Rasanya seakan jiwaku dibawa pergi.
Aku masih tidak mendongak untuk menatap wajahnya tetapi laki-laki itu membawaku melintasi dimensi waktu. Siang dan malam silih berganti dalam hitungan dtik, dia menarik tanganku, terus mengajakku berlari.
Beberapa detik setelahnya, dia berhenti. Aku mengedarkan pandangan, terpana ketika pemandangan gurun pasir menyapa.
Aku ... di mana?
“Jika Tanwira Tarachandra tidak juga menyentuh tubuhmu dalam lima menit, kau tidak akan pernah diizinkan untuk kembali,” katanya, jelas mengejekku. “Tetapi bagaimana ini? Sepertinya kau tidak akan pernah kembali.”
Merapatkan gigi, aku menghela napas kasar. “Siapa kau?” tanyaku kemudian, untuk pertama kalinya membuka suara.
“Yang bertanggungjawab atas keputusan gila kalian,” sahutnya santai. Dia melepaskan genggaman tangannya, berjalan beberapa langkah dan berhenti untuk menikmati pemandangan. “Hah, aku bahagia sekali kare
Sebuah tangan yang mengusap pelan lengan atasku membuatku bangun dari tidur nyenyakku. Dia sudah berdiri di sana ketika aku sedikit membuka mata; Tanwira Tarachandra.“Sudah jam berapa?” tanyaku serak. Aku berusaha duduk, ingin membuka mata lebar-lebar tetapi tidak bisa karena mataku bengkak akibat menangis terisak-isak. Thanks to, Tanwira, sindirannya tentang mataku terbukti sempurna.“Jam setengah enam,” jawabnya datar, kelembutannya tadi malam sudah menghilang.“Kenapa sudah membangunkanku sepagi ini? Sarapan di rumah ini masih satu jam lagi, Tanwira!” keluhku antara gemas dan kesal.“Kompres matamu dengan ini!” suruhnya. Dia mengulurkan handuk yang sudah direndam ke dalam air dingin padaku lalu menambahkan, “Jangan sampai Mama dan Papa melihat matamu bengkak parah seperti itu, mereka bisa berpikir kalau aku sudah menyakitimu.”Aku memanyunkan bibir, meniru cara dia berbicara, mengejek.
Figur seorang kakak yang sangat tidak disukai adiknya sendiri untuk sekedar menyapaku sekarang berdiri di hadapanku. Ya, putra sulung keluarga ini tiba-tiba kembali tanpa sepengetahuan siapapun.“Rindra!” mama menyapa putranya itu, antara senang dan juga gugup. “Kenapa datang tanpa mengatakan apapun kepada Mama? Kamu ambil penerbangan kapan dari Sydney?” berondongnya dengan pertanyaan.Rindra tersenyum kepada mama, dia bahkan merentangkan kedua tangannya untuk memeluk mama mertuaku itu dengan erat.“Aku ambil penerbangan siang dari Sydney ke Singapura kemarin, Ma,” katanya, dia menjawab pertanyaan mama tetapi matanya menatapku yang berdiri tidak jauh dari posisi mereka, lurus dan tajam. “Aku menemui teman di sana untuk mengundangnya ke rumah sebelum mengambil penerbangan pagi dari sana ke Indonesia.”Aku yang hanya berdiri diam jelas membalas tatapannya tanpa ragu. Bagaimanapun juga aku tidak mengenal siapa
“Ada perlu apa kau ke sini?”Nada suara Tanwira yang tajam membuatku meringis tidak nyaman. Hah, lagipula kenapa Rindra tiba-tiba datang? Karena dia aku tidak bisa memarahi Tanwira!“Untuk memanggil kalian ke bawah, kau tahu, makan malam,” jawabnya tenang. Rindra sama sekali tidak terpengaruh oleh sikap dan nada bicara adiknya. Dia sepertinya ... sudah terbiasa. Aku mengagumi bagaimana dia bersikap sampai ketika dia menghancurkan kekagumanku setelah kembali membuat hati Tanwira menjadi panas dengan bertanya, “Kau tidak apa-apa, Eve?”“Ya,” jawabku langsung. “Tanwira sudah memastikan aku baik-baik saja tapi em ... bisa aku minta tolong?”Aku bisa merasakan tangan Tanwira sedikit mencengkeram kakiku ketika aku berbicara dengan kakaknya. Tidak sakit sebenarnya, hanya lucu saja untukku.“Tentu saja, apapun untukmu.”Jawaban Rindra membuatku menaikkan sebelah alis. Aku menaha
