Share

Tak Ada Yang Sempurna

Baru saja mengagumi, eh, sudah kecewa. Tak ada angin tak ada hujan, aku juga tidak membahas apa pun tentang rumah tanggaku tiba-tiba Ajeng berucap seperti itu. Bayangkanlah! Untung aku tipikal orang yang bisa dengan cepat mengendalikan diri. Kalau tidak? Mungkin dia sudah kutampar dengan sekeras-kerasnya supaya sadar, insyaf kembali. Kami boleh saja bersahabat dekat tapi jangan sampai masuk ke dalam urusan rumah tangga masing-masing. Ibarat tamu, ya sudah, duduk saja di ruang tamu. Tak perlu masuk ke sana-sana, kecuali kamar mandi. Itu pun kalau memang perlu ke kamar mandi. 

Lagi pula, walaupun dia bertanya sampai berbusa-busa tentang Mas Tyas pun takkan pernah kuberi tahu. Untuk apa? Seperti apa pun Mas Tyas, dia kan, suamiku? Masa kuumbar aibnya? Eh, aib Mas Tyas sudah menjadi aibku sendiri, bukan? Ya, masa aku harus mempermalukan diri sendiri? Mustahil seratus persen! 

"Mas Tyas baik kok, Jeng!" kataku sambil menyembunyikan perasaan kecewa di relung hati, "Baik sekali malah. Sayang sama anak-anak  termasuk Lova dan itu sejak Langit terlahir dulu, bukan karena ada Lova." 

Ajeng  terdiam, mengambil handuk, pasta gigi, sikat gigi dan sabun yang disimpan dalam tas perlengkapan mandi kecil,  lalu berjalan menaiki tangga menuju lantai atas. Kamar mandi semata wayang kami ada di lantai atas. Kamar mandi yang berdasarkan rencana akan kami bangun di samping kamar tidurku, masih belum terlaksana sampai sekarang. Dananya belum ada. Hehe. Kemarin, kami pinjam dulu untuk menjemput Lova di klinik bersalin. Lebih tepatnya, aku yang meminjam bukan Mas Tyas. Karena aku yang punya niat untuk pertama kalinya, bukan Mas Tyas. Sebenatnya tdak adil sama sekali, bukan? Mas Tyas lho, yang membuat janji? Masa, aku sendiri yang harus membayarnya? 

Kalau dipikir-pikir sih, begitu seharusnya. Tapi aku diam, mengalah. Tidak ada gunanya juga berdebat dengan Mas Tyas. Dia, kalau sudah termakan emosi, gawat darurat. Jangankan tamparan, bogem mentah pun bisa melayang. Sungguh, aku sudah sering mengalaminya dulu, waktu anak-anak masih kecil. Sebelum akhirnya dia pergi magang ke Jepang. Hemmmhhh, Bumi saja masih berumur satu tahun. Maklum, kesulitan ekonomi membuatnya rungsing. Mungkin. Jadiu, bukannya memaksimalkan ikhtiar tapi malah emosional dan temperamental. 

"Yung!" panggil Mas Tyas mengejutkan sekaligus menapakkanku pada selasar kenyataan, "Ada Ajeng kok nggak bilang, lho. Kaget aku, lagi nggak pakek baju e di atas. Besok-besok kalau dia datang dan ada aku di rumah, kasih tahu ya, Yung?" 

Ditegur seperti itu, aku mengangguk. Itu memang kesalahanku. Seharusnya aku naik sebentar tadi, memberi tahu Mas Tyas dan anak-anak kalau ada Ajeng. Entahlah, tadi itu seluruh perhatianku terserap ke Ajeng yang mendadak datang dengan segala curhatannya. 

"Maaf Mas … Iya, besok nggak lagi, Kok."

"Malu aku Jeng, lagi nggak pakek baju. Cuma pakek celana boxing lagi."

"Maaf banget, Mas."

Mas Tyas tersenyum, manis. Senyum yang selama ini hilang dari dirinya dan jujur, sebenarnya aku rindu senyumnya yang semanis itu. Tapi, yaaa, bagaimana lagi? Mungkin dia sudah menikmati seluruh dunianya bersama Ibu? Mungkin, di rumah ini dia sudah kehabisan stok senyum. Eh, belum, ding. Itu tadi dia tersenyum? Hehe.

"Ya udah, aku mau berangkat." katanya santai, tanpa jutek seperti biasanya, "Lova, Ayah berangkat dulu, ya? Baik-baik ya, Lova? Doakan Ayah, semoga berkah rezekinya. Jaga Mama juga, awas tuh ya, sibuk main hape aja!" 

Refleks, aku mencubit perut Mas Tyas sampai mengaduh kesakitan, "Enak aja sibuk main hape. Memangnya kamu Mas, lengket sama hape!" 

Entah mengapa, Mas Tyas diam. Tidak menanggapi protesku sama sekali dan malah mengambil alih Lova yang sudah tertidur lagi ke dalam gendongannya. Senyumnya mengembang alami, asri seolah-olah ingin menutupi segala perilaku buruk yang selama ini pernah dilakukan padaku. Tapi aku bergeming. Memutar badan dan kembali melipat pakaian. Maksudku, untuk apa dia tersenyum semanis itu kalau nanti malam tidak pulang lagi? Baru juga dua jam di rumah, ini sudah mau berangkat lagi. Belum juga sempat berbicara dari hati ke hati, kan?

