Pusing, rungsing!
Kenapa Mas Tyas selalu begitu? Lebuh mengutamakan Ibu di atas segala-galanya. Eh! Bukan berarti aku menginginkan Mas Tyas menjadi anak yang durhaka atau semacamnya, lho. Kalau itu sih, amit-amit. Maksudku, kenapa dia masih saja bersikap tak peduli terhadap kami, isteri dan anak-anaknya. Mau sampai kapan coba, dia begini? Langit saja sudah tiga belas tahun, sudah Kelas VIII yang berarti sudah hampir empat belas tahun kami membina rumah tangga. Masa, dia malah semakin kekanakan dan tergantung pada Ibu? Jadi, bagini ceritanya. Langit mogok sekolah, tidak mau kembali ke pondok pesantren gara-gara Mas Tyas ingkar janji. Menurut Langit, ayahnya itu mau membelikan laptop bulan ini karena sudah mulai bergabung di kegiatan ekstra kurikuler jurnalistik. Lagi pula, sejak Kelas VII kemarin dia juga sudah aktif di Mujahid Muda, majalah di pondok pesantrennya. Nah, mau tidak mau, siap tak siap Mas Tyas harus menepati janjinya kan? Bukannya malah melarikan diri seperti ini? Lagu lama! "Mas Langit?" panggilku lembut, penuh sayang seperti biasa, "Sekarang Mas Langit berangkat dulu saja ya, ke pondok pesantren? Nanti kalau Mama sudah ada rezeki, biar Mama yang belikan Mas laptop. Ya, Mas?" Tidak mempan, Langit justru semakin marah. Mengunci diri di dalam kamar. Sedari kecil dulu Langit memang anak yang pendiam tapi kalau sudah kecewa atau marah, jangan ditanya. Bahaya. Sekarang ini buktinya. Sudah sampai berbusa-busa mulutku membujuknya, tetap saja dia tak mau. "Nanti, kalau Mas Langit nggak berangkat sekarang malah rugi lho, Mas. Ketinggalan kegiatan. Iya, kan?" bujukku lagi dengan menyetel suara agar tetap berada dalam kriterianya, "Mas Langit percaya deh sama Mama, nanti kalau ada rezeki, Mama belikan. Mas mau yang kayak punya Mama, kan? Atau kayak punya Ayah?" "Kayak punya Mama." Biyuh, lega rasanya karena akhirnya Langit mau membuka suara juga. Sudah takut saja tadi, karena bibirnya terkatup rapat, seolah-olah terekat oleh lem kayu atau sejenisnya. Sudah begitu, sorot matanya terlihat sedih, lagi. Bayangkanlah, betapa hancurnya hatiku, berkeping-keping. Gemas sekali rasanya, ingin memukuli Mas Tyas sampai babak belur. Kalau sudah babak belur kan dia sadar, apa akibatnya kalau ingkar janji, walaupun pada anak sendiri. "Oh, kalau kayak punya Mama … Sudah ada uangnya, Mas Langit. Tapi kalau sekarang, sudah tutup belum ya, tokonya?" aku berusaha untuk tetap bersabar, menahan kecewa plus marah terhadap Mas Tyas, "Sebentar ya Mas Langit, Mama telepon dulu tokonya, ya? Kalau belum tutup, Mas Langit mau naik taxi ke sana sama Mama? Terus, habis itu langsung berangkat ke pondok pesantren, ya?" Tanpa menunggu jawaban dari Langit karena kupikir dia pasti setuju dengan jalan kutempuh, aku segera berderap menuruni anak tangga. Bumi dan Laut langsung heboh menyambut, seakan-akan aku baru saja turun dari langit setelah seribu bulan bersemayam di sana. Hehe. Begitu juga dengan Lova. Tawa renyahnya langsung terdengar lucu, imut-imut dan menggemaskan. "Gimana Ma, Mas Langit mau kembali ke pondok?" Laut bertanya penuh perhatian, "Ayah sih, sukanya nggak tepat janji. Aku pun kalau jadi Mas Langit pasti kecewa banget. Sudah nunggu-nunggu setahun eh malah sampai sekarang belum dibeliin juga."Aku menjawab serius sambil mencari kontak Grand Computer, tempatku membeli laptop dulu, " Sebentar Mama telepon tokonya dulu ya, Mas Laut?"Tanpa perasaan bersalah karena sudah menyela waktu yang semakin mepet ini, Bumi bertanya, "Toko apa, Ma?"Aku tidak sempat menjawab pertanyaan polos Bumi, jadi Laut yang membantuku, "Toko komputer to yo Dek, apa lagi?"Bumi langsung cemberut, "Ya, aku