Share

Siapa Pemuda Asing itu?

Hari ini usiaku sudah hampir 17 tahun dan tak sekalipun naga biru muncul, bahkan di mimpi sekalipun. Aku makin yakin jika naga biru hanyalah dongeng tidak lebih dari itu. Namun, aku tidak berani untuk mengatakan keraguanku kepada para tetua, bisa-bisa aku diusir dari pulau. 

Malam ini aku harus mengikuti ritual. Sesuai perkiraan para tentu, ritual kami malam ini akan dilakukan di bawah bulan purnama. Kami akan berdoa kepada semesta dan naga biru.

 “Ibu, kain tenun yang warna biruku di mana ya?”

“Astaga Latu, tadi ibu jemur. Ibu lupa ambil dari jemuran!”

“Oh, kalau begitu aku ambil dulu baru kita berangkat ya,” kataku sambil berlari ke halaman.

Aku berlari melihat jemuran di pinggir rumah. Kain itu terbentang di tali jemuran yang diikat pada batang pinang dekat rumah. Aku mengambil kain biru dari jemuran dan membawanya ke kamar. Melihat warna biru kain itu aku teringat pada benda yang kutemukan di sungai beberapa tahun yang lalu. Setelah mengamatinya aku merasa jika benda itu akan cantik sekali jika dipakai sebagai kalung. Beberapa hari yang lalu aku dan gadis lain mengumpulkan kerang dengan bentuk yang indah dari pantai. Kami membuatnya menjadi kalung. Aku memutuskan untuk menambahkan benda biru yang indah itu sebagai salah satu ornamen kalung kerang.

“Wah, bagus sekali,” gumanku saat melihat rangkaian kalung itu.

“Lalu, ayo. Ini nanti kita telat!” teriak ibu dari depan.

“Ia. Sebentar, Bu!” jawabku dari kamar.

Sebelum ritual aku harus dalam kondisi bersih. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain aku harus berangkat ke hulu sungai yang lokasinya cukup jauh dari rumah. Syarat ini memang sangat menyulitkan. Aku tidak bisa mandi di aliran sungai seperti anak-anak lain, aku harus berjalan cukup jauh ke hulu sungai. Karena syarat ini aku dan ibu selalu berangkat ke sana sekitar dua atau tiga kali dalam satu minggu. Selebihnya aku hanya mengelap tubuhku dengan air hulu sungai yang kami bawa pulang. 

“Coba aku bisa mandi di bagian sungai mana saja!” ucapku menggerutu.

 “Hus. Kamu tidak boleh begitu. Ini bukan beban, tetapi berkah, harus bersyukur!” ucap ibu. Ibu memang masih sangat percaya dengan kisah nenek moyang kami, bahkan kisah tentang naga biru. 

“Iya, Bu! Iya,” kataku sambil cemberut. 

Sesampainya di hulu sungai aku segera menanggal kain yang melilit di tubuhku. Air sungai sangat segar sore ini, rasanya perjalanan jauh itu cukup terbayar dengan kesegaran air sungai. Ibu juga mandi namun sedikit jauh dariku. Ibu yang sudah bersih segera mengenakan kain yang dibawanya dari rumah. Ia merapikan sanggulnya sehingga terlihat lebih indah.

“Itu bagus sekali, Nak. Ibu belum pernah melihat benda secantik itu.” 

Aku yang masih berendam melihat ke arahnya.

“Itu yang warna biru di kalungmu cantik sekali.”

Aku melihat kalung yang melingkar di leherku. Kilauan yang aku lihat beberapa tahun lalu terpancar lagi dalam benda ini. 

“Oh ini. Dulu aku dapat ini dekat sungai, Bu. Karena bagus akhirnya aku simpan saja.” jawabku santai, tidak terlalu merasa aneh dengan benda yang asing ini.

 Aku dan Ibu berjalan menuju rumah selepas mandi. Kami berdua berjalan agak cepat, aku takut jika nanti tidak datang tepat waktu mengikuti ritual. Ritual adalah agenda sangat penting di pulau Tannin. sehingga aku tidak bisa mengacaukan ritual itu dengan muncul terlambat. 

Matahari sudah terbenam, namun desa kami masih terang. Cahaya bulan di malam ini berbeda dengan malam-malam lain. Tidak ada bintang yang terlihat di langit. Seolah semuanya membiarkan bulan mengambil alih pesona di malam itu. Api unggun terlihat berkobar di dekat pantai, kemungkinan semua penduduk sudah berkumpul untuk melakukan ritual. Benar saja, pantai sudah begitu ramai, orang-orang sudah bersiap untuk mengikuti ritual di bawah sinar bulan purnama dengan pakaian terbaik mereka. 

