Pagi itu, sinar matahari masuk melalui tirai tipis apartemen Amethyst, menerangi ruangan dengan lembut. Udara masih dingin setelah hujan deras semalam. Dominic terbangun lebih dulu. Dengan hati-hati, dia melepaskan pelukan dari tubuh Amethyst yang masih tertidur lelap di sebelahnya. Wajahnya yang tenang setelah malam penuh kecemasan membuat Dominic merasa lega. Dia menatapnya sejenak, membelai rambut Amethyst dengan penuh kasih sebelum akhirnya bangkit dari tempat tidur.
Dominic mengenakan kaus polos dan celana pendek sederhana, tampak berbeda dari sosok pria formal dan berkarisma yang biasa dikenali orang lain. Dia menuju dapur, memutuskan untuk menyiapkan sarapan sederhana: roti panggang dengan telur orak-arik dan kopi untuk dirinya sendiri, sementara secangkir teh hangat untuk Amethyst. Saat aroma teh dan roti panggang memenuhi apartemen, Amethyst mulai terbangun. Matanya terbuka perlahan, dan untuk beberapa detik ia hanya menatap langit-langit, mengingat sisa-sisa malam sebelumnya. Suara langkah kaki Dominic membawanya kembali ke kenyataan. Dominic muncul dengan nampan berisi sarapan, senyumnya tipis tapi penuh perhatian. “Selamat pagi, cantik,” sapanya dengan nada lembut. Ia meletakkan nampan di meja kecil di samping tempat tidur. Amethyst tersenyum lemah, rasa syukur mengalir di hatinya. “Pagi... Terima kasih,” jawabnya, suaranya serak tapi hangat. Dominic duduk di tepi tempat tidur, memandangnya penuh perhatian. “Bagaimana perasaanmu? Sudah lebih baik?” tanyanya. Amethyst mengangguk. “Ya, jauh lebih baik. Aku merasa... lebih ringan.” Setelah sarapan bersama, Dominic kembali ke sofa di ruang tamu. Ia membuka laptopnya, mulai tenggelam dalam pekerjaan yang sepertinya tak pernah habis. Amethyst memperhatikannya dari dapur, menyeduh teh tambahan untuk dirinya sendiri. Ada sesuatu yang aneh tapi menenangkan dalam melihat Dominic, pria dengan aura dominan dan keras di luar, terlihat santai bekerja di apartemennya. Ketika sore menjelang, Amethyst mendekatinya, membawa dua cangkir teh. Dominic menerima cangkirnya sambil menatap Amethyst yang kini duduk di sebelahnya. “Kau terlihat jauh lebih cerah hari ini,” katanya dengan nada menggoda. Amethyst tertawa kecil. “Itu karena aku tidak sendirian. Terima kasih sudah ada di sini semalam.” Dominic menatapnya dalam, matanya mengunci pada Amethyst seperti tidak ingin melepaskannya. “Aku akan selalu ada di sini, Amethyst. Kau harus tahu itu.” Amethyst terdiam sejenak, jemarinya bermain di tepi cangkir. Dominic menyadari perubahan raut wajahnya. “Apa yang kau pikirkan?” tanyanya. “Masa kecilku,” Amethyst akhirnya menjawab pelan. “Dan... kejadian beberapa bulan yang lalu.” Dominic mendekat, meletakkan cangkirnya di meja. “Ceritakan padaku,” katanya lembut, tapi tegas, seolah memberikan Amethyst izin untuk melepaskan beban yang selama ini dipendamnya. Amethyst menarik napas panjang. “Ayahku... dia selalu mabuk. Ketika aku kecil, aku sering berharap dia akan berubah, tapi itu tak pernah terjadi. Ibuku mencoba melindungiku, tapi dia sendiri terlalu lemah. Aku ingat betapa seringnya aku merasa sendirian, bahkan ketika ada orang lain di sekitarku.” Suasana hening sejenak. Dominic menggenggam tangan Amethyst, memberinya keberanian untuk melanjutkan. “Beberapa bulan lalu, aku memutuskan untuk meninggalkan rumah. Ayahku sudah tiada, tapi bayangannya tetap menghantui kami. Michael, kakakku, yang tinggal di rumah nenek sejak kecil memilih tak mau tau. Aku tidak bisa. Aku merasa rumah itu penuh dengan luka yang terus mengingatkanku pada rasa sakit.” Amethyst berhenti sejenak, air mata mulai menggenang di matanya. Dominic meremas tangannya pelan, memberi tanda bahwa ia tidak perlu buru-buru. “Ada satu malam...” Amethyst melanjutkan dengan suara bergetar. “Aku sendirian di rumah. Hujan deras, seperti semalam. Aku mendengar suara, seperti ayahku yang marah-marah. Aku tahu itu hanya di kepalaku, tapi rasanya begitu nyata. Aku tidak bisa tidur. Aku hanya duduk di sudut kamar, seperti anak kecil yang ketakutan lagi. Itu