kan nggak tahu, Mas?" Laut tertawa tapi aku langsung meletakkan jari telunjuk di depan bibir, memintanya untuk tenang. Telepon sudah tersambung. Lova merangkak-rangkak di atas kasur lantai dengan senangnya. Bumi mengajaknya bermain bola kain sedangkan Laut berlari ke lantai atas, mungkin ke kamar Langit. Dua kakak beradik itu memang terbilang dekat sejak masih balita dulu. Hehe. Mungkin karena jarak lahir yang dekat, ya? Dua puluh satu bulan. Jadi, mereka bisa bermain bersama-sama selayaknya teman meskipun kadang-kadang juga ribut dan berebut. Haha. "Selamat sore!" sahutku pada telepon operator Grand Computer dengan ramah, seramah yang aku bisa, "Kalau malam tutup jam berapa ya, Pak?" ***Kami sudah di dalam taxi mau berangkat ke Grand Computer ketika Mas Tyas pulang. Raut wajahnya biasa saja, tuh? Tidak terlihat seperti orang yang punya masalah atau menanggung janji. Gila, dia memang gila. Terutama semenjak lebih banyak tinggal di rumah Ibu. Waaah, kekanakannya bertambah sempurna. Semakin tergantung juga. Ya, masa hanya membelikan buku gambar, pensil dan crayon untuk Bumi saja harus mengandalkan tetesan uang dari Ibu? Ih, kalau aku jadi Mas Tyas sih, pasti malu setengah mati. Bingung lah, mau di mana meletakkan muka. "Sebentar ya, Pak?" kataku pada supir taxi sambil beringsut turun, "Itu ayahnya anak-anak pulang, sebentar …!" Aku yakin kalau sebenarnya Mas Tyas itu sudah kehilangan sebagian dari kewarasannya. Buktinya, dia malah nyerengeh seolah-olah kami mau berangkat piknik, jalan-jalan atau holiday ke negeri antah berantah. "Mau ke mana, Lova?""Kok, baru pulang, Mas?"
"Iya, nganterin Ibu ke dokter dulu. Asam lambungnya tiba-tiba naik, sampai sesak napas."
"Oooh, terus gimana laptop Langit, sudah ada uangnya?"
Mas Tyas menggeleng lemah, menatap ke arah taxi dari kaca spion, "Itu pada mau ke mana?" Tentu saja, aku tidak menggubris pertanyaan Mas Tyas. Klise. Sudah jadi camilanku setiap saat dia mangkir dari janji dalam bentuk apa pun. Janji mau mengajak kami naik kereta api kalau sudah pulang dari Jepang. Tidak usah jauh-jauh ke Jakarta. Ke solo pun kami sudah senang, apalagi kalau sekalian diajak berbelanja baju tidur di pasar Klewer. Waaah, pasti lebih bahagia. Tidak perlu banyak, cukup satu setel saja untuk satu orang. Janji mau membuatkan ayunan untuk anak-anak. Eh, sampai sekarang juga belum pernah ditepati. Itu baru dua janji lho, belum puluhan janjinya yang lain. Ratusan. Tapi hanya berpulang pada janji. Janji palsu. Mungkin karena aku diam saja, Mas Tyas kembali bertanya, "Lova mau ke mana?"Gila, masa dia lupa, kalau sudah berjanji mau membelikan laptop hari ini. Satu lagi, ini kan waktunya Langit harus kembali ke pondok pesantren? Masa dia lupa, sih? Lupa atau pura-pura lupa, hemmmhhh?"Terus gimana tuh, laptop Langit?" kesal, aku bertanya lagi sambil melambaikan tangan ke arah taxi, "Dia nggak mau balik ke pondok tuh, dibujuk sana, Mas?" O'ooo, seperti itukah seharusnya seorang ayah bersikap? Bukannya merasa bersalah, sedih atau bagaimana, Mas Tyas malah memarahiku. Membentak-bentak, padahal di seberang rumah kami ada Mbak Tuty sekeluarga, sedang duduk-duduk di teras. Waaah, sepertinya Mas Tyas memang sudah kehilangan kewarasan. Sebagian besar kewarasannya."Alah manja, dikit-dikit mogok sekolah. Kalau nggak mau sekolah ya udah, di rumah aja. Beres!"Tanpa kusadari, Langit turun dari taxi dan berlari masuk ke dalam rumah melalui pintu garasi yang tak pernah kami kunci. Langkah kakinya terdengar berlari menaiki tangga. Sekian detik setelahnya terdengar suara pintu terbanting dengan sangat keras dan menimbulkan suara gaduh.Braaakkk …!Tanpa ampun, aku mendelik tajam menatap Mas Tyas. Semua ini gara-gara dia yang sering ingkar janji. Langit yang anak baik, penurut, pendiam dan cerdas pun jadi emosional dan kasar begini. Sudah begitu, bisa-bisa dia justeru menyalahkan Langit. Men-judge dengan kata manja, cengeng dan mudah patah hati. Apa tidak sadar, kalau kata-katanya yang tadi itu bisa menambah luka di hati Langit?Ckckckck, kupikir, setelah belasan tahun jatuh bangun dalam perjuangan hidup Mas Tyas akan menjadi pribadi yang dewasa. Kegagalan demi kegagalan, seharusnya bisa menjadi pelajaran berharga, kan? Bukannya malah mengikatnya dalam sifat kekanakan dan egois se
Aku mengadakan rapat keluarga keesokan paginya, mewajibkan Mas Tyas untuk hadir, tentu saja. Tapi seperti biasa, dia mangkir. Tanpa alasan, dia pergi begitu saja dan hanya meninggalkan uang dua puluh ribu di atas kulkas. Uang jatah belanja untuk sehari. Benar-benar handal, profesional. Bukan caranya meninggalkan uang, maksudku. Bukan jumlah uangnya juga yang membuatku mengelus dada tapi kepergiannya yang tanpa pesan maupun kesan. Padahal, baru saja dia menyakiti hati Langit dengan mengingkari janjinya untuk membelikan laptop sejak setahun yang lalu. Tapi tetap saja tidak merasa bersalah. Tetap saja angkuh dan sombong. Ada ya, anak manusia minus perasaan seperti dia?Hemmmhhh!Rasanya seperti membeli kucing dalam karung, sungguh. Oh, andai bisa memutar waktu kembali. Aku takkan sudi berkenalan dengan Mas Tyas walaupun dia bersimpuh di kakiku sekali pun. Walaupun dia memohon-mohon sampai menangis darah pun aku takkan peduli."Ay
Ada apa dangan Langit?Oh, pasti karena aku yang tak pandai membahagiakan hatinya. Tak pandai menjaga perasaan, mendidik dan membersamai selama ini. Iya, kan? Ah! Jangan-jangan karena aku dan Mas Tyas sering bertengkar? Oh, mungkin Langit bersedih hati dan merasa tertekan dengan semua itu? Tapi bagaimana lagi, Mas Tyas susah diajak bicara baik-baik. Itulah mengapa, kadang-kadang aku berteriak-teriak seperti di tengah hutan. Kalau tidak begitu, mana mau dia memasang telinga?"Ma, Ayah pulang! Sendiri dia, nggak sama Uti." bisik Bumi ditelinga kiriku dengan penuh semangat, "Adek ditaruk aja Ma, biar aku yang jaga. Kalau nggak, nanti Ayah pergi lagi. Kasihan Mas Langit. Masa, nggak balik-balik ke pondok?"Siiirrr dug, dug, duuuggg!Berarti benar apa yang kupikirkan tadi. Bumi yang baru sembilan tahun saja sudah terkena dampak dari keburukan sikap Mas Tyas, apalagi Langit? Wah, ini tidak bisa dibiarkan, mau tidak mau kami h
Rasanya benar-benar sesak ketika tahu Mas Tyas habis-habisan memarahi Laut hanya gara-gara mengajukan protes atas tamparannya padaku. Halooo, di mana letak kesalahannya? Dia sudah besar, sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang tidak. Sudah bisa merasakan, mana yang lembut dan mana yang kasar. Aku yakin, Laut juga sudah membedakan, siapa yang benar dan siapa yang salah. Seharusnya Mas Tyas tidak semarah itu bukan, walaupun mungkin tersinggung setengah mati, misalnya. Bisa kan, mengingatkan dengan cara yang baik?"Mas, sudah, Mas!" kataku sambil menarik tangan Laut supaya menjauh dari Mas Tyas, "Malu sama tetangga, Mas!" kataku lagi, berusaha untuk menyetel suara agar tak terdengar membahana ke seluruh penjuru kampung. Sadar, kalau ini kampung padat penduduk. Jangankan bertengkar, buang angin saja tetangga bisa dengar."Didik anakmu, ngelawan aja kerjanya ama orangtua!" cakap Mas Tyas Kasar, "Masih ingusan aja udah berani ngelawan
