Tanganku bergetar sembari menggenggam ponselku dengan erat. Mataku berair selagi terus menatap judul sebuah artikel yang sedang menjadi trending topic di berbagai platform media sosial.
SHANE ANDROMEDA TERTANGKAP KAMERA SEDANG MENGHABISKAN LIBURAN BERSAMA MANTAN KEKASIHNYA DI SEOUL. Aku tahu Shane tidak pernah mencintaiku dan aku tidak menyalahkannya akan hal itu. Kami berdua dijodohkan oleh kedua orang tua kami. Shane sudah berusaha selama dua tahun untuk menghindari perjodohan itu, tetapi titah kedua orang tuanya adalah mutlak. Meski Shane telah sukses mendirikan perusahaan real estate-nya sendiri, tapi modal terbesarnya berasal dari grup milik ayahnya sehingga mau tak mau, ia akan terus hidup di bawah naungan orang tuanya. Aku sendiri masih berusia delapan belas tahun ketika kami akhirnya dinikahkan tahun lalu. Yah, aku baru saja lulus dari SMA. Bagi orang tuaku, usiaku sudah mencapai angka legal untuk menikah. Meski mereka adalah konglomerat dengan latar belakang modern, tapi kedua orang tuaku cukup konservatif dalam hal pernikahan. Mereka khawatir karena aku adalah anak tunggal dan berjenis kelamin perempuan sehingga dianggap tidak akan mampu meneruskan bisnis keluarga. "Nikah muda itu gak masalah asalkan usiamu sudah legal dan secara ekonomi sudah mapan. Shane itu satu-satunya laki-laki mapan yang usianya sudah cukup matang, tapi tidak ketuaan untuk kamu. Soal cinta, itu akan tumbuh seiring berjalannya waktu. Mama dan Papa juga dulu menikah tanpa cinta kok. Buktinya kami langgeng sampai sekarang." Rasanya aku ingin tertawa ketika mengingat perkataan mama kala itu. Acuan mereka hanyalah karena baik ekonomiku maupun ekonomi Shane sudah lebih dari cukup untuk membina rumah tangga tanpa mempertimbangkan kesiapan mental kami, terutama aku. Barangkali usia Shane memang sudah layak untuk menikah. Dia berusia 29 tahun ketika kami menikah tahun lalu. Sedangkan aku, aku baru saja lulus SMA dan belum siap secara mental. Ketika teman-teman seusiaku sibuk mempersiapkan masa depan mereka dengan belajar demi kampus impian, aku malah mengenakan gaun pengantin dan menikah dengan pria yang praktisnya adalah orang asing bagiku. Orang tuaku percaya bahwa Shane bisa mengurusiku dengan baik. Sejak kecil, semua kegiatanku terstruktur dan terjadwal dengan baik. Aku tidak pernah melakukan hal lain selain belajar akademik dan melatih bakat. Semua kebutuhanku mulai dari makan hingga pakaian diurus oleh para pelayan yang dibayar mahal oleh kedua orang tuaku. Sesuai dugaan orang tuaku, memang benar Shane mengurusiku dengan baik. Bahkan, aku tidak merasa seperti seorang istri melainkan hanya anak kecil yang dirawat oleh Shane. Shane tidak ramah padaku sejak awal kami bertemu hingga menikah. Kami bahkan hampir tidak pernah berbicara satu sama lain kecuali untuk hal-hal mendesak. Sepertinya Shane hanya merawatku sebagai bentuk tanggung jawab, tanpa melibatkan perasaan sedikitpun. Aku bukannya tidak pernah berusaha mendekatkan diri padanya selama setahun belakangan. Aku selalu menunggunya ketika pulang kerja, aku selalu berusaha mengajaknya mengobrol, akan tetapi semuanya sia-sia. Hingga akhirnya Shane jenuh dengan segala usahaku. Suatu malam, ia mengajakku berbicara. Ia menceritakan padaku bahwa sebelum menikahiku, ia memiliki kekasih. Wanita itu bernama Erina. Mereka sudah berpacaran sejak kelas tiga SMA. Satu-satunya alasan kenapa Shane tidak bisa menikahi Erina adalah karena Erina bukan berasal dari keluarga konglomerat. Kedua orang tua Shane menolak Erina. Bagi mereka, Shane yang merupakan anak tunggal adalah satu-satunya harapan. Pernikahan Shane harus membawa benefit untuk keluarga mereka. Dan akulah yang dipilih oleh kedua orang tua Shane. Seorang putri tunggal dari pengusaha yang mereka anggap selevel dengan keluarga mereka. Dengan tujuan yang sama yaitu mendapatkan kekaguman publik dan menyatukan kekayaan, orang tua kami sepakat untuk menikahkan