Share

Jebakan Sang Mafia

Tentu, bagi Anna tidak ada alasan yang cukup kuat untuk membuatnya bahkan sekadar mempertimbangkan tawaran dari pria didepannya sekarang. Hidup hanya sekali—dan jika ia menyerahkannya pada seorang mafia yang bergelimang kesesatan seperti Demian Caleb—hal itu tak ada bedanya dengan menyia-nyiakan kesempatan untuk hidup. 

"Terima kasih atas tawarannya, tapi aku bisa menjaga diriku sendiri." Anna menganggukkan kepalanya sedikit sebagai salam hormat, kemudian berbalik dan melangkah pergi.

Sebenarnya Demian sudah menerka jawaban itu sehingga ia tengah memutar otak lagi untuk mencari berbagai alasan yang mungkin bisa menahan Anna agar tidak pergi, setidaknya untuk malam ini. Sangat mengagumkan bagaimana ia tidak menggunakan kekuatannya untuk melarang Anna pergi, seperti menahannya dengan pistol yang mengarah pada kepala atau mungkin perlakuan kasar seperti yang pernah ia berikan terhadap jalang diluar sana. Demian menginginkannya untuk jangka waktu yang panjang. Bukan sekadar teman tidur. Jadi ia harus menggunakan otak dibandingkan tenaganya agar semua berjalan sesuai keinginan. 

Anna sudah dua meter jauhnya menuju lift turun. Meninggalkannya sendirian di bar mewah itu seperti pria malang yang baru saja dipatahkan hatinya. Tapi Demian tidak bisa kehilangannya secepat ini. Tidak setelah satu tahun ia menunggu kesempatan ini tiba.

"Kau tahu," kata Demian dengan cepat menyusul Anna dengan langkah kakinya yang panjang, "aku banyak melakukan hal gila karenamu satu tahun ini. Mengikutimu nyaris kemana-mana seperti anjing peliharaan, bermasturbasi dengan fotomu seperti orang idiot, dan membunuh seorang wanita hanya karena dia menyebutku menyedihkan."

Persetan dengan kesabaran.

"Apakah menurutmu aku akan melepaskanmu begitu saja?"

Gerakan mata Demian yang menyamping kekiri adalah sebuah kode pada para pelayannya agar mereka pergi, lalu ia mengambil posisi kedepan Anna dan menghadangnya agar tidak melewati batas luar bar.

"Dan bukan hal yang sulit bagiku untuk membunuh beberapa orang lagi kalau kau tetap ingin keluar dari rumah ini."

Anna terperangah. Sangat shock. Mulutnya seakan hendak mengatakan sesuatu, tetapi tidak ada satupun kata yang keluar. Garis tepi sekeliling matanya berubah merah akibat menahan campur aduk emosi yang ia rasakan saat ini. Makhluk yang ia hadapi sekarang—si kakek gila alias Demian Caleb—benar-benar seperti bayangan yang selama ini ia takutkan.

"Kau jahat, Demian Caleb." komentarnya tanpa sadar.

Demian terlanjur memperlihatkan sisi buasnya, tapi ia tak peduli.

"Aku tidak pernah mencoba menjadi baik sebelumnya," ia mengambil vodka diatas meja makan, lalu menarik lengan Anna dan mengajaknya masuk lift, "jadi jangan pancing kemarahanku."

Anna ingin sekali melepas genggaman itu, tapi ia terlalu takut.

"K-Kita mau kemana, Demian Caleb?"

Demian menekan tombol lift paling atas dengan kesal,"kau ada masalah dengan kepercayaan diri sayang? Aku seringkali menemukanmu sulit berbicara jika kau merasa tertekan."

"Demian Caleb, aku mau pulang!" Anna memegang tali rantai tasnya erat-erat sementara lengannya masih digenggam oleh pria itu.