Empat puluh juta, bayangkanlah!Tak habis pikir, untuk apa coba uang sebanyak itu? Empat tahun yang lalu, bukannya dia baru setahun di rumah setelah magang di Jepang selama tiga tahun? Uang hasil magangnya saja masih utuh tersimpan di bank. Katanya dua ratus lima puluh juta dan sengaja tidak diambil karena sudah dijadikan dana khusus untuk membangun rumah. Aku saja sampai tak berani meminta, sungguh. Jangankan meminta, untuk sekadar menanyakan saja pun tak punya nyali.Apalagi Ibu sudah memberikan warning, "Uang Tyas yang dari Jepang jangan dipakai. Mau untuk bangun rumah. Itu, tanah belakang rumah sudah dibayar Tyas, mau untuk bangun kolam ikan. Mau buat pembibitan lele dia, Yung. Delapan puluh lima juta, jatuhnya. Ibu yang nawar langsung ke yang punya."Aku yang baru selesai menidurkan Bumi, sempat oleng juga waktu itu. Tidak menyangka sama sekali kalau Mas Tyas dan Ibu bergerak di belakang layar. Artinya tidak melibatkanku sama sekali sebagaimana
Pro: Mas TyasMas Tyas, ini aku Ratna.Kamu kok ngilang gitu aja to, Mas?Aku kan kangen, Masa kamu nggak tahu?Jangan gitu Mas sama aku!Inget, uang tujuh puluh lima juta itu nggak sedikit lho!Nanti kalau aku minta balik gimana?Kamu kan udah nggak punya usaha lagi sekarang?Kerja juga cuma ngojek!Udah lah Mas, nggak usah sok idealis segala macem!Balik sini sama aku. Nanti kubantu. Nggak kuhitung hutang, asal kamu mau jalan sama aku.Ini nomer hp ku: 082 … 890Kutunggu di istana cinta kita!(Ratna)Sungguh, rasanya dadaku seperti kejatuhan bom. Jadi, selama ini Mas Tyas selingkuh? Ratna … Ratna siapa, ya? Seingatku selama ini Mas Tyas tidak punya teman yang bernama Ratna. Iya, kan? Aku juga tidak punya. Siapa dia? Kok, sepertinya mereka sudah lama berhubungan. Sudah terlalu dalam. Bayangkan, Ratna sampai memberikan uang tujuh puluh lima juta pada Mas Tyas!Tapi kalau dari kat
Tak acuh, tak merasa bersalah.Dalam keadaan seperti itulah Mas Tyas pulang keesokan harinya. Itu pun setelah Bumi menelepon, merengek-rengek menagih lem tembak yang sudah dijanjikannya sejak dua minggu yang lalu. Bukan berarti aku tidak punya uang kalau pun harus membeli lem tembak, tak semahal harga laptop, bukan? Tapi itu kan tugas Mas Tyas, dia yang menyanggupi. Lagi pula, kenapa setiap dia mengingkari janji, aku yang harus menggantikannya? Halooo, aku bukan ban serep!Tapi, sekali lagi kukatakan, tapi aku berusaha untuk tetap bersikap baik padanya. Karena banyak hal yang harus kami bicarakan, tentu saja. Aku tak mau dia langsung pergi lagi begitu saja karena belum-belum sudah emosional. Ini bukan masalah internal lagi tapi sudah masalah eksternal, bukan? Buktinya, sudah banyak orang luar yang mencarinya ke rumah. Iya, kan? Walaupun benar-benar tidak menyangka tapi itulah kenyataan yang ada. Tak mungkin menghindar, bukan?"Semalem nggak pul
Mulut perempuan. Entah mengapa kata-kata itu mengiang-ngiang di telingaku yang menghangat, nyaris panas. Berani-beraninya Mas Tyas men-judge seluruh wanita yang menghuni planet bumi seperti itu? Apa dia lupa, bukan hanya aku yang berjenis kelamin perempuan? Lagi pula berapa perempuan sih, yang dia miliki dalam hidup ini, sampai-sampai bisa menciptakan label seburuk itu? Mulut perempuan. Selain aku, siapa lagi sih, memangnya?Apa iya, karakter berbicaraku sama dengan Ibu? Tidak mungkin kan, karena kami pribadi yang berbeda? Kami juga tak ada hubungan darah. Kami bisa menjadi keluarga karena aku menikah dengan Mas Tyas. Iya, kan? Jelas, aku bukan Ibu yang kalau bicara ketus, sembarangan dan angkuh! Masa sih, dia tak bisa membedakannya? Ugh, Mas Tyas! Jadi, dia maunya aku bersikap seperti apa dengan semua tingkah laku jahatnya itu? Bermanis-manis, begitu? Cuih, sorry!"Ya, Jeng?" aku mengangkat telepon Ajeng dengan perasaan yang belum bisa dikatakan rapi