kami. Wanita yang ada di artikel itu--meski bagian wajahnya dibuat buram--aku tahu dia adalah Erina. Shane seharusnya sedang melakukan perjalanan bisnis ke Korea. Aku tidak tahu kenapa dia malah bertemu Erina di sana. Meski di hati Shane selalu ada Erina dan barangkali mereka memang menjalin hubungan di belakangku, tapi Shane tidak seharusnya seterang-terangan ini. Dia tahu betapa terkenalnya dirinya dan berita tentang dirinya adalah yang paling ditunggu-tunggu. Selain itu, bukankah seharusnya dia tahu orang tuanya akan bereaksi seperti apa akan kabar ini? Tidak ada yang bisa kulakukan selain menunggu hingga Shane kembali. Aku tidak akan menghubunginya. Kami sama sekali tidak pernah bertukar pesan maupun menelepon bahkan ketika Shane sedang berada di tempat yang jauh. Aku merasa terlalu asing dengan hal-hal semacam itu karena bahkan saat bersama di penthouse ini, kami hampir tidak pernah berinteraksi.Aluna memijat keningnya, tak habis pikir dengan kelakuan Shane yang menurutnya tidak masuk akal. Mereka tidak saling kenal, tapi pria ini bertingkah seolah-olah mereka adalah keluarga. Meski tidak akan mengakuinya di depan siapapun, Aluna akui ada desiran asing di hatinya tiap kali melihat Shane bahkan di saat pertama kali Aluna melihat wajah pria itu di majalah. Dan sekarang sifat Shane yang aneh ini berhasil membuat Alena hilang rasa. "Aku gak merasa punya kewajiban untuk menjelaskan apapun pada Pak Shane," ucap Aluna untuk memperjelas batas di antara mereka. Shane menghunuskan tatapan tajam Pada Aluna. "Bu Ratna membiarkan kamu melakukan pekerjaan itu?" Mendengar nama Bu Ratna disebut, nyali Aluna seketika digambarkan seperti gulali yang disiram air. Dia hampir lupa bahwa Shane bisa saja mengadukan yang dilihatnya pada Bu Ratna. "Bu Ratna gak tahu dan jangan sampai dia tahu," sahut Aluna. Dia memberanikan diri membalas tatapan nyalang Shane. "Pak Shane lebih baik gak usah iku
Berbekal informasi dari Bu Ratna yang mengatakan bahwa Melody setiap harinya berangkat ke tempat kerja pukul tujuh malam, Shane pun akhirnya mendatangi hotel Alaris. Hotel ini merupakan hotel bintang tiga. Di kota Lindara, belum terdapat hotel tingkat mewah. Shane sendiri hanya menginap di hotel lain yang termasuk kategori hotel tingkat menengah.Kalau perlu, Shane akan pindah ke hotel Alaris agar dia bisa memantau kegiatan Melody. Shane penasaran jenis posisi apa yang didapatkan Melody di sebuah hotel sedangkan dalam kondisi masih mengingat semuanya seperti dulu saja Melody tidak pernah mengerjakan pekerjaan apapun di rumah.Shane duduk cukup lama di lobby. Para pegawai hotel mulai menatapnya penuh curiga karena sedari tadi mereka sudah berkali-kali menanyakan apa yang Shane butuhkan, tapi Shane selalu menjawab dengan 'saya sedang menunggu seseorang'.Akhirnya, sang manajer hotel berinisiatif menghampiri Shane. Si manajer hotel memiliki pengelihatan cukup tajam dalam menilai seseoran
Aluna baru saja selesai mandi dan bersiap-siap hendak pergi bekerja ketika Bu Ratna muncul di depan pintu kamar yang dibiarkan terbuka. Sambil mengeringkan rambutnya, Aluna menghampiri Bu Ratna."Gimana tadi pembicaraannya dengan Pak Shane?" tanyanya.Bu Ratna terdiam selama beberapa detik sembari memperhatikan wajah Aluna dengan seksama seakan sedang menilai kebenaran dari informasi yang disampaikan Shane mengenai Aluna. Atau yang kemungkinan besar adalah benar Melody."Bu? Kok malah melamun sih?" tegur Aluna bingung.Bu Ratna sedikit tersentak lalu berusaha tersenyum. "Pak Shane ternyata baik banget orangnya. Beliau setuju untuk membiarkan kita untuk tinggal di sini selagi perusahaannya melakukan persiapan pembangunan dan renovasi."Alih-alih senang, Aluna malah merasa ragu. "Segampang itu? Kok rasanya aneh ya?"Bu Ratna buru-buru mengalihkan pembicaraan sebelum Aluna berpikir terlalu jauh. "Lun, kamu udah mau berangkat kerja? Kalau masih ada waktu, Ibu mau ngobrol sebentar. Bisa?"