Ketika angka lima bersinar pada papan tombol Demian menoleh, "dan bisakah kau memanggilku hanya Demian dan bukan nama lengkapku? Aku merasa seperti dipanggil oleh Dosen bahasaku sewaktu kuliah."

"Aku mau pulang."

Dan lift itu terbuka. Demian sama sekali tidak menggubris perkataan Anna. Ia menggamit lengannya lagi menuju lorong sampai akhirnya berakhir didepan pintu sebuah kamar. Satu-satunya kamar yang ada dilantai itu.

"K-Kau mau apa!?" teriak Anna setengah histeris. Ia beringsut mundur tapi genggaman Demian jauh lebih kuat. Mereka melangkah masuk dan Demian mendudukkan Anna pada ranjangnya yang besar. Masih setengah kesal pria itu mengarahkan sebuah remote pada korden tinggi yang menutupi jendela. Segera, pemandangan malam kota New York menyambut mereka.

Botol vodka yang sedari tadi masih ada digenggamannya ia lempar kesofa. Kemudian Demian merundukkan tubuhnya kearah Anna dan memenjarakannya diantara kedua lengannya yang besar.

"Jika kau tidak ingin tinggal bersama, aku ingin kau menghabiskan malam ini bersamaku."

Sontak Anna membelalakkan kedua matanya panik, “a-apa kau gila? Aku tidak mungkin tidur berdua denganmu!"

"Ini adalah tawaran terakhir dan jika kau tidak menurutinya, aku benar-benar akan membunuh Tom."

Tidak. Si kakek gila itu pasti bercanda.

"Aku tahu kau tidak sekejam itu." sergah Anna berusaha menyembunyikan wajahnya dari wajah Demian sebab hawa panas mulai menjalar entah darimana.

"Oh jika kau mau menguji kepercayaanmu padaku, dengan senang hati aku akan melakukannya." Lalu Demian menegakkan tubuh seraya mengambil ponsel dari dalam saku celana. Ditekannya tombol loud speaker dengan sengaja setelah sebuah panggilan tersambung.

"Ya bos?"

"Harry, kau dimana?"

"Aku sedang ditempat biasa. Beberapa geng kecil mengacau di klub-mu. Tapi tenang saja, anak buahku sedang membereskannya."

"Aku ingin kau membunuh seseorang malam ini. Namanya Tommy Cal-"

"Tunggu," Anna tiba-tiba berdiri dengan kedua tangan didepan dada, "aku—aku bersedia bermalam disini. Aku tidak akan kemana-mana! Matikan telepon itu sekarang, kumohon."

Sebuah senyuman dengan lesung pipit sedalam lautan tercipta lagi didepannya. Anna tengah menerka, mengapa Tuhan memberikan paras seartistik itu pada seseorang yang tidak pantas menerimanya.

Oh, apakah ia baru saja merutuki seseorang dalam hati?

"Nah. Begitu lebih baik." kata Demian kemudian membuka pintu balkon agar udara malam bisa masuk. Sementara Anna menghempaskan bokongnya lagi dengan lemas karena tidak menyangka harinya akan berakhir seperti ini. 

Tapi ketika ia mulai tenggelam dalam pikirannya sendiri, sebuah pemandangan mendistraksinya. Jantung Anna tiba-tiba saja berdegup lebih kencang manakala pria itu memperhatikannya dengan tubuh yang tertumpu pada pintu balkon sementara langit tanpa bintang menjadi latar belakangnya. Auranya kelam bagai malam, dan mematikan bagai gunung api yang mengubur magma. Anna tidak yakin harus merasa tertarik atau bersimpati karena obsesi yang dimiliki Demian terhadap dirinya. Atau bisa dibilang, ia tengah bingung perasaan mana yang lebih besar ia rasakan untuk Demian saat ini.

