LOGINArsen dan Isla hidup dalam dunia yang berbeda tanpa pernah tahu bahwa mereka sebenarnya adalah orang yang memiliki darah yang sama. Sang ayah, Damian, tak pernah menyadari bahwa masa lalunya meninggalkan seorang putri yang tumbuh tanpa namanya. Ketika Damian datang bersama seorang wanita baru, Arsen merasa dikhianati dan yakin bahwa penyebab mommy nya meninggalkan Arsen adalah karena daddy-nya. Pertengkaran besar terjadi antara ayah dan anak. pertengkaran berakhir dengan Arsen yang pergi meninggalkan rumah dengan amarah yang membutakan. Detik itu juga kesialan datang. Arsen mengalami kecelakaan hebat. Tapi disisi lain akhirnya dia menemukan mommy nya kembali. Mampukah keluar Arsen bersatu kembali?
View More"Arsen, Om tahu kamu pasti punya alasan kenapa mukul temanmu,” ucap seorang pria berjas hitam di samping remaja laki-laki yang bernama Arsenio Nathan Wiratama
Arsen menoleh sekilas, tatapannya datar. "Aku pukul dia karena dia ngebully temennya sendiri. Aku cuma nggak suka lihat orang sok berkuasa apalagi di lingkungan sekolah.” Suaranya terdengar dingin, tanpa ekspresi. Keduanya berjalan beriringan hingga langkah mereka terhenti di parkiran sekolah, dipenuhi deretan mobil dan motor mewah. Pria berjas tadi bernama Kenzo. Kenzo datang sesuai perintah Demian - ayah Arsen, karena pihak sekolah menelepon mengenai pemukulan yang dilakukan oleh anaknya. “Kamu mau ikut Om ke kantor Daddy atau balik ikut pelajaran?” tanya Kenzo hati-hati pasalnya Arsen sangat sensitif jika berbicara tentang Daddy nya. Arsen menyunggingkan senyum miris. “Kalau ikut Om juga percuma. Daddy pasti tetap cuekin aku.” Ucapannya terdengar sarkastis, menusuk. Kenzo hanya terdiam, menahan helaan napas. Ia tahu betul kebenaran itu. Damian memang jarang ada waktu untuk putranya. "Ya sudah, Om balik dulu,” pamit Kenzo. Lalu ia menambahkan, “Oh iya, Daddy kamu ada perjalanan bisnis beberapa bulan ke luar negeri. Kamu nggak ada yang mau dititipin?” Arsen menatapnya sejenak lalu menggeleng. “Nggak ada, Om. Tumben Daddy nitip kabar lewat Om.” Ia mengangkat bahu acuh. “Terserah Daddy mau ke mana, aku nggak peduli.” Pemuda itu sempat menoleh lagi sebelum melangkah. “Om, bilangin ke Daddy kalau aku baik-baik aja di sekolah. Om juga hati-hati kalau mau pergi.” Sejak Arsen duduk di kelas 6 SD, Damian mempercayakan hampir semua urusan anaknya pada Kenzo selaku asisten pribadinya. Antar-jemput, membantu PR, mengambil rapor, hingga membereskan masalah di sekolah. Namun bagi Kenzo, itu bukan sekadar pekerjaan. Ia sudah menganggap Arsen seperti anaknya sendiri. Pemuda itu tumbuh cepat, jarang mengeluh, dan permintaannya selalu sederhana. Lamunannya buyar saat ponselnya bergetar—panggilan dari Damian. Damian: “Halo. Gimana Arsen?” Kenzo: “Halo. Arsen nggak apa-apa. Cuma masalah sepele, dia mukul temannya karena nggak suka lihat ada yang dibully.” Damian: “Oke.” Sambungan telepon langsung terputus, meninggalkan Kenzo yang berdecak kesal. “Ck, dari dulu nggak pernah berubah. Kalau bukan pas gue udah gue pukul, lo," gumamnya lirih. "Arsen!” teriak tiga suara hampir bersamaan seperti kembar yang selalu kemana-mana bertiga. Haikal, Narenda, dan Arjuna, teman dekatnya masuk dengan wajah sumringah. Arsen hanya mendengus pelan. “Sen, gue cariin lo! Kirain lo pulang sama Om Kenzo,” kata Haikal sambil langsung menarik kursi di depannya. Narenda menjatuhkan diri di kursi sebelah Arsen dengan ekspresi penasaran yang sangat jelas di wajahnya. "Eh, tadi seriusan lo gebukin si Kevin? Satu sekolah udah heboh tau sama kelakuan lo.” Arjuna menambahkan sambil terkekeh, “Lo jadi pahlawan dadakan nih. Cewek-cewek di kelas sebelah tadi sampai teriak-teriak, katanya lo keren banget. Arsen cool banget." Arsen memutar matanya, lalu meneguk lagi minumannya. “Lebay. Gue cuma gak suka ada pembully-an di sekolah." Jawabnya singkat. Haikal mencondongkan tubuhnya, suaranya lebih pelan seolah mereka sedang berbisik padahal