Saat taksi yang kupesan tiba, aku berbalik pada Shane yang berdiri di belakangku. "Aku pulang ya." Shane mengangguk singkat. "Hati-hati." Aku membuka pintu taksi dan masuk. Selagi taksi mulai bergerak, pandanganku masih tertuju pada Shane yang juga masih berdiri di tempatnya dan menatap ke arah taksi yang kutumpangi. Tiga puluh menit kemudian, aku tiba di mansion orang tuaku. Aku berjalan ke pintu utama. Biasanya aku tak menghiraukan parkiran mobil. Hanya saja karena Papa sudah menjual beberapa mobil dan menyisakan dua, kehadiran mobil lain menjadi begitu terlihat. Aku mendapati dua mobil asing yang terparkir di sana, menandakan ada tamu yang sedang berkunjung ke kediaman kami. Aku mengecek jam tanganku. Waktu makan malam hampir tiba. Bisa jadi orang tuaku lah yang mengundang para tamu itu untuk makan malam. Ini berarti aku akan makan malam sendiri saja di lantai dua. Ketika menapakkan kakiku di ruang utama, kedua orang tuaku serta ketiga tamunya langsung menoleh ke arahku. Rupan
Staff wanita itu pamit undur diri untuk memberiku ruang. Aku duduk termangu menatap makam mungil yang dirawat dengan baik. Rumput jepang yang menyelimutinya terasa begitu lembut saat kusentuh. Lalu aku memperhatikan nisannya. Awalnya aku tak mengira akan ada tulisan di sana karena bakal anak kami ini tidak memiliki nama. Namun dugaanku salah. Ada ukiran nama berikut tanggal di mana aku keguguran. "Apple," gumamku membaca nama yang terukir di sana. Apel? Shane menamai anak kami dengan nama buah? Ah, aku baru ingat. Buah apel melambangkan sebuah permintaan maaf. Shane sering bepergian keluar negeri, jadi ia banyak mempelajari bahasa dan maknanya. Shane pernah bercerita kalau kata 'apel' dan 'maaf' jika diterjemahkan ke dalam bahasa Korea akan berbunyi sama, yaitu 'sagwa'. Aku tidak pernah menyangka kalau Shane akan merasakan kehilangan sedalam ini. Apa semua ini merupakan bentuk rasa bersalahnya atas hari di mana aku keguguran? Kala itu dokter bilang aku sering stress berlebih
"Pa, mereka itu bisnisnya beda lahan sama bisnis Papa. Di mana nyambungnya perusahaan agrobisnis dengan bisnis fashion? Papa mau bikin pakaian dari kulit jagung apa gimana?" Papa meletakkan dokumen yang sedari tadi ia pegang ke meja. "Tentu bukan kerjasama yang seperti itu." "Lalu?" "Leo itu cerdas dan Papa yakin dia mampu membantu Papa mengelola perusahaan," jawab Papa berhasil membuatku menganga. "Pa! Leo itu cuma pintar dalam teorinya. Dia sama sekali gak pernah berkecimpung langsung di dunia bisnis. Ngajar kelas bisnis mungkin dia sangat bisa, tapi mengelola perusahaan apa lagi yang sebesar perusahaan Papa dengan segala macam masalahnya, aku yakin aku lebih bisa dibandingkan dia." "Tapi bagaimanapun, dia punya ilmunya." Papa masih bersikeras dengan pendapatnya. "Dan lagi, untuk kali ini Papa gak akan memaksa kamu untuk langsung menikah dengan Leo. Kalian bisa melakukan pendekatan dulu dan mengenal satu sama lain. Lagian kamu juga sudah kenal sama dia sejak lama kan." A
Begitu acara penyambutan mahasiswa baru selesai, aku memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar fakultas. Tadinya aku mengajak Jena, tapi rupanya Jena harus langsung pergi untuk latihan bersama bandnya. Tadi Jena sempat cerita bahwa dirinya adalah seorang gitaris di band yang ia bentuk sejak SMP bersama teman-temannya. Aku merasa iri. Kalau saja Papa dan Mama memperbolehkan aku untuk bermain musik atau bernyanyi, aku juga pasti bisa seperti Jena.Sambil berjalan di koridor lantai dua, aku menyaksikan para mahasiswa dengan beragam kegiatan di halaman kampus. Ada yang berlatih menari. Di sisi seberang halaman ada sebuah panggung yang tidak begitu besar. Beberapa mahasiswa berkumpul di sana dengan alat musik di masing-masing tangan mereka.Aku berhenti dan menyandarkan sikuku di langkan. Secara tak terduga, ada tangan yang menyodorkan segelas minuman padaku. Aku menoleh dan melihat Leo sedang berdiri di sampingku."Aku gak minum kopi," ucapku lantas mengembalikan pandanganku ke halaman f
