Share

Berondong Buleku
Berondong Buleku
Penulis: Mitha Kirana

1) Tentang Luna

"Lepasin! Aku mau mati aja," teriak Luna terus memberontak. 

"Jangan, Lun! Ayo kita pulang ya Nduk," bujuk Tari, ibunya itu menarik Luna yang sudah separuh badannya terendam air pantai. 

Dari kejauhan Minah berlari tergopoh-gopoh bersama beberapa tetangga, mereka akan menyelamatkan usaha bunuh diri yang sudah kesekian kalinya dilakukan Luna. 

"Tolong selamatkan cucu saya, tolong!" pinta Minah histeris pada Bapak-Bapak yang berlari bersamanya itu. 

Dua lelaki bergegas lari ke pantai, malam ini air pasang, belum masuk terlalu jauh saja, air sudah setinggi ketiak orang dewasa. Tenaga lelaki memang berbeda, sekali tarikan saja, Luna sudah berhasil dibawa ke tepi pantai. 

"Aku mau mati ... " jerit Luna diiringi deburan ombak yang menerpa semua orang di sana. 

Seketika Tari menghambur memeluk sang putri, dalam tangisnya ia mencoba menenangkan putrinya itu. Minah pun datang menghampiri, ia turut memeluk anak dan cucunya itu. 

"Mbah, ayo kita bawa pulang Luna sekarang," ajak Pak RT yang tadi membantu menarik Luna. 

"Enggeh, maaf sudah merepotkan!" balas Minah sungkan. 

Tubuh Luna yang sudah lemas mudah dipapah oleh para lelaki itu, sementara Tari menuntun ibunya di belakang sambil mengikuti, ia merasa beruntung di keliling orang-orang baik, para tetangga yang pengertian dengan kondisi mental Luna sekarang walaupun tidak semuanya, masih ada saja orang di sekitar mencemooh keadaan Luna yang padahal seorang korban. 

"Makasih banyak, Mas, Pak!" ucap Tari kepada mereka yang sudah menyelamatkan Luna malam ini. 

"Sama-sama, kita pamit pulang!" Mereka pun undur diri. 

Minah membukakan pintu, terus berjalan masuk menuju kamar Luna, pintunya ia buka lebar-lebar agar bisa dilewati oleh dua orang sekaligus. Tari dengan telaten membuka pakaian Luna yang basah kuyup, mengeringkan badannya lalu memakaikan baju tidur yang nyaman. 

"Maafin Ibu ya, Nduk! Ibu ketiduran tadi sampe kecolongan," sesal Minah dengan mata yang mengembun. 

"Wes toh, Buk! Bukan salah Ibu kok. Masa orang ngantuk disalahin, sekarang Ibu istirahat, biar Tari yang jaga Luna," ujar perempuan paruh baya itu mengusap tangan ibunya yang sudah keriput. 

Kali ini Minah sudah tak bisa menahan laju air matanya, "kamu yang kuat ya, Nduk!"

***

Suara kokok ayam jantan terdengar dari samping rumah, lantunan adzan pun dikumandangkan dari masjid terdekat. Tari terbangun, menguap sambil merentangkan tangannya ke atas, melepaskan pegal yang menjalar pada setiap persendian tubuhnya. 

Matanya yang masih belum sepenuhnya terbuka mendadak terbelalak ketika tak ia dapati Luna di sampingnya, Tari bergegas turun dari tempat tidur, setengah berlari keluar kamar. 

"Luna! Lun, di mana kamu, Nduk?!" panggilnya berulang. 

Tari menghela napas lega tatkala menemukan Luna yang tengah duduk di ambang pintu dapur. 

"Ternyata kamu di sini, Nduk?!" ucap Tari mendekat. 

Tak ada jawaban dari Luna, ia tengah memeluk lutut, tatapan matanya kosong, tubuhnya berayun ke depan dan ke belakang. Sungguh melihat kondisi putrinya yang seperti ini membuat batin Tari menjerit tapi sekali lagi ia harus kuat, siapa yang akan menyembuhkan putrinya kalau bukan dirinya? 

"Masuk yuk! Di sini dingin, kamu gak pake baju hangat juga kan?!" ajak Tari, ia menarik pelan tangan Luna agar segera beranjak dari sana. 

"Loh, Ibu dari mana?" tanya Tari ketika melihat ibunya tiba-tiba muncul dari arah luar. 

"Dari masjid, oh ya! Kamu ke pasar sana beli ayam, tempe dan lainnya buat jualan Ibu," perintah Minah. 

"Loh, kan biasanya juga kalau belanja sore, Buk!" Heran Tari. 

"Udah sana, biar sekalian ajak Luna jalan. Kasian dia di rumah terus," kata Minah tak ingin dibantah. 

"Yok wes, aku sholat dulu habis itu siap-siap ke pasar," balas Tari sambil menuntun Luna untuk kembali ke kamarnya. 

***

Matahari belum sepenuhnya terbit tapi pasar ini sudah sangat ramai, jilbab cokelat Tari berantakan karena tersenggol orang-orang ketika melewati jalan berdesakan. 