"Kau tidak bisa hidup seperti ini, Demian Caleb. Hidupmu bisa lebih baik dari ini." Anna meneliti sebuah kabinet rendah bernuansa skandinavian dipojok kamar yang dipenuhi dengan bingkai foto dan sertifikat guna menghindari pandangan Demian yang menyengat jiwa. Untuk sesaat, ia yakin tumpukan kertas itu adalah sertifikat penghargaan.

"Katakan padaku seperti apa hidup yang baik menurutmu?" tanya Demian menenggak vodka-nya seteguk demi seteguk. Tubuhnya yang besar dan—Anna berpikir itu cukup menggiurkan— membentuk siluet samar diantara pencahayaan kamar yang temaram.

Menggoda.

"Hidup yang.. jauh dari kata membunuh, memperkosa, merampas, dan yang lainnya. Aku tidak bertujuan untuk—yah kurang lebih seperti itu." 

Anna seharusnya bisa lebih baik memilih kata.

"Kau tidak bisa menetapkan standar hidup yang baik pada semua orang. Tahu kenapa?” Demian meletakkan botol vodka diatas meja sebelum kemudian menghampiri Anna dan berdiri melipat tangan didepannya, “karena setiap orang mempunyai sejarah, preferensi, dan kebutuhan yang berbeda-beda."

Penuturan Demian yang menurutnya terlalu abstrak membuat Anna menautkan alis sambil mengerjap-ngerjapkan matanya lucu. Membuat si pria menarik satu sudut bibirnya keatas. Ia mengenali gestur itu. Gestur yang akan Anna tunjukkan ketika tidak dapat menerima pendapat dari orang lain.

"Kau tahu? Saat ini aku ingin sekali merobek pakaianmu dan menidurkanmu di belakang sana, menjilati setiap jengkal tubuhmu dan membuatmu memohon padaku untuk menghancurkanmu. "

Baiklah. Kedengaran sangat mengerikan.

Sambil menelan ludah Anna mendongakkan kepala,"apakah kau selalu berkata kotor seperti itu pada semua wanita?"

"Hanya jika aku benar-benar menginginkannya.”

“Kau tidak harus berbuat seperti ini padaku. Aku memahami perasaan penggemar berat seperti kalian dan sejujurnya aku sangat menghargai itu. Hanya saja kadang-kadang kalian tidak tahu dengan cara apa kalian harus menyalurkan energi cinta yang kalian miliki."

"Sweetheart, aku bukanlah penggemarmu karena tidak ada satupun album atau merchandise-mu yang aku koleksi," kata Demian memutar bola mata sebelum ia duduk disebelah Anna dan mencubit kecil dagunya, "aku hanya terlalu menginginkanmu. Lebih dari apapun."

Sentuhan itu membuat Anna refleks menjauhkan wajah secara gradual. Betapa dirinya tidak bisa menguasai diri sebab aroma amber dan musk yang maskulin menari-nari disekitar penciumannya. Jadi ia memutuskan untuk menggeser pandangan kearah botol vodka yang nampaknya memang pilihan bagus untuk meredam campur aduk emosinya saat ini.

"Maafkan aku, tapi tiba-tiba saja aku merasa haus." kata Anna hendak berdiri, tetapi urung karena Demian lebih dulu berdiri dan memberikan vodka tersebut padanya.

"Kau menyukai rasanya?" tanya Demian menumpu tubuh dengan satu tangan diatas ranjang sembari melepas dua kancing atas kemejanya, "katakan padaku."

Hanya ada beberapa pria dalam hidup Anna yang dianggapnya memiliki semacam sex appeal atau daya tarik tersendiri. Dan sayangnya, Demian Caleb menjadi bagian didalam daftar itu setelah Anna bertemu dengannya malam ini.

Sedikit terburu-buru ia menelan cairan alkohol karena menurutnya gerakan kecil yang baru saja Demian lakukan sangat seksi, "ti-tidak buruk." 

