"Anak pinter, nungguin Mami lama, ya?" Shesa meletakkan tasnya di atas nakas.
Saat masuk ke kamar tadi, dia melihat Alvin fokus dengan laptop di pangkuan sedangkan Naima bermain selimut sendiri seperti biasa.
"Lama banget," kata Alvin.
"Macet, kamu udah makan?"
"Belum, ntar aku makan, Naima sama siapa?"
"Ih, lebay deh ... kan bisa bibik jaga sebentar." Shesa berjalan ke arah kamar mandi mencuci tangan, kaki serta puting ASI nya.
"Naima lapar?" tanya Shesa pada bayi mungil itu.
"Sejam yang lalu baru aku kasih susu dan habis," kata Alvin.
"Pinter suami aku," ujar Shesa lalu merebahkan dirinya di samping Naima lalu memberikan ASI nya pada Naima. "Pelan-pelan, Sayang," katanya pada bayi kecil itu.
"Lapar banget," kata Alvin ikut merebahkan diri dan memperhatikan Naima menyesap ASI Shesa.
"Sayang," ucap Alvin.
"Iya."
"Mau jujur sama aku?" tanya Alvin.
"Jujur apa?" Shesa membalas
Enjoy reading 😘
"Selamat, Mas ... bakal jadi Bapak, lo," ujar Alvin memberikan selamat pada Pandu yang meneleponnya siang ini. "Makasih, Vin. Tapi, gue mau nanya sama lo. Waktu Shesa hamil gitu, lo sakit nggak?" "Nggak, emang kenapa? Jangan bilang lo yang ngidam." Alvin tertawa. "Badan gue nggak enak terus, Vin. Tapi mulut gue nggak berhenti makan." Alvin kembali tertawa. "Bisa jadi lo yang ngidam, Mas. Nikmatin aja Mas, daripada di suruh beli makanan sampe ke Zimbabwe, lo pilih yang mana?" "Ya nggak sampe Zimbabwe juga kayaknya, Vin." "Gue mau pulang, Mas. Udah dulu ya, kangen bini nih." "Dih, " kekeh Pandu lalu menutup sambungan telepon mereka. "Ren, kamu bisa ke ruangan saya," ujar Alvin pada assistennya itu melalui sambungan telepon. Tak berapa lama, Reno memasuki ruangan itu. Lelaki lemah gemulai itu membawa satu buku agenda yang siap menjadi tempat dia mencatat segala pesan dari Alvin. "Ren, kamu bisa rekomendasik
Pandu baru saja memasuki rumahnya, dan setiap ruangan kosong sore itu. Biasanya ibu mertuanya sudah sibuk menghidangkan cemilan sore untuk anak dan menantunya di meja makan. Mengingat semenjak kehamilan Anggi, wanita itu selalu meminta makanan yang kadang tidak bisa Pandu temui dimana-mana."Sayang," panggil Pandu membuka pintu kamarnya.Bunyi gemericik air di kamar mandi , mengakhiri pencarian dimana istrinya berada. Pandu melepas kemeja kerjanya, duduk di tepi tempat tidur menunggu sang istri keluar dari kamar mandi."Mas ...." Anggi keluar dengan rambut yang berbalut handuk, serta hanya mengenakan pakaian dalam. "Udah pulang, tumben." Anggi melangkah mendekat dengan perut yang masih terlihat rata."Aku pusing," rengek Pandu meraih tubuh Anggi dan memeluk perut istrinya."Pusing banget?""Iya," jawab Pandu namun tangannya meremas bokong Anggi."Pusing tapi tangannya kemana-mana," kekeh Anggi. "Sayang nanti jam delapan kita per
Hari ini hari terakhir mereka berada di Bandung, Alvin serta keluarganya menyempatkan diri mampir ke rumah serta kantor milik Pandu. Showroom mobil yang besar dan cukup terkenal di kota itu, bisa dikatakan Pandu sukses membangun kerajaan bisnisnya. "Nggak ada niatan pindah ke Jakarta, Mas Pandu?" tanya Shesa melirik Anggi yang sedang menggendong Naima. "Kalo niatan belum lah, Anggi juga masih mengajarkan, tapi kalo untuk buka satu showroom di sana mungkin, tapi aku belum ada kepikiran untuk tempatnya, kamu ada ide Vin?" "Gampang kalo di Jakarta, Mas. Kamu kan sudah jadi salah satu pengusaha muda se Indonesia, tinggal deketin aja pejabat, artis dan para Sultan-Sultan itu, customer pasti akan datang tanpa melihat mau buka showroom dimana." "Endorse?" tanya Pandu. "Iya, kasih diskon atau kasih satu mobil yang sedang di gandrungi sekarang ini." "Satu mobil?" Mata Pandu membulat lalu melemparkan penanya ke arah Alvin. "Lo kata itu mob
Alvin dan Shesa masih terdiam di dalam mobil. Kepergian Ririn tadi membuat mereka lama terdiam, seolah satu sama lain enggan untuk membahasnya. "Kamu mau kita bahas ini?" tanya Alvin takut menyinggung perasaan Shesa. "Nggak usah, semua udah jelas. Kesalahpahaman yang harusnya sudah sejak dulu kami selesaikan." Shesa menarik sabuk pengamannya. "Naima sudah nungguin, kita pulang." Shesa tetap memandang lurus ke depan. "Tapi benar kamu nggak marah?" Alvin belum juga menyalakan mesin mobilnya. "Jujur aku kecewa, tapi sudahlah masa lalu tidak usah lagi di bahas, sama halnya jika kamu di hadapkan dengan masa lalu aku yang luar biasa itu." Shesa kali ini tersenyum. "Kita memang harus terus mencoba saling memahami, Sayang. Karena masa lalu kita yang luar biasa ini." "Makasih, Sha. Kehadiran kamu di hidup aku membuat aku hingga seperti sekarang ini, harus banyak sabar, ya kan?" Alvin tersenyum lalu menuntun kepala Shesa bersandar di bahunya. "A
