Share

Curhat Sahabat

last update Terakhir Diperbarui: 2021-12-30 13:02:20

Manja, Cindy duduk di pangkuanku. Kami memang dekat, seperti anak dan mama. Sebenarnya, dulu sebelum ada Lova, aku pernah berpikiran untuk mengadopsi Cindy. Bukan karena ego, obsesi atau sejenisnya tapi karena tidak tega melihat Cindy yang tak diakui oleh bapaknya. Sudah tidak diakui yang berarti tidak diterima, eh, malah ditelantarkan juga. Ya, kalau ibunya saja tidak diberikan nafkah lahir batin, bagaimana lagi dengan anaknya? Bahkan, ibaratnya memberikan jatah lima atau sepuluh ribu setiap hari pun keberatan. Bukan karena tak mampu tapi karena kecewa Cindy terlahir sebagai anak perempuan. Bapak Cindy maunya punya anak laki-laki. 

Bapak Cindy pekebun salak di daerahnya sana. Kebunnya juga tidak bisa dikatakan kecil, dua atau tiga hektar lah luasnya. Kata Ajeng sih, begitu. Selain berkebun salak, dia juga bekerja di rental sound system, di daerahnya juga. Lumayan lah, gajinya. Apalagi kalau musim pengantin atau hajatan lainnya, waaah, panen uang. Tapi, yaaa, begitu tadi. Tak mau menafkahi anak isteri. Aneh, kan? Kecewa karena anaknya terlahir perempuan kok, sampai begitu? Padahal, jenis kelamin anak kan, Allah yang menentukan.  Bukan manusia. Kalau menurutku sih, dia memang keterlaluan. 

"Eh, sorry Yung, aku malah dateng-dateng udah langsung marah aja!" cakap Ajeng malu-malu, "Lah, sampai demam e Yung, aku. Ada gitu lho, orang kayak gitu?"

Aku tersenyum tipis, mencoba mencerna setiap kalimat yang terucap dari bibir Ajeng. Masalahnya, aku takut salah ambil kesimpulan. Dia curhat begini-begitu tapi kan, aku tidak tahu kenyataannya seperti apa? Kalau jatuhnya malah berprasangka buruk dan ikut campur rumah tangganya, bagaimana? Tidak bagus juga kan nanti efeknya? 

"Iya, Jeng." sahutku sambil membenarkan karet kunciran Cindy, "Diperluas saja Jeng, kesabarannya." saranku yang disambut dangan penuh semangat kemerdekaan olehnya. 

"Ya Yung, aku sabar, kok." katanya sambil menyeka air mata dangan lengan baju, "Yang penting Cindy nggak kelaperan, Yung. Besok bisa sekolah sampai tinggi, biar jadi anak pinter. Biar nggak bodoh kayak ibunya."

Biyuh, terharu aku mendengar kata-kata Ajeng. Seperti ada sesuatu yang begitu tajam, menusuk dada kiriku hinggga berdarah. 'Yang penting Cindy nggak kelaperan … Bisa sekolah sampai tinggi, biar jadi anak pinter. Biar nggak bodoh kayak ibunya.' Sebenarnya, Ajeng orang yang baik dan tulus tapi karena memang memiliki banyak keterbatasan---kadang disconnected, kadang juga terlalu percaya diri dan susah dikasih masukan---jadi kesannya semau dirinya sendiri. Banyak juga yang mengatakan---keluarganya sendiri pernah bilang sama aku---kalau Ajeng itu orangnya cuek dan tidak peduli. Minus perhatian plus empati lah, menurut mereka. Ya, jadinya tak banyak yang mau menjalin kedekatan hati dengannya. Ah, mungkin aku termasuk yang dipilih Allah untuk saling melengkapi dengannya. Aku kan, juga punya banyak keterbatasan?

"Aamiin," sahutku tulus, menciumi pipi Cindy lalu menawari minuman, "Teh atau sirup, Jeng?"

Ajeng tertawa kecil, mencolek pipi Cindy, "Kamu mimik apa, Nok? Teh apa sirup?" 

Cindy menyebut sirup, jadi itu juga yang Ajeng minta padaku. Tentu, dengan senang hati. Bukankah setiap tamu yang datang ke rumah itu membawa berkah? Mengistimewakan tamu juga sunnah, bukan? Kalau aku, akan bahagia kalau bisa menyuguhi tamu meskipun hanya dengan segelas teh hangat dan ubi goreng. Semampunya lah, pokoknya. Hehe. Sunnah juga tidak harus memaksakan diri, bukan? 