sebenarnya suaranya masih terdengar jelas. “Tapi serius, Sen. Gue salut. Lo berani maju. Gue juga kesel sama Kevin itu, sok banget. Tapi karena gue takut jadi gue cuma bisa kesel aja Kak berani mukul kayak lo." Narenda mengangguk-angguk. “Iya, tapi lo hati-hati. Bisa aja dia balas dendam. Lo tahu sendiri kan dia anak orang berduit juga. Apalagi itu anak badung." Arsen menoleh sebentar, wajahnya tenang namun dingin. "Kalau dia cari masalah lagi, gue nggak bakal diem. Dia itu cuma berani karena dia punya orang tua yang banyak duit." Arjuna dan yang lain saling pandang. Mereka sudah hafal, Arsen bukan tipe yang suka cari ribut, tapi kalau diganggu, dia nggak segan melawan. “Eh, ngomong-ngomong…” Haikal membuka percakapan dengan nada penuh semangat. “Besok kan ada event basket antar kelas. Sen, lo main kan? Gue udah daftarin lo tanpa izin.” Arsen langsung mengangkat alisnya tinggi, menatap Haikal dengan tatapan setengah mengancam. “Haikal…” ucapnya datar, namun nadanya jelas mengandung peringatan. Tapi Haikal hanya tertawa, santai sekali. “Santai aja, Sen! Lo kan jago. Kalau lo main, udah pasti kelas kita menang telak. Nggak ada lawan.” Narenda ikut menimpali sambil mengunyah camilannya. “Plus lo bakal makin jadi pusat perhatian, Sen. Udah tau kan cewek-cewek di kelas sebelah kalau lo main basket suka heboh sendiri.” Arsen menghela napas panjang, menggeleng perlahan. “Kalian ini nyusahin aja udah tahu Gue nggak suka jadi pusat perhatian,” gumamnya. Meski begitu, sudut bibirnya sempat terangkat tipis, nyaris tak terlihat. Tapi cukup membuat ketiga sahabatnya tahu bahwa Arsen sebenarnya tidak benar-benar marah. Suasana sempat hening beberapa detik sampai tiba-tiba Arjuna membuka percakapan baru. “Eh, ngomong-ngomong, lo semua mau lanjut kuliah di mana?” tanyanya santai. Pertanyaan itu sukses membuat ketiganya menoleh dengan wajah serius. Narenda yang pertama menjawab. “Kata bokap gue sih, gue bakal kuliah di sini aja. Katanya biar gampang ngawasin.” Haikal menyusul dengan nada serupa. “Kalau gue juga kayaknya di sini aja, nggak kepikiran jauh-jauh. Gue sih nurut aja sama orang rumah. Arjuna mengangguk-angguk, lalu menoleh pada Arsen dengan tatapan penasaran. “Kalau lo, Sen? Mau ke mana lo?” Ketiga pasang mata itu kini terfokus padanya. Arsen hanya mengangkat alis, lalu dengan nada santai menjawab, “Oxford… atau MIT mungkin.” Sekeliling meja langsung hening. Tiga sahabatnya terbelalak kaget. "Serius lo, Sen?” Haikal yang pertama bersuara, hampir tak percaya. "Kok bisa? Lo udah lulus tes?" Arsen mengangkat bahu seolah itu bukan hal besar. “Nggak tahu. Kan tesnya baru mulai kemarin. Gue baru Toefl doang, seleksi lanjutannya masih semester dua nanti.” “Gila… lo beneran niat ya,” gumam Narenda, suaranya penuh kekaguman. Arjuna mencondongkan tubuhnya, matanya berkilat penasaran. “Jurusan apa lo pilih?” Arsen sempat terdiam sejenak, menimbang. Lalu ia menjawab dengan suara datar. “Kedokteran… atau arsitektur. Gue suka dua-duanya.” Haikal hampir tersedak minumannya. “Kedokteran? Arsitektur? Serius lo? Bukannya Om Damian nggak bakal izinin lo?” Narenda ikut mengangguk setuju. “Iya, Sen. Setahu gue, bokap lo maunya lo jadi pebisnis kan? Kayak dia. Biar bisa nerusin perusahaannya.” Mata Arsen meredup sesaat. Ia menatap kosong ke arah meja, lalu menghela napas. “Ya, itu masalahnya. Dia nggak pernah izinin gue milih sendiri. Dari dulu maunya gue ikut jalan dia.” Ketiganya saling pandang. Mereka tahu benar betapa dinginnya hubungan Arsen dengan ayahnya. Damian adalah pengusaha sukses, tapi bagi anaknya sendiri ia hampir tak pernah ada. Arjuna memberanikan diri bertanya lebih pelan. “Terus… lo bakal nurut, Sen?” Arsen tersenyum miris. "Kalau soal urusan keluarga, pilihan gue nggak pernah dihitung. Jadi ya… lihat aja nanti. "Mana mungkin anak manja kayak lo kerja di tempat beginian."Arsen melaju dengan motor sport hitamnya, membelah jalanan sore yang mendung. Angin dingin