Dominic memeluk Amethyst erat, tangannya mengelus punggungnya dengan lembut. Setelah beberapa saat dalam keheningan, ia melepaskan pelukan itu perlahan, menatap wajah Amethyst yang masih sembab.
“Tangismu membuatku ingin mencium bibir itu, Amethyst,” gumam Dominic dengan suara rendah, nadanya setengah menggoda tapi penuh otoritas. Amethyst terhenyak. Matanya melebar, dan pipinya langsung memerah. “Dominic!” serunya setengah tertawa, mencoba menutupi rasa malunya. “Kau selalu tahu cara membuatku salah tingkah!” Dominic tersenyum, senyum yang sangat khas dirinya—memiliki sentuhan misteri dan dominasi. “Kalau aku tidak tahu caranya, aku sudah kehilanganmu sejak awal,” balasnya, satu alis terangkat penuh percaya diri. Amethyst tertawa kecil, suasana hatinya perlahan mencair. “Kau terlalu percaya diri, Tuan Blackwood. Apa kau pikir aku begitu mudah terpesona padamu?” katanya mencoba terdengar galak, meskipun bibirnya melengkung membentuk senyum. Dominic mengulurkan tangan, menarik Amethyst untuk duduk di pangkuannya. “Aku tidak perlu berpikir. Aku tahu kau terpesona sejak hari pertama,” katanya dengan nada rendah yang membuat Amethyst langsung kehilangan kata-kata. Dia mencoba melawan, tapi akhirnya malah tertawa lepas. “Kau ini memang menyebalkan,” katanya sambil mendorong ringan bahu Dominic. “Aku menyebalkan hanya untukmu,” jawab Dominic sambil menyentuh dagu Amethyst, mengangkatnya sehingga mata mereka bertemu. Ia menatapnya dengan intens, seolah tidak ada yang lain di dunia selain mereka berdua. Dominic kemudian menundukkan kepalanya, memberikan kecupan lembut di bibir Amethyst. Bukan kecupan penuh gairah seperti biasanya, tapi lembut dan menenangkan, seperti cara Dominic menyampaikan bahwa dia akan selalu ada untuknya. Saat mereka berpisah, Amethyst menatapnya, wajahnya berubah serius. “Kau selalu tahu cara membuatku merasa lebih baik, Dominic. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa seberuntung ini memiliki seseorang sepertimu.” Dominic tersenyum kecil. “Dan aku tidak tahu bagaimana aku bisa membiarkan diriku begitu terobsesi denganmu.” Amethyst tertawa kecil, tidak menyadari ada kebenaran dalam kata-kata itu. Beberapa saat kemudian, setelah suasana hati kembali ringan, Dominic berdiri. “Aku harus menyelesaikan beberapa pekerjaan,” katanya sambil berjalan ke meja kerjanya di sudut ruangan. “Tapi kau tidak dibiarkan diam saja. Buatkan aku kopi, sayang.” Amethyst memutar matanya, tapi ia tersenyum lebar. “Kau benar-benar memanfaatkan kekuatanmu sebagai bos, ya?” “Aku tidak hanya bos di pekerjaan, Amethyst. Aku juga bos di sini.” Dominic meliriknya dari meja, menyeringai seperti anak nakal yang menang dalam permainan. Amethyst menghela napas pura-pura kesal, tapi hatinya terasa hangat. “Baiklah, Tuan Blackwood. Tapi aku tidak menjamin kopi buatan tanganku seenak buatanmu.” Amethyst pergi ke dapur untuk menyiapkan kopi, dan selama beberapa menit, apartemen dipenuhi suara piring dan sendok. Ketika ia kembali dengan dua cangkir kopi, Dominic menatapnya dengan senyum kecil yang tidak pernah ia tunjukkan pada siapa pun selain Amethyst. Dominic mengambil satu cangkir dan mencicipinya. “Ini cukup enak. Aku hampir tidak percaya kau bisa membuat kopi sebaik ini.” Amethyst memutar matanya lagi, pura-pura tidak