Semua mata beralih pada suara lelaki itu, Chandra berdiri angkuh dengan tersenyum sinis pada Gunawan.
"Sepertinya uang yang aku berikan untuk kebutuhanmu setiap bulan kurang cukup, Gunawan hingga kamu harus mendramatisir keadaan seperti ini," ejek Chandra.
"Cukup!" Mata Gunawan terlihat merah menahan marah. "Tutup mulutmu," ujar Gunawan. "Cukup sudah tipu dayamu, Chandra," ucap Gunawan terbata, Pandu menahan pundak lelaki tua itu agar menahan emosinya.
"Berkas sudah saya masukkan ke kepolisian, saya rasa Anda juga sudah menerima surat panggilan," ujar Alvin yang terdengar santai.
"Kalian memang luar biasa ...." Chandra bertepuk tangan.
"Sampai bertemu di pengadilan Chandra Adhiyaksa," ucap Alvin yang sudah berdiri dengan wajah dinginnya.
Semua keluarga di ruangan itu menghela nafas ketika Chandra Adhiyaksa memutuskan meninggalkan mereka.
"Ada satu hal yang ingin Papa katakan pada kalian," ujar Gunawan pelan lalu menatap Shesa.<
"Apa yang bisa Papa bantu untuk kamu?" tanya Budiman pada Alvin. "Bantuan yang mana?" Alvin balik bertanya. "Bantuan pernikahanku atau menjatuhkan Chandra Adhiyaksa?" "Keduanya," ujar Budiman. Semburat senyum terukir di wajah Pandu. Ya, ketika es itu mencair maka semuanya akan mengalir begitu saja. Alvin pun tersenyum, kembali melangkah ke arah sang Ayah yang sudah berdiri di sisi meja kerjanya. "Alvin hanya butuh restu Papa, kedatangan Papa dan mama ke pernikahan Alvin. Untuk masalah Chandra semua kita serahkan ke pengadilan, Alvin nggak bisa berharap banyak tapi satu yang pasti, setidaknya semua orang sudah tahu buruknya Chandra Adhiyaksa." "Papa bangga sama kamu," ujar Budiman memeluk Alvin. "Dan ... Pandu, kamu belum ada niat untuk kembali ke perusahaan ini?" "Aku sedang fokus dengan usaha yang aku bangun, Pa. Untuk saat ini aku belum bisa bergabung dengan Papa dan Alvin, kalo hanya dibutuhkan untuk membantu,
Amarah itu benar-benar memuncak, ingin rasanya Shesa mencabik-cabik Chandra Adhiyaksa hingga musnah dari hadapannya. Ruangan itu kembali gaduh, Hakim Ketua kembali menenangkan keadaan, hingga akhirnya Hakim memutuskan untuk menghentikan sidang dan dilanjutkan tiga hari lagi dengan membawa saksi. Shesa terduduk lemas di kursi itu, kepalanya menunduk. Alvin menghampiri Shesa, berjongkok di hadapan kekasihnya itu, lalu menyematkan rambut Shesa yang terjuntai jatuh. "Kita pulang, yuk," ujar Alvin lembut. Pandangan mata itu begitu nanar menatap lelaki yang begitu setia menemaninya hingga detik ini. Shesa meraih tangan Alvin menciumi telapak tangan itu. "Jangan tinggalin aku," ujarnya dengan air mata yang mengalir di pipinya. "Iya ... aku nggak akan ninggalin kamu, kita pulang yuk." Alvin merangkul pundak Shesa, membawanya berdiri dan melangkah meninggalkan ruangan itu. Semua anggota keluarga sudah menunggu di lobby pengadilan
Suara gaduh di ruangan itu mendadak sunyi kala Ketua Majelis Hakim memasuki ruang sidang. Wajah Shesa terlihat datar sedangkan Chandra masih dengan keangkuhannya. Tidak terlihat lagi Soraya dan ibunya mendampingi sang Ayah. Pak Gunawan, Alvin dan Pandu duduk di deretan kursi terdepan. Jika diingat tadi, pengawalan yang diberikan Budiman pada Gunawan benar-benar ketat, tak sedikitpun ada celah bagi siapapun menyalip rombongan mobil mereka. Setelah berdiri dan memberi hormat kepada Majelis Hakim dan mengikuti beberapa tahapan pengadilan mengulang berita acara sebelumnya. Maka tiba saatnya mendengarkan saksi kunci dari pihak korban. Gunawan duduk di tengah-tengah ruang sidang itu, bidikan kamera semua mengarah padanya, kilatan lampu kamera menerpa wajahnya yang kian menua. Pandangannya mengarah pada Shesa, rasa bersalahnya luar biasa mengepul seakan ingin membuncah keluar. "Silahkan saksi," ujar Ketua Majelis Hakim. "Pertama-tama saya ingin mengu
