anak sulungnya, membuat Adrian harus putar otak untuk menjawabnya. “..pa, kalo mama Wini bangun terus karena tidur terlalu lama, perasaannya jadi tidak bagus, bagaimana?” “Bagaimana mungkin sebuah perasaan berubah begitu saja hanya karena terlalu lama tidur?” “Aku lihat di tivi begitu. Ketika orang tidur terlalu lama perasaannya jadi buruk. Aku hanya takut mama Wini tidak suka aku dan adik Sera.” “Maksudmu?” “Aku memiliki dua ibu, aku lahir dari rahim mama Tan

  • Berbagi Suami   104. Belum Ada Titik Terang

    Tiga tahun kemudian.... “Mama! Aku mau liat mama Wini ke rumah sakit!” teriak Noah sambil berlari-lari membawa selembar kertas yang sudah ia gambar. “Iya, tapi adek harus mandi dulu.” tutur Tania sambil membuka baju Seraphina, adik Noah. “Memang adek boleh ikut?” “Nggak, adek di rumah sama nenek. Tapi adek harus mandi dulu. Kakak Noah tunggu di depan ya, sama pak Udin.” “Oke.” Noah berlari ke depan, memamerkan gambarnya berisi dua mama, satu ayah, dirinya dan Seraphina. “Sayang...” “Aku di kamar bawah, mas!” Adrian menghampiri Tania. Ia mengecup pucuk kepala istrinya dari belakang, “Noah mana?” “Dia di depan. Dia begitu tidak sabar bertemu Wini.” Adrian tertawa. “Dia begitu tidak sabaran mirip kamu.” “Apa yang kamu katakan? Bukankah itu kamu?” Tania mendelik kesal, “Kalau kita tidak sabaran, Seraphina tidak akan ada di dunia ini.” “Mau aku tolong mandikan Sera?” “Tidak. Kamu temani Noah saja. Dia membawa oleh-oleh untuk Wini.” “Baiklah. Aku tunggu di de

  • Berbagi Suami   103. Hidup yang Berubah

    Sudah satu minggu semua masih sama. Wini masih di ICU setelah dilakukan operasi untuk mengeluarkan pendarahan dalam jaringan otaknya. Ia terus berada di kesadaran koma, membuat Adrian dan Tania kehilangan minat hidup seperti semestinya. Mereka sama-sama tidak bicara dengan siapapun. Baik Adrian maupun Tania, merasa apa yang menimpa Wini belum bisa mereka terima. “Tania, Adrian, lebih baik kalian pulang. Mama yakin Wini akan segera bangun.” “Betul. Kita tidak pernah putus mendoakannya disini. Pulanglah, demi Noah.” Adrian melirik mama dan papa. Mereka terus menemaninya dan Tania di rumah sakit. Sedang ayah dan ibu belum bisa datang karena masih harus menyelesaikan urusan mereka di luar negeri. “Mama tahu kalian terpukul. Tapi Wini tidak akan pernah mau kalian begini. Sudah satu minggu kalian tidak pulang. Kasihan Noah.” Adrian menggenggam tangan Tania, “Mama dan papa ada benarnya. Kita pulang. Kita masih memiliki tanggung jawab pada Noah.” “Wini...” “Iya, aku tahu kamu

  • Berbagi Suami   102. Salah Korban

    Tania tidak bisa tidur mengingat ancaman mama Wini. Tadi begitu ia jatuh, ia langsung bangkit dan pergi. Ia menahan rasa nyeri dan takut pada Wini dan Adrian. Ia tidak mau merusak momen. Ceklek. “Kamu belum tidur?” Adrian mendekati ranjang. “Mas? Kenapa kesini? Ini jadwalmu bersama Wini.” Adrian tersenyum, “Kami sudah selesai.” “Lalu?” Tania takut Adrian akan minta jatah saat pikirannya sedang kalut. Adrian mengelus lengan Tania, “Tidak, aku tidak akan mengganggumu. Aku hanya ingin tidur disini, memelukmu sampai pagi.” “Mas, lebih baik kamu tidur bersama Wini. Kamu bisa memeluknya sampai pagi.” “Dia memintaku kesini. Dia kelelahan dan tidak ingin diganggu.” “Hm begitu. Tidurlah disini.” Adrian benar-benar memeluk Tania sampai pagi. Malam ini Noah tidak terbangun untuk minum susu. Ketika di cek popoknya di pagi hari, tidak begitu penuh. Suaminya masih tidur. Tania yang terjaga semalaman enggan membangunkannya. Pintu terbuka. Wini tampak berbeda hari ini. Rambutn

  • Berbagi Suami   101. Ancaman Nyata

    Tania mengumumkan ia dan Adrian tidak jadi bercerai pada semua orang di rumah, juga pada mama-papa. Mereka menyambut berita dengan penuh suka cita. “Bagaimana untuk merayakan ini kita semua makan diluar?” Adrian menawari. “Aku setuju, mas. Aku rasa sedang malas masak. Jadi idemu sangatlah bagus.” “Aku juga setuju. Sepertinya kita perlu menunjukkan pada orang-orang, kalau memiliki dua istri dan berbagi suami tidak selamanya buruk.” Adrian tersenyum. Ia merentangkan kedua tangannya siap dipeluk kedua istrinya. Wini dan Tania memeluk Adrian. “Aku harap hubungan kita terus seperti ini, mas.” Wini menuturkan doanya. “Aku juga. Masalah pasti ada, tapi aku percaya kalau kita pasti selalu bisa melalui semuanya dengan baik.” Tania juga menuturkan doanya. “Pasti. Kita hanya perlu bersabar. Ayo bersiap. Aku tunggu istri-istri cantikku bersama tuan muda, Noah.” Semua tertawa. Wini dan Tania sudah siap. Mereka mengenakan gaun yang sudah dipesan Adrian secara khusus. Semua asi

  • Berbagi Suami   100. Satu Malam dengan Noah

    Tania melirik Adrian, “Mas Adrian bilang, Noah—sakit.” Wini tersenyum, “Noah sehat. Mas Adrian yang sakit.” Tania lagi-lagi melirik Adrian, “Kamu tega membohongiku?” “Aku pikir kamu tidak akan datang, jika aku tidak bilang Noah sakit.” “Kamu tidak perlu bohong!” “Gendonglah Noah. Kamu berikan asi langsung. Aku tidak tahu harus mengatakan apa jika dia bertanya ketika besar, siapakah yang mengurusnya saat ia masih bayi.” Tania menatap Noah. Ia menerimanya dari Wini, “Jaket ini...” “Noah selalu menangis jika baumu hilang, Tan. Mamamu sering datang kesini membawa baju-baju bekasmu untuk menemani Noah dan—mas Adrian tidur.” Wajah Adrian merah padam. “Jadi sekarang yang merindukanku ada dua orang?” pancing Tania. Wini tertawa, “Aku tinggal, aku akan buatkan kamu masakan yang enak. Berbincanglah dengan mas Adrian.” Tania dan Adrian diam saja setelah Wini pergi. Masing-masing dari mereka tidak tahu harus membicarakan apa. “Kamu tidak perlu memberikanku bodyguard lagi.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status