peduli. “Mungkin aku diam-diam punya bakat, siapa yang tahu?” Dominic tertawa kecil. “Bakatmu bukan membuat kopi, Amethyst. Bakatmu adalah membuatku jatuh cinta setiap hari.” Kata-kata itu membuat Amethyst tertawa malu. “Kau memang tak tahu malu, Dominic. Tapi aku suka.” Hari itu, mereka menghabiskan waktu bersama. Dominic sibuk dengan pekerjaannya, tetapi sesekali mencuri waktu untuk menatap Amethyst yang membaca di sofa. Tatapannya penuh intensitas, membuat Amethyst tergelak sambil mencoba menghindari pandangan itu. Malamnya, ketika mereka berbincang di sofa, Dominic kembali menunjukkan sisi lembutnya yang jarang terlihat. Saat Amethyst menceritakan masa kecilnya, Dominic tidak banyak bicara. Dia hanya mendengarkan dengan seksama, memberi ruang bagi Amethyst untuk melepaskan bebannya. “Aku bahagia kau ada di sini sekarang,” kata Dominic akhirnya, menarik Amethyst lebih dekat dalam pelukan. “Karena aku tidak tahu apakah aku bisa membiarkan dunia ini menyakitimu lagi.” Amethyst tersenyum tipis, dihujani cinta dari pria yang tujuh tahun lebih tua darinya. Awalnya, ia sempat skeptis dengan hubungan ini. Tapi, dengan perlakuan Dominic yang manis dan hangat. Kotak kasih sayangnya yang selama ini kosong, mulai terisi hingga tumpah ruah. "Apa kau ingat awal pertemuan kita?" Pertanyaan Amethyst membuat Dominic termenung. Tak mendapatkan jawaban, Amethyst mendongak memperhatikan pria itu ternyata malah melamun. Dominic tersenyum samar, pandangannya terfokus pada Amethyst yang duduk di sofa, pipinya yang merah jambu karena canggung. "Apa kau ingat pertama kali kita bertemu?" tanya Amethyst lagi dengan suara lembut penuh keraguan. Dominic terdiam sejenak, menyesap kopi di tangannya sambil menatapnya dengan penuh intensitas. Namun, di balik senyum kecilnya, pikirannya mengembara jauh lebih dalam. “Ya, aku ingat,” jawabnya akhirnya, suaranya tenang namun terdengar seperti menyimpan rahasia besar. “Kau di kafe itu, duduk sendirian di sudut, menangis sambil mencoba menyembunyikan wajahmu di balik buku.” Amethyst tertawa kecil, meski masih tersipu malu. "Aku tidak menyangka ada yang memperhatikan," katanya, mencoba menutupi rasa malunya dengan memainkan ujung rambutnya. "Waktu itu aku sedang... ah, entahlah. Aku hanya merasa begitu hancur." Dominic tersenyum tipis, kali ini sedikit lebih hangat. “Dan aku tidak menyangka akan mendekati seseorang yang menangis di kafe. Itu bukan sesuatu yang biasanya kulakukan,” katanya, mengangkat bahu ringan. "Tapi... ada sesuatu tentangmu, sesuatu yang membuatku tidak bisa mengabaikanmu." Amethyst mengangkat alis, penasaran. “Apa yang kau katakan waktu itu?” Dominic mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, membuat Amethyst refleks mundur, tapi ia tertawa kecil. “Aku bilang, ‘Maaf, tapi kau membuat kopi di sini terasa lebih pahit dengan suasana murammu. Haruskah aku memesankan kue cokelat untukmu?’” Amethyst tertawa, kali ini lebih lepas. “Ya Tuhan, itu sangat memalukan!” Dominic tersenyum nakal. “Tapi berhasil, kan? Kau berhenti menangis, dan kau bahkan memarahiku. ‘Apa urusanmu? Saya cuma ingin sendiri,’ begitulah katamu, bukan?” Amethyst memukul bahu Dominic pelan, tapi tawa mereka bergema di ruangan. “Aku tidak percaya kau masih ingat!” "Tentu saja aku ingat," Dominic menjawab, suaranya