Abid belum juga kembali. Dadaku terasa penuh sesak. Aku menatap kedua buah hatiku yang sedang terlelap. Wajah-wajah polos tanpa dosa. Haruskah nanti mereka hidup terpisah, apa yang akan aku katakan pada mereka kelak?Aku menghapus air mata yang mengalir begitu saja. Tidak seharusnya aku menangis lagi. Apa kurang cukup untukku bersedih selama ini?Aku bangkit, aku harus melakukan sesuatu sejak dini untuk Afnan. Afnan akan terpisah dariku, dia harus bisa melakukan apa pun tanpaku. Kembali aku meratap. Antara menerima dan melawan perasaan hatiku."Ayo Afnan, kau harus segera bangun. Jangan bermalas-malasan begitu. Saat kau sudah membuka mata, jangan sampai kau menghabiskan waktu dengan berbaring saja. Kau harus segera mengerjakan apa yang seharusnya kau kerjakan.""Tapi aku masih mengantuk, Bu.""Kau sudah bangun dan nanti malam lagi kau bisa tidur dengan waktu yang lebih lama. Kau harus makan dan bersiap ke tempat les.""Iya, Bu."Sebenarnya hatiku sangat sakit saat mengucapkan itu. Bias
Pagi ini aku sudah tidak melihat Afnan di tempat tidurnya, hatiku berdebar. Mengapa sepagi ini dia sudah meninggalkan tempat tidurnya?Aku mencoba melihat kamar mandinya, juga sudah kosong tapi lantainya sudah basah dan suhu ruangannya terasa hangat, berarti Afnan sudah mandi pagi.Aku tidak memanggilnya tapi aku terus mencarinya. Sampai lah aku ke halaman depan, aku mengira dia ada janji dengan temannya untuk jalan lagi. Ternyata tidak ada. Sandal yang biasa dipakainya untuk ke luar rumah masih tergeletak di tempatnya. Aku kembali masuk. Terdengar sayup suara lantunan ayat suci Alquran. Siapa yang mengaji, Abid kah? Tentu bukan karena aku tahu Abid belum bangun dari tidurnya."Aamiin ..."Aku melihat Afnan mengusapkan kedua telapak tangannya ke wajahnya, dia mengakhiri bacaannya."Ya, Allah ... Semoga Ayah dan ibuku selalu Kau beri kesehatan, lindungi lah mereka selalu. Semoga mereka selalu menyayangiku, aku tidak ingin kehilangan cinta ayah dan Ibuku. Jika aku ada kesalahan, semoga m
"Satu Minggu lagi aku pulang, Aruna."Kalimat yang seharusnya biasa saja di terima oleh telingaku demikian pun saat tersampaikan ke syaraf otakku. Tetapi tidak seperti yang kurasakan. Di dalam kalimat sederhana itu tersimpan ribuan pertanyaan, kemungkinan, harapan dan lain-lain dan itu berkecamuk jadi satu di dalam hatiku."Iya, Mas."Jawabku lemah."Kau sudah tahu maksudku bukan?""Iya, tahu.""Kau sudah bilang pada Afnan.""Belum."Aku menjawab dengan jujur pertanyaan mas Bara. Aku memang belum mengatakan apa pun terkait tentang permintaan mas Bara untuk membawa Afnan ke rumahnya. Aku tidak tahu harus mengatakan apa pada Afnan. Ada kalanya aku ingin menyinggungkan masalah ini, menyisipkan sedikit saat kami mengobrol bersama tapi sungguh hati ini tidak tega sama sekali. Apa lagi saat kulihat betapa Afnan semakin menyayangi adiknya yang sudah pandai di ajaknya bermain bersama, terlebih saat kudengar untaian doa yang selalu di panjatkan Afnan saat sedang shalat di rumah. Tidak henti-
"Kenapa Ibu terus memelukku, apa ibu akan pergi meninggalkanku?"Tanya Afnan. "Ibu mau ke mana? Ibu yang takut jika kamu meninggalkan ibu.""Aku anak kecil, Bu. Aku mau ke mana? Kalau aku besar nanti mungkin aku akan meninggalkan ibu untuk pergi ke sekolah tinggi atau pergi bekerja. Kalau sekarang mana mungkin aku pergi Bu. Naik bus sendiri saja aku belum berani."Celoteh Afnan membuatku tersenyum tapi hanya di bibir, nyatanya terasa terluka di hati. Apakah Afnan akan mengucapkan itu saat mas Bara datang menjemputnya besok? Aku tidak berani berharap, mas Bara adalah ayahnya. Mungkin Afnan juga sedang mendamba untuk bisa dekat dekat dengan sosok ayahnya. Meski dia tak pernah mengatakan padaku tapi aku tahu Afnan juga sangat menyayangi ayahnya.Masih terngiang di telingaku kalimat Antika tadi pagi."Hari ini kami menjemput mas Bara, Mbak. Dan tunggu kabar selanjutnya. Kami akan segera datang untuk menjemput Afnan."Aku tidak menjawab Antika. Dan kemudian Antika memutuskan sambungan te
