Share

Curhat Sahabat

Manja, Cindy duduk di pangkuanku. Kami memang dekat, seperti anak dan mama. Sebenarnya, dulu sebelum ada Lova, aku pernah berpikiran untuk mengadopsi Cindy. Bukan karena ego, obsesi atau sejenisnya tapi karena tidak tega melihat Cindy yang tak diakui oleh bapaknya. Sudah tidak diakui yang berarti tidak diterima, eh, malah ditelantarkan juga. Ya, kalau ibunya saja tidak diberikan nafkah lahir batin, bagaimana lagi dengan anaknya? Bahkan, ibaratnya memberikan jatah lima atau sepuluh ribu setiap hari pun keberatan. Bukan karena tak mampu tapi karena kecewa Cindy terlahir sebagai anak perempuan. Bapak Cindy maunya punya anak laki-laki. 

Bapak Cindy pekebun salak di daerahnya sana. Kebunnya juga tidak bisa dikatakan kecil, dua atau tiga hektar lah luasnya. Kata Ajeng sih, begitu. Selain berkebun salak, dia juga bekerja di rental sound system, di daerahnya juga. Lumayan lah, gajinya. Apalagi kalau musim pengantin atau hajatan lainnya, waaah, panen uang. Tapi, yaaa, begitu tadi. Tak mau menafkahi anak isteri. Aneh, kan? Kecewa karena anaknya terlahir perempuan kok, sampai begitu? Padahal, jenis kelamin anak kan, Allah yang menentukan.  Bukan manusia. Kalau menurutku sih, dia memang keterlaluan. 

"Eh, sorry Yung, aku malah dateng-dateng udah langsung marah aja!" cakap Ajeng malu-malu, "Lah, sampai demam e Yung, aku. Ada gitu lho, orang kayak gitu?"

Aku tersenyum tipis, mencoba mencerna setiap kalimat yang terucap dari bibir Ajeng. Masalahnya, aku takut salah ambil kesimpulan. Dia curhat begini-begitu tapi kan, aku tidak tahu kenyataannya seperti apa? Kalau jatuhnya malah berprasangka buruk dan ikut campur rumah tangganya, bagaimana? Tidak bagus juga kan nanti efeknya? 

"Iya, Jeng." sahutku sambil membenarkan karet kunciran Cindy, "Diperluas saja Jeng, kesabarannya." saranku yang disambut dangan penuh semangat kemerdekaan olehnya. 

"Ya Yung, aku sabar, kok." katanya sambil menyeka air mata dangan lengan baju, "Yang penting Cindy nggak kelaperan, Yung. Besok bisa sekolah sampai tinggi, biar jadi anak pinter. Biar nggak bodoh kayak ibunya."

Biyuh, terharu aku mendengar kata-kata Ajeng. Seperti ada sesuatu yang begitu tajam, menusuk dada kiriku hinggga berdarah. 'Yang penting Cindy nggak kelaperan … Bisa sekolah sampai tinggi, biar jadi anak pinter. Biar nggak bodoh kayak ibunya.' Sebenarnya, Ajeng orang yang baik dan tulus tapi karena memang memiliki banyak keterbatasan---kadang disconnected, kadang juga terlalu percaya diri dan susah dikasih masukan---jadi kesannya semau dirinya sendiri. Banyak juga yang mengatakan---keluarganya sendiri pernah bilang sama aku---kalau Ajeng itu orangnya cuek dan tidak peduli. Minus perhatian plus empati lah, menurut mereka. Ya, jadinya tak banyak yang mau menjalin kedekatan hati dengannya. Ah, mungkin aku termasuk yang dipilih Allah untuk saling melengkapi dengannya. Aku kan, juga punya banyak keterbatasan?

"Aamiin," sahutku tulus, menciumi pipi Cindy lalu menawari minuman, "Teh atau sirup, Jeng?"

Ajeng tertawa kecil, mencolek pipi Cindy, "Kamu mimik apa, Nok? Teh apa sirup?" 

Cindy menyebut sirup, jadi itu juga yang Ajeng minta padaku. Tentu, dengan senang hati. Bukankah setiap tamu yang datang ke rumah itu membawa berkah? Mengistimewakan tamu juga sunnah, bukan? Kalau aku, akan bahagia kalau bisa menyuguhi tamu meskipun hanya dengan segelas teh hangat dan ubi goreng. Semampunya lah, pokoknya. Hehe. Sunnah juga tidak harus memaksakan diri, bukan? 

***

"Lovaaa!" Ajeng mengayun-ayun Lova dalam gendongannya, "Tuh, mumpung Mbak Cindy bobok jadi Bude bisa gendong kamu. Iya, Lova? Cantik, anak baik!"