"Sini, Bu! Biar Luna benerin," ucap Luna membawa ibunya ke tempat yang lebih sepi, ia cekatan merapikan jilbab instan yang sudah miring-miring di kepala ibunya itu. 

Tari memandangi putrinya sambil menahan tangis, rasanya putrinya itu tak pernah mengecap kebahagiaan sejak kecil, Luna kecil tumbuh menjadi anak yang hanya melihat pertengkaran kedua orang tuanya, tidak pernah mendapat kasih sayang dari Bapak kandungnya sendiri dan setelah dewasa justru ia harus mengalami peristiwa yang merupakan sebuah malapetaka bagi setiap korbannya. 

"Ibu, kok diem?" tanya Luna bingung. 

"Enggak, kamu capek?" Tari mengusap keringat yang menetes di kening Luna. 

"Apa ini sakit?" tanyanya lagi sambil mengusap perut Luna. 

Luna menggeleng tegas, "ayo Bu, cepet. Biar kita bisa cepet pulang juga." Luna mulai tak nyaman dengan tatapan orang-orang di sekitarnya. 

Setelah mendapat semua bahan untuk membuat pecel pincuk dagangan ibunya, Tari pun segera mengajak Luna pulang, ia paham putrinya tak nyaman bila berada lama-lama di keramaian. 

"Ibu Tari!" sapa lelaki berkulit putih dan tinggi ketika mereka berpapasan. 

"Eh, Nak Evan!" sahut Tari membalasnya dengan senyuman hangat. 

"What're you doing here?" tanya Tari pada pemuda asal Kanada itu. 

"Just look around after jogging," jawabnya lalu melirik pada Luna yang sedikit bersembunyi di balik punggung ibunya. 

"Wah ... Rajin sekali kamu!" puji Tari, ia tau Evan sudah mulai bisa berbahasa Indonesia setelah tiga bulan tinggal di sini. 

"Supaya ... Se-hat," balas Evan sedikit tersendat. 

"Who's she?" Kemudian Evan menunjuk Luna, sejak tadi ia terpesona pada wajah manisnya itu. 

"My daughter. Oh ya Lun, kenalin ini Nak Evan, yang waktu itu pernah Ibu cerita," kata Tari menyuruh putrinya berkenalan. 

Evan lebih dulu mengulurkan tangan, Luna ragu-ragu membalasnya tapi setelah melirik ibunya yang memberi isyarat tak masalah, Luna pun akhirnya menjabat tangan pemuda bermanik mata amber atau orange kecoklatan itu. 

"Evan!" ucapnya memperkenalkan diri. 

"Luna," balas perempuan hitam manis itu menyebutkan namanya. 

Tiba-tiba saja seorang Ibu yang melintas menepuk tangan keduanya dengan kasar hingga jabatan tangan mereka terlepas. 

"Jangan mau sentuhan sama perempuan kotor, najis!" hinanya sambil menetap sinis pada Luna. 

"Astagfirullah, Buk! Mulutnya dijaga ya, jangan asal sembarangan kalau ngomong," bentak Tari yang tak terima putrinya mendapat cacian seperti itu. 

"Ibu, kita pulang aja, Buk! Ayo Bu," ajak Luna mendorong kuat ibunya, ia tak mau ada keributan. 

Sementara Evan termenung sambil menatap punggung Ibu dan anaknya itu yang kian menjauh. What's going on? 

***

Evan kembali ke tempat kostnya, keningnya yang berkerut tajam disadari oleh Dimas, teman satu kostnya. 

"Wes ... Mas Bule! Kenapa toh?" tanya Dimas menepuk pundak Evan yang sudah duduk di bangku bambu panjang yang ada di teras depan kost mereka ini. 

"Kamu kenal Luna, anaknya Bu Tari?" tanya Evan. 

"Kenal, why?" Dimas bertanya balik sambil berlagak karena bahasa Inggrisnya juga pas-pasan. 

Akhirnya Evan menceritakan kejadian di pasar tadi, Dimas manggut-manggut mendengarkan. 

"Ya ... Memang begitulah, masih aja ada orang yang berpikir begitu. Kasian Luna, padahal kan dia korban," ucap Dimas dengan nada sedih. 

"Korban? Memang dia korban apa?" tanya Evan tak mengerti. 

"Sini!" Dimas meminta Evan mendekat lalu berbisik tepat di telinga Evan. 

"What?" Evan belum paham betul apa yang dikatakan Dimas. 

Dimas menggaruk kepalanya bingung, sulit juga menjelaskan pada orang yang berbeda bahasa, namun ia tak kehabisan akal. Dimas menyalakan ponselnya, mengetik sesuatu di sana lalu menyerahkannya pada Evan. 

"Oh my God!" Seketika Evan membekap mulutnya sendiri. 

Pada layar ponsel Dimas tertulis terjemahan. 

"She was raped and now pregnant."

[Dia diperkosa dan sekarang dia hamil]

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status