Melirik ke belakang, aura kecanggungan jelas terpancar. Aku menggeleng-gelengkan kepala, menghela napas melihat tingkah Tanwira yang terlihat tidak rela dipapah oleh kakaknya sendiri.“Duduk di sini!” Rindra menarik kursi untuk adiknya, dia sedang berperan sebagai kakak yang baik hati. “Aku yang memasak makan malam kali ini—” jeda, Rindra melirik adiknya. “—jadi jangan dimuntahkan dengan alasan tidak enak atau aku akan memberikan kentang yang belum dicuci untuk makan malam.”“Sadis,” bisikku di dalam hati. Lagipula siapa yang akan memuntahkan makanan yang dari wanginya saja sudah menggugah selera ini? Apa Tanwira sering melakukannya?Di tengah-tengah aku yang hampir meneteskan air liur karena ingin cepat makan, tiba-tiba Rindra yang masih berdiri di sebelah Tanwira memanggilku.“Eve?” panggilnya, dia tersenyum ketika tatapan mata kami bertemu. “Kau masih suka makanan manis, &lsquo
Apa itu canggung? Tidak tahu, yang pasti aku kesal sekali karena Tanwira memaksaku menelan makanan yang sudah masuk ke dalam mulutnya!“Kau menjijikkan!” keluhku kesal bahkan sampai kami berdua kembali ke dalam kamar. “Kue itu sudah masuk ke dalam mulut—auh, kau menyebalkan sekali!” teriakku.Tanwira? Dia santai saja, tidak terlihat rasa bersalah di wajahnya apalagi penyesalan, jelas tidak ada sama sekali.“Kenapa kau kesal begitu, hm? Kau sudah menelannya dengan sangat patuh tadi, jadi apalagi?” responnya santai. Laki-laki itu duduk diam di atas kasurnya sendiri, matanya fokus menatap layar ponsel dan hanya menyahutiku tanpa menoleh. “Kau juga tidak bisa memuntahkannya.”“Kau sengaja melakukannya, ‘kan?” tuduhku curiga. “Kau sengaja melakukannya karena ada Kakakmu si sana, ‘kan?”“Tidak, aku melakukannya karena kesal padamu,” akunya. Tanwira meletakkan pons
“Kau tidak akan bangun?” “Lima menit lagi.” “Terserah mau itu lima atau sepuluh menit lagi tetapi lepaskan tanganmu dari lenganku!” Aku yakin bahkan matahari belum naik tetapi Tanwira sudah bangun dan mulai protes. Dia mencoba untuk menarik lengannya tetapi aku tetap menahannya meskipun dengan mata yang enggan terbuka. “Aku hampir tidak bisa merasakan lenganku karena kau memeluknya semalaman, jadi lepaskan sekarang!” Percayalah, aku tidak mendengarkannya sama sekali karena aku merasa bahagia setelah bisa tertidur nyenyak tanpa mengkhawatirkan laki-laki itu datang dan memaksaku mendongak untuk melihat wajah kedua orang yang menggantung diri mereka sendiri itu. “Kenapa kau ribut pagi-pagi?” keluhku. “Semalam kau juga memelukku—menjadikanku guling hidup—dan aku tidak ribut sama sekali dan demi Tuhan! Berhentilah menarik-narik tanganmu atau aku patahkan sekalian!” “Jika tahu begini aku remukkan saja badanmu semalam,” balasnya, ikut
“Tanwira!” teriakku dari dalam kolam renang ketika laki-laki itu dengan sengaja mendorongku. Aku berusaha untuk berenang ke tepian tetapi kakiku tidak bisa diajak bekerja sama sehingga aku hanya berdiri di dalam air sambil menunjuk Tanwira marah. “KAU!”“Apa?” sahutnya tenang. Tanwira berdiri di tepi kolam dengan setelan formalnya, dia baru pulang kerja.“Kau benar-benar suami yang sangat jahat!” makiku.“Ya, lalu?”“MASUK DAN TOLONG AKU!” teriakku tidak sabar karena demi Tuhan, ini dingin sekali!Bukannya mematuhi perintahku, dia malah berjongkok di tepian dan tersenyum manis. “Bagaimana, ya?” mulainya dengan nada menyebalkan, dia berpura-pura mengamati baju yang dipakainya. “Bajuku terlalu bagus untuk dibuat basah—hei!”“Dasar gila!” makiku lagi, sama sekali tidak takut setelah aku memercikkan banyak air ke arah laki-laki yang
***Hidup bergelimangan harta sebagai istri dari seorang CEO tetapi tidak ada cinta yang terlibat di dalamnya, memiliki orang tua yang gila harta sampai mengorbankan putri mereka sebagai umpan serta memiliki hubungan masa lalu dengan putra sulung dari keluarga suaminya.“Hah,” aku menghela napas lelah setelah menulis jalan hidup Evandale Humeera yang sudah aku simpulkan selama beberapa hari terakhir. “Aku beruntung karena kecurigaan keluarga ini terhadapku tidak begitu besar, tetapi bagaimana aku bisa menghadapi keluarga Evandale Humeera jika hanya ada aku dan mereka di dalam ruangan?”Pikiran itu terus menggangguku. Aku memang tidak perlu memikirkan sidik jari dan semacamnya karena tubuh yang aku tempati memang tubuh asli Evandale Humeera, tetapi … sepertinya ada cukup banyak rahasia yang menyebabkan pemilik asli tubuh ini menghela napas lega ketika dia tertabrak hari itu.“Tanwira Tarachandra,” gumamku, aku men