Ritual akhirnya dimulai setelah kesepuluh tetua pulau  datang sembari membawa kendi berisi air dari hulu sungai.

 “Lalu, ambil kendi ini. Karena hari ini usiamu genap 17 tahun pada malam ini sudah seharusnya kau memimpin perjalanan. Semoga naga biru melihat kedewasaan dan bersiap menunjukkan diri kepadamu.” Ucap seorang tetua kepadaku.

 “Baik Nek,” jawabku tidak mengelak.

Aku tidak pernah menolak barang satu pun perintah dari tetua desa. Perintah mereka seperti hukum yang mengikat. Kami selalu dipesan bahwa melanggar perintah tetua akan mendatangkan karma sehingga tidak ada yang mau coba-coba. Bahkan, jika hari ini tetua mengatakan aku harus menikah, maka hal itu harus terjadi.

Aku berjalan ke tepi lingkaran yang digambar mengelilingi api unggun yang menyala-nyala. Gendang dari kulit sapi segera ditabuh, kecapi dipetik dengan merdu. Semua penduduk mulai bernyanyi dan menari. Aku dan tetua desa berjalan mengelilingi api itu sembari mengucapkan doa-doa. Semua berjalan dengan lancar sampai seorang dari tetua berhenti berjalan. Semua tentu kebingungan, seharusnya kami tidak boleh berhenti sebelum 30 kali mengelilingi api unggun. Ketika para tetua lain memeriksa perempuan tua yang berhenti itu tiba-tiba matanya terbuka. Matanya tidak melotot, namun seperti cahaya kebiruan terpancar dari kedua bola matanya. 

“Berbahagialah kalian, wahai manusia yang mendiami pulau ini!” ucapnya dengan lantang penuh dengan kewibawaan. Suaranya terdengar ke setiap telinga penduduk desa. “Sekalipun aku tidak pernah meninggalkan kalian, namun keturunan Anaga dan Kaliyahlah yang mengkhianati kepercayaanku. Namun, di malam ini semesta telah berkehendak. Tubuh yang dijanjikan sudah sempurna dan hanya menunggu hari kita akan berjumpa.”

Setelah mengucapkan kalimat itu tetua desa segera terbangun. Dia melihat orang-orang yang mengelilingi dengan wajah khawatir. Tidak satu pun dari kami yang berani bertanya apa yang terjadi. Setelah melanjutkan ritual  para tetua berkumpul. Mereka mencoba memahami kejadian malam ini dan bersiap memberi penjelasan kepada para penduduk pulau. 

“Wah, tadi aku kaget sekali Bu. Aku kira aku yang salah. Kira-kira maksud dari nenek apa ya. Aku penasaran sekali. Mungkin dia dirasuki roh nenek moyang kita?” 

“Itu urusan tetua desa, Nak. Kita tunggu saja penjelasan dari mereka.” Jawab ibu dengan nada sedikit aneh.

“Aku tidak paham, apa maksudnya tubuh yang dijanjikan sudah sempurna? Janji siapa ke siapa? Terus kenapa nenek itu bilang kalau keturunan nenek moyang kita yang meninggalkan dia? Ah aku bingung sekali.” 

“Sudah, sudah. Ayo masuk.”

Aku segera menuju kamar tidur karena tubuhku begitu lelah. Aku melepaskan kain yang kukenakan dan menutupi tubuh dengan selimut tipis. Di dalam rumah yang gelap gulita aku membaringkan tubuh dan segera terlelap. 

Tiba-tiba aku melihat cahaya begitu terang, dan anehnya aku tidak berada di kamar. Aku berada di sungai, tepatnya di hulu sungai. Aku melihat badanku tidak mengenakan kain tenun, tetapi diselimuti oleh kain biru muda yang begitu halus. Rambutku yang panjang juga begitu lembut dan wangi, bau ini belum pernah kucium sebelumnya. 

Aku melihat seorang pemuda sedang berendam di sungai yang biasanya menjadi tempatku mandi. Aku tidak bisa melihat wajahnya, namun punggungnya begitu kekar. Lengan padat dengan otot. Kulitnya sangat bersih, rambutnya hitam dan lebat. Aku berjalan masuk ke sungai, aku berjalan hingga kini tepat di belakang pemuda itu. Aku memeluknya dari belakang, mencium tubuhnya yang tidak dilapisi oleh sehelai kain dengan liar. Pemuda itu hendak berbalik badan, tapi tiba-tiba saja cahaya yang begitu terang terpancar dari wajahnya, membuat aku kesilauan dan menutup mata. Saat aku membuka mata aku terbangun di kamar yang kini sudah sedikit terang. 

Nafasku masih memburu. “Apa maksud dari mimpiku tadi?” 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status