Shane sedang sibuk berkutat dengan beberapa dokumen pekerjaannya ketika tiba-tiba Tasya menghubunginya. Sekretarisnya itu sangat jarang menelepon kecuali untuk keadaan genting. Oleh karena itu, Shane tahu pasti ada sesuatu yang mendesak. Ia segera mengangkat panggilan Tasya."Ya, Sya? Is everything okay?" tanya Shane memastikan."Saya menemui beberapa kendala kecil, tapi bukan itu yang ingin saya sampaikan kepada Bapak," jawab Tasya.Shane mengerutkan keningnya. "Ada apa?""Barusan waktu saya baru saja turun dari mobil dan sedang mengobrol dengan seorang warga lokal mengenai bangunan yang akan dibeli oleh perusahaan, saya melihat perempuan yang mirip dengan Nyonya Melody."Shane berdiri dari duduknya seketika. Sudah lama dia tidak mendengar nama itu diucapkan dari mulut orang lain selain kedua orang tuanya dan Bu Nani. Bahkan ketiga orang itu juga mulai mengurangi frekuensi membahas tentang Melody karena mereka telah menyaksikan bagaimana selama hampir satu tahun belakangan Shane teru
Matahari baru saja terbit seutuhnya ketika Aluna terbangun. Mimpi itu datang lagi dan semakin lama, terasa semakin nyata seolah itu bukanlah sebuah mimpi melainkan sebuah kenangan yang Aluna pernah lewati dalam masa hidupnya. Mimpi itu bukan mimpi buruk, hanya seperti cuplikan-cuplikan kehidupan seorang perempuan yang Aluna lihat mirip dengan dirinya sendiri. Anehnya, meskipun bukan mimpi buruk yang menakutkan, Aluna tetap merasa tidak nyaman ketika menyaksikan semua itu. Masih sambil berbaring di ranjang susun yang membuatnya tidur dekat dengan langit-langit kamar, Aluna menyentuh dadanya sendiri. Rasa sesak yang ia rasakan ketika menyaksikan mimpinya masih dia rasakan sampai sekarang. Tanpa Aluna sadari, tangannya bergerak turun dan menyentuh perutnya tepat di bagian yang memiliki bekas luka jahitan. Kata dokter yang kala itu menanganinya, bekas luka itu adalah bekas operasi sesar. Aluna bukannya tidak tahu bahwa pasti ada banyak hal dari masa lalunya yang tidak dapat ia ing
Shane mengamati foto bangunan besar terbengkalai yang terpampang di layar proyektor dengan penuh pertimbangan selagi mendengarkan penjelasan dari salah satu manajernya. "Mohon maaf, Pak Ali." Tasya yang sampai saat ini masih menjabat sebagai sekretaris Shane mengangkat tangannya. "Kalau dilihat dari lokasinya, saya rasa bangunan ini tidak akan memiliki nilai jual yang besar." Ali--manajer tadi--mengangguk mengiyakan analisis Tasya. "Benar, Bu Tasya. Kalau untuk dijadikan kantor atau hunian tentunya tidak akan ada orang yang mau membeli properti di kota Lindara. Tapi kalau untuk dijadikan pabrik, saya rasa akan banyak yang berminat." Tasya mengerutkan kening. "Apa Pak Ali sudah melakukan research mengenai kota Lindara? Situasi kehidupan di sana bisa dikategorikan 'liar'. Pusat dunia malam ada di sana." Shane yang sejak tadi terdiam akhirnya angkat bicara. "Dunia malam?" Tasya mengangguk. "Benar, Pak Shane. Angka kriminalitas di sana cukup tinggi dalam beberapa tahun belakangan. Te