"Apakah itu kewajibanku, Ayah? Apakah aku harus tinggal bersama Ayah?"Pertanyaan Afnan membuat aku tercekat."Aku ayahmu, Nak. Dan aku ingin sekali merawat dan membesarkanmu. Aku ingin mengurusmu sampai kau dewasa, sampai kau bisa meraih semua yang kau inginkan. Aku tahu kau disini tinggal bersama dengan ibumu. Aku yakin kau tidak kekurangan kasih sayang dari ayahmu. Dan kebahagiaanmu semakin lengkap saat hadirnya adik perempuanmu. Tapi lihatlah ayah, Nak. Aku juga ingin bersama dirimu. Ayah hanya punya Ibu Antika, Oma dan Opa. Ayah ingin ada anak kecil di rumah ayah. Ayah ingin ada yang meneruskan nama ayah kelak. Apa kau merasa keberatan atau ada yang melarangmu untuk ikut dengan ayahmu ini?"Mas Bara sudah memulainya, itu membuat hatiku kian teriris. Aku tidak tega menempatkan Afnan kecilku di posisi ini. Aku yakin dia sedang kebingungan untuk memberikan jawaban untuk ayahnya. Maafkan Ibu Afnan, ibu sudah menyeretmu ke dalam urusan orang dewasa yang seharusnya kau belum boleh menge
"Aruna itu cantik, tinggi dan pandai bergaul.""Iya, dia itu si bungsu penyempurna kakak-kakaknya. Alifia cantik tapi pendek. Alya kurang menarik, postur tubuhnya saja yang bagus.""Dan Aruna punya sisi positif keduanya ditambah sifatnya yang ceria dan enerjik."Tetangga sibuk menggunjingkanku saat usiaku menginjak dewasa ini, dan aku suka sekali dengan pujian mereka.Namaku Aruna, aku kelas tiga SMA. Aku adalah anak bungsu, kakak pertamaku sudah menikah dan kakak kedua juga akan segera menikah.Pernikahan mbak Alifia dan mas Bilal yang diadakan di rumah ini enam tahun yang lalu belum juga terhapus dalam ingatanku. Pesta yang lumayan meriah dan sangat mengesankan. Kakak sulungku mendapatkan suami dari luar pulau, hubungan mereka terjalin karena perkenalan melalui sosial media. Tidak ada yang menduga jika mas Bilal benar-benar serius mempersunting mbak Alifia menjadi istrinya. Seminggu setelah pesta, pasangan pengantin baru itu harus meninggalkan rumah ini. Semua karena pekerjaan mas Bi
Sial sekali aku pagi ini, setelah menunggu mbak Alya yang mandi pagi lama sekali malah ganti mas Bara yang masuk kamar mandi. Aku menghentakkan kaki dengan kesal, sangat tidak berperasaan. Aku juga mau sekolah dan hari ini piketku, aku harus datang ke sekolah lebih awal. Ini aku malah dihadapkan pada proses menunggu untuk yang kedua kalinya. Mana mas Bara pun ternyata mandinya juga lama seperti mbak Alya. Apa sih yang mereka bersihkan sampai begitu lamanya di kamar mandi yang hanya satu-satunya di rumah ini.Mas Bara keluar kamar mandi hanya memakai celana pendek dan handuk yang melingkar di lehernya. Dadanya hampir terlihat sempurna, gila! Aku membuang muka. Tanpa bicara aku pun ngeloyor masuk ke kamar mandi.Bayangan tubuh mas Bara yang atletis menggodaku. Rambutnya yang basah dan tetesan air yang membasah di pundaknya kemudian mengalir ke lengannya yang kekar terus saja membayangiku. Sial, kenapa aku jadi memikirkan fisik suami kakakku.Air dingin mengguyur tubuhku. Rasa dingin bers
"Hai Aruna, siapa yang mengantarmu?"Abid menyambut kedatanganku di depan pagar sekolah dengan pertanyaannya, aku melengos."Mbak Alya dan suaminya."Jawabku sambil terus melangkah dan tanpa menoleh sedikit pun. Abid berjalan sejajar denganku, menyamai langkahku."Mbak Alya yang kemarin menikah ya?"Tanyanya lagi, aku mengangguk. Aku sudah cuek pada Abid tapi terus saja dia bicara di sampingku. Dan kurasa pembicaraannya sangat tidak penting dan menggangguku."Bisa nggak sih kamu diam?"Terlontar juga akhirnya kata yang kusimpan sejak tadi untuk Abid. Aku sebenarnya sudah jengkel, tapi aku hanya diam. Berharap Abid akan mengerti dan menjauhiku. Ternyata tidak, dia terus saja berceloteh sambil mengiringi langkahku. Abid berhenti, aku melihat ke arahnya. Walaupun hanya sekilas aku bisa melihat kekecewaan di raut wajahnya."Maaf Bid, Aku buru-buru mau piket."Kataku kemudian, aku hendak melanjutkan langkahku yang terhenti."Aku akan membantumu."Tak bisa lagi aku berkata-kata, membiarkan A