Sore di teras rumah berdesain minimalis, menghadap sebuah taman mungil, Soraya mengupas kulit buah apel untuk sang Ibu. Tatapan mata wanita paruh baya itu masih nampak kosong. Berlalunya waktu tidak dapat membuatnya melupakan apa yang terjadi di masa lalu. "Ma, di makan ya. Kata bibik, Mama makan sedikit sekali. Bukan berarti Aya keluar kota Mama jadi mogok makan," ujar Soraya. Citra hanya menoleh sebentar ke arah Soraya lalu tetap kembali mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Gimana Mama mau sehat, kalo Mama sendiri nggak ada kemauan untuk sembuh." Soraya memberikan satu potong apel pada Citra. "Aku ikhlas merawat Mama, tapi tolong kita saling bahu membahu, Ma. Aku juga harus kerja demi hidup aku, Mama, dan perusahaan." Lama terdiam, ekspresi dari wanita tua itu pun tidak ada, hanya matanya saja yang kembali berembun. "Nggak ada yang harus Mama sesali, Mama masih punya aku. Mama jangan pernah merasa bersalah, sekarang aku sudah baha
"Halo, Ya," sapa Shesa di sambungan telepon pagi itu. Shesa baru saja memandikan Naima, bayi kecil itu sudah bisa membolak-balikkan tubuhnya serta berusaha mengangkat tegak kepalanya. "Aku ganggu nggak, Sha?" tanya Soraya di seberang sana. "Nggak, biasalah kalo pagi emang rempong harus ngurus bayi besar dan bayi kecil," kekeh Shesa. Alvin yangbaru saja keluar dari kamar mandi mengernyitkan keningnya. "Kenapa, Ya?" "Ada waktu hari ini ketemu di butik kamu?" "Ada dong. Sebentar, Ya ...." Shesa meletakkan teleponnya lalu memasukkan tangan Naima pada pakaian yang bayi itu kenakan. "Gimana, Ya?" "Iya, pagi ini ketemu di butik. Aku mau minta kamu desain kan aku gaun," ujar Soraya malu-malu. "Gaun? Untuk acara apa? Dinner romantis nih, ya kan?" Shesa terkekeh lalu mencium Naima yang sudah selesai dia dandani, kemudian beralih pada Alvin yang menunggunya mencarikan kemeja untuknya bekerja. "Bukan dinner, tapi—" "Oh, pas
"Siapa?" tanya Soraya lagi. "Kalo marah kamu makin cantik," ujar Windu menggoda. "Nggak usa ngerayu!' "Aku ngga ngerayu, bahkan kamu memang lebih cantik dengan wanita tadi," ucap Windu mengendusi parfum di leher kekasihnya. "Jadi pengen." Tangan Windu sudah berada di bokong Soraya. "Nggak usah macem-macem, aku masih marah." "Kalo marah malah lebih hot," bisik Windu di telinga Soraya, yang membuat tubuh Soraya menegang. "Lepas nggak! Aku mau tau siapa perempuan tadi!" Soraya berusaha melepaskan dirinya dari Windu. "Kalo aku kasih tau, janji jangan marah ya?" Windu semakin menempelkan tubuhnya. "Hhmm." "Cium dulu tapi." "Win!" "Cium dulu," rengek Windu. Mau tidak mau, Soraya pun memberikan kecupan sekilas di bibir calon suaminya yang entah mengapa semakin hari semakin manja dan harus siap di layani. "Udah," ujar Soraya kesal. "Jadi siapa dia?" "Dia itu ... wedding organizer
Soraya memandangi tubuhnya di depan kaca besar di dalam kamar hotel. Tubuh langsing, tinggi dan cantik, siapa yang tidak ingin bersanding dengannya. Hubungannya dengan Windu yang sempat terputus akhirnya membawanya kembali kedalam pelukan lelaki itu. Windu yang selalu ada di saat-saat susahnya, di saat-saat terpuruknya. Windu yang selalu menyemangati hidupnya, Windu yang meredamkan amarah kesalahpahaman yang terjadi selama ini, dan Windu juga yang menguatkan dia dan ibunya. Sebegitu yakinnya Soraya jika Windu adalah pelabuhan cinta terakhirnya. Ketukan di pintu kamar menyadarkannya untuk bergegas merapikan penampilannya. Shesa masuk ke dalam kamar Soraya, dia tertegun dengan penampilan wanita yang sempat menjadi saingannya itu. "Ya ampun, cantik banget," ujar Shesa terpana. "Siapa yang bikin gaunnya," kekeh Soraya mengulurkan tangannya pada Shesa. "Makasih ya, ini luar biasa." Gaun pengantin dengan potongan tanpa lengan, dengan bagian da