berubah lembut. “Itu pertama kali aku melihatmu. Dan dari situ, aku tahu aku tidak akan puas hanya mengenalmu sepintas.” Amethyst memiringkan kepala, matanya mengerjap saat tatapan Dominic menjadi lebih serius. "Kau tahu... aku sebenarnya bersyukur kau mendekatiku waktu itu. Karena kalau tidak..." Ia menghentikan ucapannya, wajahnya memerah. Dominic menyentuh dagunya dengan lembut, mengangkatnya agar mata mereka bertemu. “Karena kalau tidak, aku tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya memiliki dunia di tanganku,” bisiknya sebelum mendekat, mengecup kening Amethyst lembut. Namun, di balik ciuman dan sentuhan lembut itu, Dominic menyembunyikan sesuatu yang lebih gelap. Tapi rahasia itu adalah miliknya. Sesuatu yang akan ia simpan sendiri, karena bagi Dominic, apa yang penting sekarang adalah kenyataan bahwa Amethyst ada di sisinya—dalam pelukannya.Seperti hari-hari sebelumnya, Dominic kembali datang dengan membawa seikat bunga mawar di tangannya. Dia tetap datang, mengabaikan omelan Michael yang sangat terganggu dengan kehadiannya. Michael melipat tangannya di dada dengan ekspresi muak melihat Dominic yang sudah datang pagi ini. "Kau berhasil membuat mood-ku jelek sepanjang hari dengan tampangmu yang sok keren itu," ocehnya kesal. Namun, Dominic hanya tersenyum, makin memperdalam kerutan di dahi Michael. "Kau hanya perlu menutup mata." Ucapan Dominic bak bensin yang mengguyur amarah Michael hingga berkobar. "Sialan! Jika bukan karena adikku, aku juga tidak sudi melihat tampang jelekmu. Apa ini salah satu pembuktianmu? dengan melakukan hal menggelikan ini setiap hari?" Michael menatap sinis pria yang duduk di depannya ini. Daominic menunduk untuk menyembunyikan seringainya. "Jika hal menggelikan ini bisa membuktikan keseriusanku, maka aku akan terus melakukannya." Iamengangkat wajahnya untuk menatap ekspresi sebal Michael.
Dominic bukanlah tipe orang yang mudah menyerah. Jika dulu ia akan melakukan apapun walaupun harus merusak, kini ia akan membuktikan kalau ia pun bisa mendapatkan apa yang ia mau dengan cara yang benar, tanpa menyakiti siapapun. Dan itu dimulai dari hal-hal kecil. Hari ini, Amethyst pulang berbelanja dikejutkan dengan keberadaan Dominic di depan pagar rumahnya. Pria itu berpenampilan rapi, mengenakan setelan jas navy, duduk di atas kapal mobilnya dengan keren. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Amethyst curiga. Dominic berdiri menghampirinya dengan senyum santai. "Menunggumu, tentu saja." Ia berinisiatif mengambil alih belanjaan Amethyst yang nampak berat. Amethyst menghela napas. "Sejak kapan?" Dominic melirik arlojinya. "Dua jam yang lalu. Pulang dari kantor aku langsung kesini." Matanya membelalak. "Kau gila? Kenapa tidak menghubungiku dulu jika mau mampir?" Dominic terkekeh. "Sebenarnya, aku ingin memberi kejutan untukmu, tapi dengan begini juga kau bisa melihat bet