***

Ajeng pulang, dijemput ojek langganannya. Cindy sudah bangun, sudah makan dan mandi juga. Biasanya, kalau ada Mas Tyas di rumah, Ajeng pasti minta tolong diantarkan pulang. Maklum, mencari gratisan. Mas Tyas  kan, tidak mungkin menarik ongkos darinya? Ya, aku secara pribadi tidak keberatan memang meskipun kadang-kadang muak juga. Bukan apa-apa. Aku saja bisa dikatakan jarang berboncengan motor dengannya. Terutama setelah ada sepeda  motor sendiri. Ke mana-mana pasti sendiri, tidak pernah minta tolong Mas Tyas lagi. Keculai setelah ada Lova, sih. Takut rasanya menggendong bayi sambil menyetir sepeda motor. Percayalah, aku tak sehebat perempuan-perempuan di luar sana yang bisa menggendong bayi dan memboncengkan tiga orang anak. Wah, bahaya tidak sih, kalau seperti itu? 

"Ma, Bude Ajeng sudah pulang?" tanya Laut dengan mimik wajah jengkel, mulutnya mencucut dan matanya mendelik. 

Aku mengangguk. Tersenyum lebar, meneruskan mengganti diaper Lova yang sudah penuh dan bertanya, "Kenapa, Mas?" 

Masalahnya, di antara Langit dan Bumi, Laut anak yang paling santai, happy dan easy going di rumah ini. Nah, kalau dia sampai seperti itu, berarti ada sesuatu yang tidak beres. Minimal menurunkan mood. 

"Bude Ajeng mandi tadi kan, Ma?" wajah Laut semakin cemberut, "Masa, dia pakai sabun wajahku. Itu kan, khusus untuk laki-laki, Ma? Aneh e, bikin emosi jiwa aja!" 

"Oh, itu masalahnya?" serius dan penuh perhatian, aku bertanya. Sejujurnya aku tidak menyangka sih, kalau Ajeng bisa melakukan hal itu. Seingatku, selama ini sabun mandi, lulur dan juga sampoku tidak pernah berkurang. Eh! Apa karena aku kurang memperhatikan, ya? 

Sejenak, aku mengingat-ingat hingga akhirnya ingatan ini hinggap di kisah sabun cairku yang baru dibuka beberapa jam, baru dipakai sekali dan tiba-tiba tinggal separuh. Ah, itu memang sudah lama kali terjadi. Aku tidak pernah curiga pada Ajeng juga selama ini dan baru ngeh karena Laut menceritakan masalahhya tadi. Ah, apa dia juga yang sudah mengambil sampo dan lotionku? Tapi bagaimana caranya? Botolnya terlihat utuh lho, tak ada jejak kalau pernah dibuka paksa atau sejenisnya.

Tunggu, tunggu!

Biar aku bertanya pada Laut dulu. 

"Kamu tahunya gimana Mas, kalau Bude Ajeng yang pakai?"

"Lah, yang mandi cuma dia sana anaknya. Ayah sudah mandi di rumah Uti. Lagian, Ayah kan punya sabun wajah sendiri, Ma? Kalau anaknya yang makek mainan, nggak mungkin. Pasti ada bekasnya. Terus, tutupnya kan susah dibuka juga." 

"Oh, iya ya, Mas?" 

Hemmmhhh!

Benar juga, pendapat Laut. Lagi pula, dulu waktu kasus sabun cair, sampo dan lotion itu Cindy belum ada, kok. Dia pun sepertinya belum menikah. Waaah, seru ini! Besok-besok kalau dia ke sini lagi, aku harus menyelidiki. Kalau perlu, menjebaknya. Bukan apa-apa. Aku tak suka punya teman yang suka mencuri. Walaupun hanya sabun, sampo atau lotion tapi kan, belinya pakai uang juga? Ckckckck, padahal aku melihat Ajeng itu orang yang baik dan tulus, lho. Kok, bisa seperti itu, ya? 

"Iya, Ma. Sebel aku! Mana pakeknya banyak banget, lagi?"

"Ya udah, yang sabar. Besok Mama belikan lagi. Besok kita lebih hati-hati lagi saja ya, Mas?"

"Ya, Ma."

Benar ya, ternyata? 

Tak ada yang sempurna di dunia ini. Tak ada yang abadi. Ya, kalau memang benar Ajeng seperti itu, pasti aku menjauh. Untuk apa punya sahabat seperti itu? Aku tak perlu dimalingi, kalau mau, minta. Pasti kukasih, kok. Sudah tadi melanggar privacy eh sekarang memakai sabun wajah Laut tanpa permisi. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
mo mom
katanya mas tyas baru berubah di part 1. kok part ini ternyata mas tyas pernah mukul dlll waktu anak2 kecil.. gimana ini gumana
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status