Aku yang masih sibuk melipat pakaian, senyum-senyum melihat Ajeng yang bermanja-manja dengan Lova. Ya, bagaimana ya, menjelaskannya? Ternyata, Lova ini jatuhnya cucu Ajeng. Keponakan laki-lakinya yang bernama Wida, menghamili Gadis. Gadis itu kenalannya di internet. Versi mereka, Wida dijebak walaupun keluarga Gadis mengaku punya saksi dan bukti atas perbuatan terlarang mereka. Intinya, versi keluarga Gadis, itu bukan jebakan tapi terjadi atas suka sama suka. 

Anehnya, orangtua Gadis tidak mau menerima Wida sebagai anak menantu mereka. Hanya minta tanggung jawab dalam soal biaya hidup selama hamil, pemeriksaan kehamilan dan biaya persalinan. Orangtua Wida---mamak Wida (Yu Ratmi)  kakak kandung Ajeng---tidak bisa mengelak lagi walaupun sebenarnya keberatan. Bagi mereka juga---setelah berpikir panjang---lebih baik mengasuh bayinya dari pada harus menikahkan Wida dengan Gadis yang sama sekali tak dikenal. Tahukah Anda, siapakah gadis yang kumaksud tadi? Mama kandung Lova. 

Sungguh, aku juga terkejut, waktu bertemu mereka di klinik bersalin. Sama-sama terkejut  menurutku, karena setelah itu Yu Ratmi, terus mendekati aku dan Mas Tyas. Istilahnya curhat, atas kemalangan yang menimpa keluarga besar mereka. 

"Lha wong Wida itu cuma sibuk sekolah kok, Bu Payung. Mana sempat dia begitu?" pembelaan Yu Ratmi terhadap Wida yang kusimak dengan seksama, "Masa tahu-tahu dia hamil, empat bulan. Terus, tahu-tahu Wida disuruh tanggung jawab. Eh, giliran mau dinikahi, orangtuanya menolak. Malah, bayinya saja yang suruh diasuh. Tetep aja, ini tadi kami bayar lima juta, Bu Payung."

Aku manggut-manggut, bingung harus berkata apa. Mas Tyas juga hanya diam menyimak  sambil terus memandangi Lova yang tidur di box bayi.

Yu Ratmi menambahkan lagi dengan kemarahan yang luar biasa, "Lha bagi kami, petani kecil … Uang lima juta ya banyak to, Bu Payung! Ini tadi aja sampai minjem sana-sini!" 

Lagi, aku manggut-manggut dan tersenyum sebagai sopan santun. Sempat juga terpikir, aku dan Mas Tyas juga sudah mengganti semua biaya persalinan, pemeriksaan kehamilan dan biaya hidup selama hamil tadi … Tiga puluh lima juta, agar di surat keterangan kelahiran bisa langsung diisi dengan namaku sebagai ibu yang melahirkannya. Itu saran dari mereka tapi tidak kujalankan. Bukankah merusak nasab itu termasuk dosa besar? Biar, biar saja seperti itu adanya, surat keterangan kelahirannya. Terpenting, surat perjanjian penyerahan bayinya yang harus dibuat sebaik dan sevalid mungkin. Itu saja, agar ke depan, tidak terjadi permasalahan dalam bentuk apapun. Terutama ketenteraman hati Lova.

"Hoaaa … Hoaaa!" suara tangisan Lova memberai pintalan ingatanku terhadap peristiwa kelahirannya enam bulan yang lalu, "Hoaaa, hoaaa …!"

"Sayang, Lova?" aku meninggalkan setengah keranjang pakaian yang belum selesai kulipat, berjalan cepat mendekati Ajeng, "Lova, haus ya, Nduk? Yuk, mimik dulu yuk, Nduk?" 

Ajeng meletakkan tubuh gendut Lova di pelukanku, "Lova mau mimik, ya? Yaaa, Bude juga mau mandi dulu ini, kok."

Tangis Lova terhenti seketika, begitu aku menyentuhkan dot berisi susu yang masih hangat kuku ke bibirnya, membuatku terharu, "Makasih Bude Ajeng, silakan kalau mau mandi dulu?"

Ajeng sudah seperti kakakku sendiri di rumah, sudah seperti keluarga. Sebenarnya ada banyak hal yang aku sukai dari Ajeng selain kebaikan dan ketulusan hatinya. Ajeng, orang yang sangat menghargai privacy orang lain dan dia curhat panjang lebar padaku, itu karena kami sudah saling percaya. Dia tidak pernah menanyakan ini-itu tentang rumah tanggaku,  begitu juga sebaliknya. Kecuali dia curhat seperti tadi, tidak pernah aku bertanya apapun tentang hidupnya. Intinya, kami berkomitmen untuk sama-sama menghormati privacy masing-masing. Berbeda halnya kalau minta pendapat atau saran, kami pasti membicarakannya dengan baik dan aman. 

"Eh, Yung … Gimana, Tyas berubah baik nggak, setelah ada Lova?" tanya Ajeng sambil membuka tas pakaiannya, "Eh, sorry. Maksudku, kalau dia berubah jadi suami dan ayah yang baik aku juga ikut senang. Gitu lho, Yung!" 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status