menusuk, lalu tak lama hujan turun awalnya rintik, kemudian deras mengguyur tanpa ampun. Ia mengumpat pelan, lalu menepi ke sebuah halte kecil di pinggir jalan. Dari sela hujan deras, ia baru sadar halte itu ternyata sudah ada penghuninya. Seorang gadis duduk di bangku halte, rambut panjangnya terurai dengan pita sederhana di samping. “Hei, Kamu, kehujanan ya?” sapanya dengan suara ringan. Arsen menoleh, sedikit heran karena gadis asing itu langsung bicara padanya. “Iya.” Gadis itu tersenyum, menepuk-nepuk bangku kosong di sebelahnya. “Untung ada halte, ya. Kalau nggak, bisa bubar jalan.” Arsen hanya melirik sebentar, kemudian duduk dengan jarak agak jauh, memilih diam. “Aku Isla,” katanya sambil merapikan pita di rambutnya. “Kamu?” Arsen agak kaku, melepas jaket kulitnya yang basah kuyup. “Arsen.” Isla tersenyum puas, seolah nama itu penting sekali. “Arsen, ya? Nama kamu ke
Isla menghela napas kesal, lalu melempar ponselnya sembarangan. Ia pun menjatuhkan tubuhnya sendiri ke kasur, menenggelamkan wajah ke bantal, selimut tebal sudah membungkus sebagian tubuhnya. Di luar, hujan deras mengguyur. Rintik-rintiknya menabrak kaca jendela, seolah ikut mempertegas suasana murung di kamarnya. Padahal sore tadi, Kanaya sempat mengajaknya pergi ke perayaan ulang tahun kakaknya. Namun kenyataannya? Ia terjebak di kamar, sendirian, dengan mood berantakan. Tiba-tiba, pintu kamarnya berderit pelan. Isla sempat mengerut kesal, tapi rasa jengkelnya sedikit mereda ketika melihat sosok yang muncul di ambang pintu. Elvano. Sepupunya itu masuk dengan ekspresi santai, memeluk erat sebuah toples camilan seolah itu barang berharga. “Lo ngapain bawa-bawa itu ke sini?” tanya Isla malas. Elvano menutup pintu dengan kakinya. “Ya buat lo, lah. Gue kira lo lagi butuh temen. Katanya lo lagi bete, kan?” "Terus apa hubungannya camilan sama bete gue?” Isla mendengus, menar
Damian berdiri tegak, tubuh tegapnya disandarkan sedikit pada pagar besi balkon. Di tangannya ada segelas kopi hitam yang sudah kehilangan sebagian panasnya. Besok pagi, pesawat akan membawanya terbang ke benua lain. Perjalanan bisnis yang akan mengikatnya selama dua bulan penuh, jauh dari rumah, jauh dari putra semata wayangnya. Damian tahu, meninggalkan bisnis berarti risiko besar, tapi meninggalkan anaknya… entah kenapa terasa lebih berat sekarang. Suara langkah mendekat terdengar dari dalam kamar. “Daddy manggil aku?” suara itu datar, tak berintonasi. Arsen. Remaja itu melangkah santai ke balkon, dengan pakaian rumah yang sederhana. Ia langsung menarik kursi dan duduk di samping Damian. “Kamu udah tahu dari Om Kenzo, kan? Kalau Daddy harus pergi keluar negeri buat urusan bisnis?” tanyanya pelan. Arsen hanya mengangguk, ekspresinya datar. “Udah. Om Kenzo yang bilang.” Damian melirik sekilas dari ujung matanya. Ia takut menatap mata putranya langsung. “Kamu nggak
Sepulang sekolah, Arsen tidak langsung pulang ke rumah, melainkan menuju jalan yang cukup ramai disana berdiri sebuah kafe bergaya bohemian, dengan lampu-lampu gantung berbentuk unik dan dinding berhiaskan mural penuh warna. Dari luar, Cafe itu tampak aesthetic, hangat, dan mengundang siapa pun untuk singgah. Lost and Found Café. Begitu nama yang terpampang di papan kayu depan pintu masuk. Nama yang dipilih Arsen sendiri, terinspirasi dari perjalanan hidupnya, tentang kehilangan dan menemukan kembali bagian dirinya yang sempat hancur. Ya, Cafe itu adalah milik Arsen. Tempat yang ia bangun setahun lalu dengan kerja kerasnya. Modalnya sebagian besar dari tabungan, sebagian kecil lagi dari kartu berwarna hitam yang diberikan Damian untuk kebutuhan sehari-hari yang diam-diam ia sisihkan demi mewujudkan mimpinya. Sore itu, suasana Cafe sangat ramai. Beberapa meja penuh dengan pekerja yang sibuk mengetik di laptop, ada juga kelompok siswa berseragam yang baru pulang sekolah, bercengkerama












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.