***

"Lovaaa!" Ajeng mengayun-ayun Lova dalam gendongannya, "Tuh, mumpung Mbak Cindy bobok jadi Bude bisa gendong kamu. Iya, Lova? Cantik, anak baik!"

Aku yang masih sibuk melipat pakaian, senyum-senyum melihat Ajeng yang bermanja-manja dengan Lova. Ya, bagaimana ya, menjelaskannya? Ternyata, Lova ini jatuhnya cucu Ajeng. Keponakan laki-lakinya yang bernama Wida, menghamili Gadis. Gadis itu kenalannya di internet. Versi mereka, Wida dijebak walaupun keluarga Gadis mengaku punya saksi dan bukti atas perbuatan terlarang mereka. Intinya, versi keluarga Gadis, itu bukan jebakan tapi terjadi atas suka sama suka. 

Anehnya, orangtua Gadis tidak mau menerima Wida sebagai anak menantu mereka. Hanya minta tanggung jawab dalam soal biaya hidup selama hamil, pemeriksaan kehamilan dan biaya persalinan. Orangtua Wida---mamak Wida (Yu Ratmi)  kakak kandung Ajeng---tidak bisa mengelak lagi walaupun sebenarnya keberatan. Bagi mereka juga---setelah berpikir panjang---lebih baik mengasuh bayinya dari pada harus menikahkan Wida dengan Gadis yang sama sekali tak dikenal. Tahukah Anda, siapakah gadis yang kumaksud tadi? Mama kandung Lova. 

Sungguh, aku juga terkejut, waktu bertemu mereka di klinik bersalin. Sama-sama terkejut  menurutku, karena setelah itu Yu Ratmi, terus mendekati aku dan Mas Tyas. Istilahnya curhat, atas kemalangan yang menimpa keluarga besar mereka. 

"Lha wong Wida itu cuma sibuk sekolah kok, Bu Payung. Mana sempat dia begitu?" pembelaan Yu Ratmi terhadap Wida yang kusimak dengan seksama, "Masa tahu-tahu dia hamil, empat bulan. Terus, tahu-tahu Wida disuruh tanggung jawab. Eh, giliran mau dinikahi, orangtuanya menolak. Malah, bayinya saja yang suruh diasuh. Tetep aja, ini tadi kami bayar lima juta, Bu Payung."

Aku manggut-manggut, bingung harus berkata apa. Mas Tyas juga hanya diam menyimak  sambil terus memandangi Lova yang tidur di box bayi.

Yu Ratmi menambahkan lagi dengan kemarahan yang luar biasa, "Lha bagi kami, petani kecil … Uang lima juta ya banyak to, Bu Payung! Ini tadi aja sampai minjem sana-sini!" 

Lagi, aku manggut-manggut dan tersenyum sebagai sopan santun. Sempat juga terpikir, aku dan Mas Tyas juga sudah mengganti semua biaya persalinan, pemeriksaan kehamilan dan biaya hidup selama hamil tadi … Tiga puluh lima juta, agar di surat keterangan kelahiran bisa langsung diisi dengan namaku sebagai ibu yang melahirkannya. Itu saran dari mereka tapi tidak kujalankan. Bukankah merusak nasab itu termasuk dosa besar? Biar, biar saja seperti itu adanya, surat keterangan kelahirannya. Terpenting, surat perjanjian penyerahan bayinya yang harus dibuat sebaik dan sevalid mungkin. Itu saja, agar ke depan, tidak terjadi permasalahan dalam bentuk apapun. Terutama ketenteraman hati Lova.

"Hoaaa … Hoaaa!" suara tangisan Lova memberai pintalan ingatanku terhadap peristiwa kelahirannya enam bulan yang lalu, "Hoaaa, hoaaa …!"

"Sayang, Lova?" aku meninggalkan setengah keranjang pakaian yang belum selesai kulipat, berjalan cepat mendekati Ajeng, "Lova, haus ya, Nduk? Yuk, mimik dulu yuk, Nduk?" 

Ajeng meletakkan tubuh gendut Lova di pelukanku, "Lova mau mimik, ya? Yaaa, Bude juga mau mandi dulu ini, kok."

Tangis Lova terhenti seketika, begitu aku menyentuhkan dot berisi susu yang masih hangat kuku ke bibirnya, membuatku terharu, "Makasih Bude Ajeng, silakan kalau mau mandi dulu?"