Tatapanku berserobok dengan Leo. Seharusnya aku segera membuang muka dan masuk ke audiorium. Sialnya, entah mengapa aku malah seolah membeku di tempatku berpijak. Kupikir Leo akan buang muka atau pura-pura tak mengenaliku. Ajaibnya, dia malah tersenyum dan melambai ringan padaku. Aku membalas senyumannya dengan canggung. Ayolah, Melody. Langkahkan kakimu ke auditorium, bukannya malah berdiri dan saling sapa dengan pria yang 'kabur' ke luar negeri saat hendak dijodohkan denganmu. "Leo, kamu kenal mahasiswi baru ini?" Suara Giselle yang bertanya pada Leo berhasil menyadarkanku. Gadis cantik itu kini tengah menatapku dan Leo secara bergantian dengan tatapan ingin tahu. Tak kusangka, Leo mengangguk santai. "Orang tua kami partner bisnis," jawab Leo pada Giselle. "Dia anaknya Pak Richard Kusuma."Entah mengapa, aku benci dengan cara Leo memperkenalkan aku pada Giselle. Kenapa harus membawa-bawa nama Papa? Dan lagi, aku bisa menangkap nada mengejek dari cara bicaranya seolah-olah yang
Aku berlari ke arah halte bus sambil sesekali melirik jam tanganku. Aku tidak menyangka berjalan kaki keluar dari kompleks perumahanku menuju jalan utama rupanya lumayan lama. Selama ini aku hanya melintasi jalan itu dengan mobil sehingga kupikir jaraknya tidak begitu jauh. Tahu begitu, aku tadi numpang saja di mobil Papa. Bertepatan dengan ketika aku tiba di halte, bus yang menuju area kampusku sudah mulai bergerak meninggalkan halte. Aku menambah kecepatanku. Untunglah beberapa orang yang sedang berdiri di halte berbaik hati berteriak ke arah bus untuk berhenti. Aku mengucapkan terima kasih pada orang-orang itu sebelum naik ke bus. Aku duduk di kursi paling belakang. Tidak banyak penumpang di dalam bus ini karena tujuan bus ini adalah area kampusku yang mana di sana tidak ada bangunan perkantoran. Untuk kampus swasta seelit itu, para mahasiswanya pasti memiliki kendaraan pribadi. Barangkali hanya aku yang naik kendaraan umum ke kampus. Kusandarkan kepalaku di jendela bus sembar
Shane berhasil membuat hari ulang tahunku menjadi hari paling kelabu. Apa maksudnya dia memberikanku kado, tetapi juga membelikan Erina hal yang sejenis? Aku tahu kami sudah bercerai dan kado itu barangkali adalah bentuk rasa pedulinya karena bagaimanapun, kita saling kenal dan pernah tinggal serumah. Tapi apa salahnya menjaga perasaanku? Seharusnya dia tidak usah memberikan aku apapun sekalian. Dengan kesal, aku segera menghapus unggahan ceritaku. Kado dari Shane kukemas kembali dan kubawa ke dalam kamarku. Aku menyimpannya di rak paling bawah di walk-in closetku. Aku tidak akan mengenakannya. Karena Shane, aku jadi tidak berselera untuk membuka kado-kadoku yang lain. Aku memutuskan untuk mengalihkan pikiranku dengan cara duduk di meja belajarku. Aku membuka laptop dan mulai mengerjakan soal-soal latihan yang Mars kirimkan padaku. Setelah hampir satu jam berkutat dengan soal-soal latihan, aku memutuskan untuk mengecek informasi pendaftaran kampus. Aku sudah memastikan semua doku
[Shane: Happy birthday, Melody.]Aku baru saja bangun dan hal pertama yang kulakukan adalah mengecek ponsel. Aku tidak ingat hari ini adalah ulang tahunku. Di antara semua pesan yang masuk di ponselku, pesan Shane lah yang paling pertama kubuka. Di atas ucapan selamat ulang tahun itu, ada beberapa pesan yang ia kirimkan sejak hari di mana hubungan kami diketahui oleh para orang tua. Tidak ada satupun pesannya yang kubalas karena tiap kali aku ingin membalas pesannya, aku teringat akan Papa.Kali ini, aku merasa akan menjadi orang paling jahat jika tidak membalas pesan Shane. Dia sudah berbaik hati mengingat hari ulang tahunku, jadi tidak ada salahnya aku mengucapkan terima kasih.[Melody: Thank you, Mas.]Pesan tersebut langsung dibaca oleh Shane. Aku memperhatikan layar selagi ia mengetik.[Shane: Aku pikir kamu gak akan balas pesanku.]Sebuah rasa bersalah menjalar di hatiku. Padahal Papa tidak akan tahu juga kalau aku membalas pesan Shane sesekali. Lagi pula, apa salahnya tetap sal
Keesokan harinya, Bu Nani mengetuk pintu kamarku pukul tujuh malam. Aku sedang menata ulang kamarku dengan barang-barangku yang tadi pagi dikirim oleh Shane. Kuhentikan sejenak kegiatanku dan membukakan pintu untuk Bu Nani. "Iya, Bu Nani?" Bu Nani membungkuk sopan padaku. "Ditunggu Tuan dan Nyonya di ruang makan, Non. Sudah jam makan malam." Aku mengangguk dan tersenyum. "Aku segera turun." "Baik, Non. Saya sampaikan ke Tuan dan Nyonya." Begitu Bu Nani pergi, aku segera mengganti tanktop dan celana pendek yang kukenakan dengan gaun rumah sederhana. Sejak kecil, salah satu aturan di rumah orang tuaku adalah wajib berpakaian sopan saat makan bersama keluarga. Ketika tiba di ruang makan, Mama dan Papa sudah duduk di kursi mereka masing-masing. Makan malam sudah terhidang di meja makan. Aku duduk di kursiku. Sebisa mungkin aku menghindari kontak mata dari mereka. Sejak kembali ke mansion ini, suasana terasa canggung terutama setelah pertemuan dengan keluarga Shane kemarin. "