"Omong-omong kadar alkoholnya 85%. Dan kau harus mencampurkannya dengan anggur merah. Tunggu sebentar." ujar pria itu lalu mengambil sebotol anggur merah dari dalam lemari es dan menuangkannya kedalam botol vodka yang dipegang Anna.

Ia mengerutkan dahinya polos sebelum menenggak campuran alkohol itu, "untuk apa?" 

Tidak ada jawaban dari Demian. Ia menunggu Anna hingga wanita itu menghabiskan hampir setengah botol alkohol, sambil menatapnya seolah Anna adalah makanan penutup, "karena jika mencampurnya, kau akan merasa sangat terangsang."

 

                                         **

"Tom bangun!"

Louie menggoyang-goyangkan tubuh Tom yang tertidur tepat disampingnya,"woahh.. luar biasa, kau benar-benar tertidur!"

Tom tersentak seraya mengusak surai cepaknya yang berantakan,"jam berapa ini? Louie, kau tertidur lebih dulu tahu!"

"Jam satu pagi! Kita harus telepon dia sekarang, si kakek gila itu keterlaluan!"

Lalu Louie menekan tombol cepat di kontaknya. Setengah merutuki kenapa bisa ia dan Tom lengah disaat-saat genting seperti sekarang. Tetapi sayangnya hingga empat kali menelepon, tidak ada jawaban dari seberang sana.

"Masih tidak ada jawaban! Apa kita langsung lapor polisi saja?" tanya Louie mulai terlihat panik.

Tom baru saja akan mengiyakan ketika sebuah pesan singkat masuk setelahnya.

Jangan menggangguku. Aku baik-baik saja.

Sementara pria itu mengerutkan dahi seraya melihat layar ponsel, Louie mengeluarkan ekspresi yang cukup histeris, "sungguh, dia bicara padaku seperti itu?? Sejak kapan dia menganggap aku mengganggu hidupnya?"

"Apa itu benar dari Anna? Kenapa balasan pesan itu seperti bukan darinya?" Tom membuka ponsel dan mengotak-atiknya untuk beberapa saat, “Lu, titik GPS-nya masih ada di lokasi yang sama dari tadi. Apa dia baik-baik saja?"

"Aku akan menelepon si gila Robert!" kata Louie berinisiatif untuk mencari jalur alternatif selain melapor pada polisi. Panggilan melalui loud speaker itu terangkat pada dering ketiga.

"Louie, apa kau tahu jam berapa ini?!"

"Anna belum juga pulang, kami sangat mengkhawatirkannya!"

Suara disana terdiam sebentar.

"Jangan khawatir, aku tahu Demian Caleb."

"Bagaimana jika dia dilecehkan!"

"Hm.. Kapan dia terakhir kali punya kekasih?"

Louie kemudian menoleh pada Tom yang menatapnya bingung.

"Kau gila, itu sudah lama sekali! Dia terakhir berhubungan waktu kuliah!"

"Tom, kaukah itu? Ya Tuhan, kalian tenanglah! Aku yakin tidak terjadi apa-apa padanya.. Well, setidaknya Demian tidak akan membunuhnya."

"Wah sial! Bagaimana kau bisa setenang itu Pak Tua??"

"Louie, berhentilah memanggilku Pak Tua!

Aku belum pantas menyandang sebutan itu!"

"Dia memang gila," Tom merebut telepon milik Louie dan mematikan sambungannya,"pokoknya kita tunggu sampai besok. Kalau besok Anna belum juga pulang, kita lapor polisi oke!"

Louie menghela napasnya panjang, "oh tidak, aku benar mengkhawatirkannya kali ini. Dia seperti dandelion yang tidak bisa tertiup angin kau tahu itu kan?"

Yang ditanya hanya terdiam dengan tatapan nanar, kehilangan akalnya untuk berpikir saat ini. Kemudian akhirnya Tom menepuk bahu Louie dua kali sebab pasrah," berdoalah Lu, agar tidak ada angin yang membawanya ke rumah bordil."

                                           **

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status