Ajeng sudah seperti kakakku sendiri di rumah, sudah seperti keluarga. Sebenarnya ada banyak hal yang aku sukai dari Ajeng selain kebaikan dan ketulusan hatinya. Ajeng, orang yang sangat menghargai privacy orang lain dan dia curhat panjang lebar padaku, itu karena kami sudah saling percaya. Dia tidak pernah menanyakan ini-itu tentang rumah tanggaku,  begitu juga sebaliknya. Kecuali dia curhat seperti tadi, tidak pernah aku bertanya apapun tentang hidupnya. Intinya, kami berkomitmen untuk sama-sama menghormati privacy masing-masing. Berbeda halnya kalau minta pendapat atau saran, kami pasti membicarakannya dengan baik dan aman. 

"Eh, Yung … Gimana, Tyas berubah baik nggak, setelah ada Lova?" tanya Ajeng sambil membuka tas pakaiannya, "Eh, sorry. Maksudku, kalau dia berubah jadi suami dan ayah yang baik aku juga ikut senang. Gitu lho, Yung!" 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Berpisah Untuk Bersatu   Ya, Saya Tahu!

    "Pakai nama Mama saja, Ma?" Langit mengusulkan setelah Laut dan Bumi sibuk mencari nama untuk usaha tanaman hias yang akan kami rintis. "Payung Teduh Flowers. Cantik kan, Mama?" Sejenak, Laut dan Bumi saling memandang lalu tos dengan penuh semangat perjuangan. "Setuju berat, Mas Langit. Cantik banget namanya, Payung Teduh Flowers!" Laut memandangku dengan senyum tipis tetapi manis yang khas. Tak mau kalah, Bumi juga mengapresiasi nama yang diusulkan Langit tadi. "Cantik dan viral pasti. Karena kan unik banget namanya."Payung Teduh Flowers. Payung Teduh Flowers. Payung Teduh Flowers. Memang cantik, ya? Unik. Semoga juga bisa menjadi magnet berkahnya rezeki. "Oke, Mama juga setuju." lembut tapi tegas aku memungkas acara diskusi kami. "Kalau gitu, Mas Langit sama Mas Laut harus segera cetak banner, ya? Nanti kita buat dulu konsepnya. Mas Bumi bantu Mama memilih bunga apa saja yang akan menjadi icon PTF. Nah, habis itu kita cari grosir tanaman hias. Harus banyak survei nih Le, seka

  • Berpisah Untuk Bersatu   Emanuella Keluarga Selamanya

    Tiga hari berlalu sejak family time yang so sweet, aku sakit. Demam, batuk, pilek parah sampai tidak bisa bangun dari tempat tidur. Kata Dokter, aku terlalu lelah dan letih. Butuh beberapa hari untuk istirahat total. Dokter sempat menawarkan rawat inap di rumah sakit tetapi aku menolak, tentu saja. Bukankah istirahat di rumah jauh lebih menyenangkan? Ya, begitulah dan akhirnya Anak-anaklah yang dengan kompaknya merawat. Lova terlihat senang hati setiap mengambilkan minum atau menemani minum obat. Langit dan Laut, mendapat tugas membersihkan rumah plus mencuci pakaian. Sedangkan Bumi, mencuci piring dan menyiram tanaman setiap pagi, sebelum berangkat ke sekolah. Siapa yang memasak?Koki di rumah makan, hehehehe. Sorry, just kidding! Sebagai koordinator rumah tangga sementara, Langit memutuskan untuk membeli lauk dan sayur saja selama aku sakit. Kalau memasak sendiri, menurutnya terlalu ribet. Untuk nasi, dia yang memasak. Maka, nikmat dari Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?"G

  • Berpisah Untuk Bersatu   Roda Terus Berputar

    Aku berusaha mengikuti arahan Bu Bidan tetapi belum berhasil. Sabar, Bapak terus menyemangati dan mendoakan keselamatan kami."Nah, ayo ngeden lagi Mbak, ini kepalanya sudah kelihatan. Yuk, ngeden yang kuat. Terus, terus…!"Aku tidak terlalu ingat, bagaimana akhirnya. Hanya ketika kepala Laut sudah keluar, aku menjerit memanggil Mas Tyas. Mengejan lagi, mengikuti daya kontraksi lalu lahirlah dia, Laut Surgawi. Tidak dapat mendengar lagi kah hati Mas Tyas? Hanya Allah Yang Tahu."Sop iga, bakso rusuk, pecel lele, ikan bakar … Kita mau makan apa, Ma?" Hampir saja aku menyerempet sepeda motor karena terkejut demi mendengar pertanyaan Laut. Wah, semua ini gara-gara Mas Tyas yang tak berperasaan, jahat! "Kalian, mau makan apa?" lega tetapi sedikit geragapan aku membalikkan pertanyaan. "Mama ngikut saja, Le. Eh, tapi kayaknya enak ya, kalau makan sop iga? Sudah lama juga kan, Mama nggak masak …?"Laut mengiyakan lalu memberi tahu kalau rumah makan sop iga sapinya tinggal satu setengah kil