Dominic melirik ponselnya yang terus bergetar di atas meja, menampilkan nama Michael Callahan yang terus menghubunginya akhir-akhir ini. "Angkat saja," celetuk Amethyst merasa gerah karena bunyinya getarannya sangat mengganggu. "Padahal kau yang melarang ku selama ini untuk berbicara dengan Michael."Amethyst mencebik, memilih fokus dengan tayangan televisi yang lebih menarik. Dominic mengacak singkat rambut Amethyst sebelum bangkit menuju balkon dengan ponsel yang masih bergetar di tangannya. “Ada apa?” tanya Dominic santai. “Aku ingin bertemu,” jawab Michael tanpa basa-basi. “Empat mata," sambungnya. Dominic mendesah pelan. “Apa kau ingin berdebat denganku seperti kemarin-kemarin? Atau kau ingin mengancam ku?"“Temui aku di cafe depan kantor kejaksaan. Aku tidak suka berbicara lewat telepon."Panggilan itu terputus begitu saja sebelum Dominic bisa membalas. Dominic menatap layar ponselnya yang menggelap. Ia merasa ada hal penting yang ingin Michael bicarakan dengannya, tapi a
"Bagaimana keadaan Ibu?" Amethyst meremas tangan Ibunya pelan. Ia merindukannya, lama tak bertemu membuatnya menyadari kalau sang Ibu kini makin berisi. "Kabar Ibu baik." Nyonya Callahan mengelus pipi Amethyst sayang. "Ibu lihat, wajahmu makin bersinar. Apa kau sedang dekat dengan seseorang?" Melihat pipi Amethyst yang merona, membuktikan kalau tebakannya pasti benar. "Kami hanya teman, bu ... untuk saat ini," ungkapnya malu-malu. Nyonya Callahan mengangkat alis, lalu tersenyum penuh arti. “Untuk saat ini, ya?” gumamnya, menatap putrinya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. Amethyst mengalihkan pandangannya, mencoba menyembunyikan kegugupan yang perlahan merayapinya. “Aku ingin melihat usahanya ... dan memantapkan hatiku untuk itu. Ibu pasti sudah mendengarnya dari kak Michael ya?” Sang ibu mengangguk pelan mengiyakan. "Apa ibu keberatan jika aku kembali dekat dengannya?" tanyanya ragu. Alasan ia belum berani bercerita tentang Dominic pada ibunya adalah takut dengan tanggapa
Dominic kembali terus menjalani terapinya dengan rutin. Kehadiran Amethyst memang sangat berefek untuk hidupnya. Sudah beberapa minggu Amethyst terus memantau perkembangannya. Menemaninya olahraga, memasak hidangan lezat dan sehat, mengajaknya mengobrol, dan semakin berani menegurnya jika ia kembali keterlaluan. "KAu terlihat semakin membaik," kata Dr. Eleanor memecah keheningan. Dominic mengangkat kepalanya untuk menatapnya. "Ya, aku punya mentor yang hebat," sahutnya dengan senyum tipis, membayangkan wajah galak Amethyst. Dr. Eleanor tersenyum kecil. “Aku bisa melihatnya. Kurasa kau sudah bisa meregulasi emosimu. Aku harap kau akan selalu seperti ini." "Tapi ingat ... kau harus menanamkan pada pemikiranmu kalau kau berubah bukan semata untuk menyenangkan pasanganmu, tapi kau berubah karena kau ingin menjadi pribadi yang lebih baik," lanjutnya tenang, memandang Dominic penuh apresiasi. Dominic menghela napas pelan. “Aku mencoba menahan diriku. Aku tidak lagi memaksanya melaku
Dominic menatap pintu ruangan di depannya dengan malas. Jika tak ada Amethyst, tentu saja Ia tak akan mau datang untuk melakukan sesi terapi. Dr. Eleanor menatapnya dengan senyum ramah saat Dominic masuk dan duduk di depannya. "Kau akhirnya mau datang kesini lagi ... setelah sekian lama. Permulaan yang bagus." Dominic mendengus. "Aku datang karena Amethyst memintaku." Dr. Eleanor mengangkat alisnya. "Dia masih punya pengaruh besar terhadapmu, ya?" Tangannya bergerak menulis sesuatu di jurnalnya. "Apa kalian kembali bersama?" tanyanya berbasa-basi. Dominic mengalihkan pandangannya. "Tidak bisa disebut seperti itu juga," ucapnya ambigu. Dr Eleanor menghela napas panjang. Memahami apa yang terjadi diantara mereka. Karena ia juga yang membantu Amethyst bangkit dari keterpurukan. "Jadi ... apa yang ingin kau ceritakan hari ini?" Dominic bersandar di kursinya dengan tatapan kosong mengarah ke langit-langit. "Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Beberapa hari terakhir … terasa