"Gimana, Dok?" tanya Alvin pada seorang dokter yang baru saja selesai memeriksa kondisi kekasihnya itu."Asam lambung naik, pemicunya pikiran," ujar dokter itu. "Harus banyak istirahat, sebisa mungkin kalau belum bisa makan yang banyak usahakan untuk sering-sering mengemil. Dan, hindari pikiran yang terlalu berat."Shesa masih meringkuk di dalam selimutnya, Wulan yang sedari tadi menemani Shesa masih membelai rambut putrinya itu."Mama bikinin bubur, ya?" tanya Wulan.Shesa hanya menggeleng, lambungnya masih begitu perih untuk menerima makanan."Kamu harus isi perutmu supaya nggak kembali muntah lagi, Sha," kata Wulan. "Mama bikinin roti dulu, harus di makan, pelan-pelan aja." Kali ini Wulan beranjak dari duduknya, keluar dari kamar itu meninggalkan Anggi dan Shesa di sana."Minum teh hangatnya, Kak." Anggi menyodorkan satu cangkir teh pada Shesa."Makasih, Nggi."Alvin masuk ke kamar itu, wajah Shesa yabg terlihat
Suara tembakan dua kali itu terdengar hanya sekitar lima meter dari jarak Alvin, Shesa, keluarganya, serta tim kuasa hukum berada. Semua orang bergerak dan berlarian ke arah suara, termasuk Shesa dan Alvin. Betapa terkejutnya Shesa saat melihat sosok Chandra Adhiyaksa sudah berlumuran darah tergeletak tak berdaya di sisi mobil tahanan. Pandangan Shesa beralih pada seorang gadis berwajah manis terlihat pucat, masih dengan menggenggam erat pistol di tangannya. Seorang petugas mengamankan senjata serta gadis yang memandang kejadian itu dengan mata yang nanar, pandangnya kosong, tidak ada lagi yang dia harapkan dalam hidup. Sementara beberapa petugas memeriksa keadaan Chandra dengan luka tembak di dada dan tangannya. "Masih ada denyut," ucap salah satu petugas. Istri Chandra Adhiyaksa sudah terduduk lemas berlumur darah memeluk suaminya. "Minggir-minggir, kasih jalan." Kilatan lampu kamera serta banyaknya or
"Lo dimana?" tanya Shesa pada seorang wanita di seberang sana. "Sebentar lagi gue sampe, tunggu ya," jawab Nina sahabat Shesa yang sudah hampir setengah tahun ini berada di Belanda karena Andre mendapatkan promosi meneruskan S2 nya di sana. "Sha ...," seru Nina melambaikan satu tangannya sementara satu tangan lagi menggandeng tangan mungil Keanu. "Nina ... ya ampun, kangen banget gue," ucap Shesa menautkan kedua pipinya pada Nina. "Keanu udah gede, kiss Tante dong," ujar Shesa mencubiti pipi gembil Keanu. "Kapan sampe?" tanya Shesa kembali duduk di kursi restoran tempat mereka bertemu siang ini. "Udah dia hari lalu, cuma mau hubungin lo, lo lagi sibuk sama sidang," ujar Nina. "Iya, Nin ... menyita waktu dan menguras pikiran," sahut Shesa "Tapi yang penting sekarang sudah selesai, ya. Lo udah tenang dan aman sekarang, Sha. Keluarga lo udah balik lagi kayak dulu, meski bokap harus menjalani hukumannya." "Iya, setela
Kita tidak pernah tahu kehidupan apa yang akan kita jalani, masalah apa yang akan kita hadapi, serta bagaimana caranya kita bisa melalui semua itu. Shesa melaluinya dengan kesendirian hingga akhirnya Alvin datang bagaikan malaikat tanpa sayap di dalam kehidupannya. Menerima seutuhnya kelebihan bahkan kekurangan Shesa, begitu pun Shesa menerima semua masa lalu Alvin. Dan, disinilah mereka di sebuah taman yang di dekorasi begitu cantiknya ... Alvin berdiri tegak, lelaki dengan postur tubuh ideal itu menggunakan jas berwarna hitam, dia terlihat gagah menanti kedatangan kekasihnya. Dia berdiri tepat di ujung karpet di sepanjang hamparan bunga berwarna putih, jalan yang akan mengantarkan Shesa kepadanya. Menantikan wanita itu berjalan anggun menuju padanya. Shesa begitu cantik dengan balutan gaun sederhana berwarna putih, helaian rambut yang terjuntai di tiup angin itu seakan melambai-lambai. Shesa tersenyum, kala matanya tertuju pada lelaki yang dia cintai
"Jadi Mama besok udah mau pulang ke Tasikmalaya?" tanya Shesa saat makan pagi di rumahnya. Satu minggu semenjak pernikahannya dengan Alvin, Wulan memang pernah mengatakan pada Shesa akan pulang menengok usaha restorannya di Tasikmalaya. "Sebentar aja paling satu minggu, setelahnya Mama kesini lagi ... usaha itu kan sudah Mama percayakan juga ke saudara almarhum ayah tiri kamu, biar mereka saja yang menjalankan Mama tinggal memantau, Mama juga sudah capek, Sha ... sudah waktunya Mama istirahat, nimang cucu," ujar Wulan penuh harap. "Doain, Ma ... semoga secepatnya kita bisa kasih cucu ke Mama," jawab Alvin menggenggam erat tangan Shesa. "Aku mau coba ke dokter, Vin. Boleh? mau tau aja apa aku sehat, siap nggak rahimnya, boleh ya?" "Boleh aja, kapan? besok ya, kalo hari ini kan aku ada meeting," ujar Alvin, Shesa pun mengangguk. "Kamu masih mau terus kerja, Sha?" tanya Wulan. "Shesa kayaknya mau buka butik aja, Ma ... kan kalo da