  • Berpisah Untuk Bersatu   Ziarah Cinta Pertama

    "Yuk, turun, anak-anak!" kataku sambil menepikan mobil di perempatan jalan kecil menuju makam Bapak. "Kita parkir di sini saja ya, takutnya Mama nggak bisa atret nanti?"Tanpa berkata-kata, anak-anak mengikuti ajakanku. Langit yang duduk si sebelahku, segera turun sambil menggendong Lova. "Bunganya sudah aku bawa turun, Ma!" lapor Bumi setengah berteriak. "Eh, Mas Laut, tolong bawa air mineralnya!'Kudengar, dengan penuh semangat Laut menyahut, "Siap, Bos!"Entah bagaimana, aku tertawa lirih. Menertawai diri sendiri, Mungkin? Why? Karena belum sempat membahagiakan Bapak semasa hidup. Bahkan, ketika Bapak meninggal dunia pun aku masih dalam keadaan susah. Bukan susah secara ekonomi, tetapi kritisnya hubungan dengan Mas Tyas. Kami sudah benar-benar tenggang, waktu itu, sudah pisah ranjang. Seperti itulah, keadaannya sampai-sampai Mamak dan Limas menghakimi. Bapak terkena serangan jantung karena stressed memikirkan aku. Padahal aku sama sekali tidak memberi tahu Bapak perihal rumah tan

  • Berpisah Untuk Bersatu   Atas Nama Empati

    Apakah ini yang disebut dengan penghalang kebahagiaan? Aku tidak tahu! Setelah menyadari apa yang telah terjadi, aku memilih untuk menyebutnya dengan challenge. Tantangan kemanusiaan. Bagaimana tidak? Kami sudah sampai di samping pintu mobil ketika tiba-tiba air ketuban Ajeng pecah. Byok …! Seperti itulah bunyinya, menciptakan panik. Anehnya, aku hanya bisa tertegun hingga beberapa detik lamanya saat cairan seperti putih telur itu membasahi punggung kaki Ajeng."Yung, aku nggak tahan lagi, Yung!" rintih Ajeng sambil merapatkan rahang. "Bayinya sudah mau lahir, Yung!""Ha, apa?" reflek, aku merespon dan tidak menyesal sedikit pun walau mungkin terkesan bodoh. "Jangan bercanda deh Jeng, sudah mau lahir gimana?"Terengah-engah, Ajeng berusaha memberikan penjelasan. "Serius, Yung. Hah, hah, haaahhh …!" Ajeng mencengkeram pintu mobil, mendobrak kesadaranku."Oke, oke!" kataku berusaha meredam panik. "Oke, tahan sebentar. Tahan sebentar ya, Jeng?" Gemetar, aku merogoh ke dalam saku gami

  • Berpisah Untuk Bersatu   Memilih Sembuh

    Sebenarnya apa salahku? Pada Mamak, Bapak dan Limas, maksudku sehingga mereka begitu membenciku. Karena menikah darurat dengan Mas Tyas? Karena gagal menjadi Sarjana? Karena akhirnya berpisah dengan Mas Tyas yang berarti kegagalan paling besar bagi mereka? Seharusnya mereka tahu tanpa disalahkan, dibenci dan dihakimi pun aku sudah remuk bubuk. Lumat oleh penyesalan dan perasaan bersalah yang begitu besar, tak tergambarkan. Jelas mereka tidak melihat itu, kan? Jelas, jelas! "Kalau aku jadi kamu ya Mbak, sesakit apa pun nggak akan pernah pisah. Ya ampun, itu kan nyakitin banget buat anak-anak, Mbak. Kasihan juga kan, status mereka jadi anak-anak broken home? Lagian, kenapa dulu kalian pacaran sampai ngawur gitu, coba? Sudah buat malu orangtua eh ujung-ujungnya pisah! Heran deh Mbak, sama kamu!" itu yang dikatakan Limas melalui saluran telepon yang super buruk saat tahu aku sudah berpisah dengan Mas Tyas. Seakan-akan dia yang bertanggung jawab atas hidupku selama ini saja! "Ya,