Sore itu, Dominic duduk di ruang tamu dengan sebuah majalah di tangannya. Harinya semakin ringan setelah Amethyst kembali datang ke hidupnya."Dia selalu mengusirku kalau aku mengikutinya memasak," keluhnya sedikit kesal.Matanya dengan resah melirik ke arah dapur. Berharap Amethyst segera selesai.Saat itulah, bel pintu berbunyi. Ini sedikit janggal. Karena semua orang yang ia percaya biasanya langsung masuk setelah ia beri akses kunci biometrik di pintunya."Siapa itu?" tanyanya dalam hati.Ia beranjak membuka pintu dan menemukan seorang pria yang berdiri tegang di pintu rumahnya.Dominic memandang datar tamu yang sangat mengejutkan untuknya. "Mau apa kau kemari, Hawthorn?"Aiden Hawthorn yang biasanya percaya diri, kini nampak gugup saat berhadapan dengan Dominic. Tapi, dia harus merasa harus meluruskan semuanya."KIta perlu bicara, Dominic," ucapnya tanpa basa-basi.Dominic menaikkan sebelah alisnya penasaran. "Masuk," katanya dingin.Mata Aiden berpendar ke seluruh penjuru ruanga
Dominic duduk diam di ruang tamu terapis datang. Sejak tadi tangannya terus menggenggam Amethyst. Rasa takut, gugup, dan cemas membuatnya gusar. Amethyst memberikan senyuman untuk menguatkannya. "Kau tidak sendiri, Dominic." Dominic hanya mengangguk kecil. Kalimat Amethyst tak berhasil meredakan kegugupannya. "Apa ini akan berhasil?" tanyanya skeptis. “Tidak ada yang tahu,” jawab Amethyst jujur. “Tapi kau harus mencobanya, Dominic. Ini bukan hanya tentangmu ... ini juga tentang kita. ” "Kau tidak akan meninggalkanku, kan?" tanya Dominic memastikan. Dia tak bisa melalui proses ini jika tanpa Amethyst di sampingnya. Melihat ekspresi Dominic yang seperti anak kecil sedikit menimbulkan geli di hatinya. “Selalu," katanya dengan senyum lembut. --- "Selamat siang, Tuan Dominic." Dokter Eleanor tersenyum melihat keduanya tampak akur. "Lama tidak bertemu, Amethyst," sapanya ramah. "Siang, dok. Saya di sini menemani Dominic." Amethyst merasa sungkan. "Tidak apa, kulihat Tuan Do
Amethyst berdiri di depan Villa Dominic dengan napas tertahan. Ia berkali-kali meyakinkan dirinya untuk tetap datang ke sini dan mengesampingkan masa lalu. Ketika ia membuka pintu, Dominic telah berdiri menyambutnya dengan senyum diwajahnya. Pria itu masih terlihat rapuh, tapi sorot matanya terlihat bersinar kali ini. “Kau datang lagi,” gumam Dominic dengan senang. Amethyst tersenyum tipis menghampiri Dominic perlahan. “Aku sudah bilang padamu kalau aku akan membantumu. Tidak mungkin aku ingkar.” Dominic tersenyum saat lengannya digandeng. Mereka masuk ke ruang keluarga yang sepi, namu terasa hangat bagi Dominic karena kedatangan Amethyst. “Kau sudah makan?” tanya Amethyst sambil melirik secangkir kopi hitam yang sudah tandas setengahnya. Dominic menggeleng pelan. “Belum terlalu lapar.” Amethyst mendesah. “Dominic ... kau harus menjaga dirimu. jangan biasakan untuk minum kafein sebelum makan," omelnya. "Apa butuh aku untuk mengatur segala urusanmu?" tanya Amethyst sebal. Dom