  • Berpisah Untuk Bersatu   Berdarah Lagi

    "Waduh, waduh yang punya rumah baru sampai cuek bebek sama keluarganya!" seloroh Mamak sambil mengulurkan tangan, menyalamiku. "Tapi kayaknya kami nggak bisa nginep, Yung. Adikmu lagi sibuk banget, banyak kerjaan. Besok malah Mamak nggak ada yang nganterin pulang."Aku merasa, otakku sudah berhenti berputar saat ini, sehingga hanya bisa diam tercenung. Oh, pasti aku terlihat sangat bodoh, sekarang. Bodoh dan lemah, tak punya harga diri. "Lah, kan, Mama bisa nganterin Mbah Mamak pulang?" pertanyaan sekaligus pernyataan Laut memulihkan separuh kekuatanku yang tadi hilang entah ke mana. Separuh lagi, berasal dari Bumi, Langit dan Lova yang tiba-tiba mengerubungi kami. Senyum tulus, sorot mata teduh mereka menyemai rasa tenteram dalam hati. "Sekalian jalan-jalan. Iya kan, Mama?"Reflek, aku mengangguk. Menyuguhkan senyum tulus. Biarlah Mamak atau siapa pun bersikap semau mereka tetapi aku tak boleh goyah. Maksudku, meskipun harus mengorbankan diri sendiri, jangan sampai balas menyakiti.

  • Berpisah Untuk Bersatu   Drama Tangisan Mas Tyas

    Mas Tyas juga datang? Wah, ini baru bencana! Sejujur-jujurnya kukatakan, tak ingin ada dia malam ini dan selanjutnya. Jangan ada Mas Tyas lagi, karena dia hanyalah selembar masa lalu. Masa lalu yang sangat menyakitkan! "Iya, Mas Bumi?"Bumi mengangguk. "Iya, Mama. Kayaknya, kalau aku nggak salah lihat, Ayah bawa buket bunga mawar putih, Ma." Ha, apa? Ck, Mas Tyas pasti sudah terjangkit skizofrenia. Tak bisa lagi membedakan antara khayalan dan kenyataan. Jelas-jelas kami sudah bukan siapa-siapa lagi, kan? "Mama mau temui Ayah?" pertanyaan polos sekaligus tulus dari Bumi mendobrak kesadaranku. "Mau apa nggak, Ma?"Terlambat. Semuanya sudah terlambat. Aku tak sempat lagi menghindar karena Mas Tyas sudah masuk ke ruang keluarga ini, bersama Ibu. Itu terlalu lancang bagiku tetapi sayang, tak bisa berbuat apa-apa lagi. Hanya bisa berdiri hampa."Selamat ya, Yung?" suara Mas Tyas terdengar gemetar. Entah karena efek dingin dari air conditioner atau karena efek lain salam dirinya. "Maaf,

  • Berpisah Untuk Bersatu   Hambar

    "Ibu …!"Walau sudah berpisah dengan Mas Tyas, aku tak pernah berubah. Sama seperti dulu waktu masih menjadi anak menantu, menyambut dengan sopan lalu bersalaman. Tidak hanya mengecup punggung tangan, aku juga mencium kedua pipinya. "Alhamdulillah, Ayunng senang Ibu bisa datang." ungkapku jujur dan apa adanya ketika Ibu merengkuh tubuh ini ke dalam pelukannya. "Ibu sehat kan, Bu?""Sehat Yung, Alhamdulillah." lembut, Ibu melepaskanku dari pelukannya. "Ibu juga senang bisa datang ke sini. Selamat ya Yung, sudah punya rumah baru? Ibu doakan semoga diberkahi Allah semuanya.""Aamiin. Makasih banyak, Bu." Ibu menyimpulkan senyum tulus. Mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang tamu yang sejak sore tadi sudah berubah menjadi taman bunga. Hehe. Anak-anak yang memilih tema dekornya. Beberapa ikat balon warni menghiasi sudut-sudut ruangan. Ada juga yang tergantung di langit-langit berplafon putih melati. Konsepnya memang sederhana tetapi terlihat manis dan hangat. Indah."Sama-sama, Ayung."

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status