malam terakhirku di rumah. Keesokan harinya, aku pindah ke apartemen ini.” Dominic mengangguk pelan, memahami setiap kata yang Amethyst ucapkan. Wajahnya tegang, tapi sorot matanya tetap lembut. “Kau sudah melalui begitu banyak, Amethyst. Tapi kau masih berdiri di sini. Itu yang membuatmu luar biasa.” Amethyst tersenyum kecil, air mata mengalir di pipinya. “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika aku tidak bertemu denganmu, Dominic.” Dominic menariknya ke dalam pelukan, membiarkan kepala Amethyst bersandar di dadanya. “Kau tidak perlu memikirkan itu. Kau milikku sekarang. Dan aku tidak akan pernah membiarkanmu menghadapi apa pun sendirian lagi.” Hening meliputi mereka berdua, hanya suara detak jantung Dominic yang terdengar di telinga Amethyst. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Amethyst merasa benar-benar aman.Seperti hari-hari sebelumnya, Dominic kembali datang dengan membawa seikat bunga mawar di tangannya. Dia tetap datang, mengabaikan omelan Michael yang sangat terganggu dengan kehadiannya. Michael melipat tangannya di dada dengan ekspresi muak melihat Dominic yang sudah datang pagi ini. "Kau berhasil membuat mood-ku jelek sepanjang hari dengan tampangmu yang sok keren itu," ocehnya kesal. Namun, Dominic hanya tersenyum, makin memperdalam kerutan di dahi Michael. "Kau hanya perlu menutup mata." Ucapan Dominic bak bensin yang mengguyur amarah Michael hingga berkobar. "Sialan! Jika bukan karena adikku, aku juga tidak sudi melihat tampang jelekmu. Apa ini salah satu pembuktianmu? dengan melakukan hal menggelikan ini setiap hari?" Michael menatap sinis pria yang duduk di depannya ini. Daominic menunduk untuk menyembunyikan seringainya. "Jika hal menggelikan ini bisa membuktikan keseriusanku, maka aku akan terus melakukannya." Iamengangkat wajahnya untuk menatap ekspresi sebal Michael.
Dominic bukanlah tipe orang yang mudah menyerah. Jika dulu ia akan melakukan apapun walaupun harus merusak, kini ia akan membuktikan kalau ia pun bisa mendapatkan apa yang ia mau dengan cara yang benar, tanpa menyakiti siapapun. Dan itu dimulai dari hal-hal kecil. Hari ini, Amethyst pulang berbelanja dikejutkan dengan keberadaan Dominic di depan pagar rumahnya. Pria itu berpenampilan rapi, mengenakan setelan jas navy, duduk di atas kapal mobilnya dengan keren. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Amethyst curiga. Dominic berdiri menghampirinya dengan senyum santai. "Menunggumu, tentu saja." Ia berinisiatif mengambil alih belanjaan Amethyst yang nampak berat. Amethyst menghela napas. "Sejak kapan?" Dominic melirik arlojinya. "Dua jam yang lalu. Pulang dari kantor aku langsung kesini." Matanya membelalak. "Kau gila? Kenapa tidak menghubungiku dulu jika mau mampir?" Dominic terkekeh. "Sebenarnya, aku ingin memberi kejutan untukmu, tapi dengan begini juga kau bisa melihat bet
Dominic melirik ponselnya yang terus bergetar di atas meja, menampilkan nama Michael Callahan yang terus menghubunginya akhir-akhir ini. "Angkat saja," celetuk Amethyst merasa gerah karena bunyinya getarannya sangat mengganggu. "Padahal kau yang melarang ku selama ini untuk berbicara dengan Michael."Amethyst mencebik, memilih fokus dengan tayangan televisi yang lebih menarik. Dominic mengacak singkat rambut Amethyst sebelum bangkit menuju balkon dengan ponsel yang masih bergetar di tangannya. “Ada apa?” tanya Dominic santai. “Aku ingin bertemu,” jawab Michael tanpa basa-basi. “Empat mata," sambungnya. Dominic mendesah pelan. “Apa kau ingin berdebat denganku seperti kemarin-kemarin? Atau kau ingin mengancam ku?"“Temui aku di cafe depan kantor kejaksaan. Aku tidak suka berbicara lewat telepon."Panggilan itu terputus begitu saja sebelum Dominic bisa membalas. Dominic menatap layar ponselnya yang menggelap. Ia merasa ada hal penting yang ingin Michael bicarakan dengannya, tapi a
"Bagaimana keadaan Ibu?" Amethyst meremas tangan Ibunya pelan. Ia merindukannya, lama tak bertemu membuatnya menyadari kalau sang Ibu kini makin berisi. "Kabar Ibu baik." Nyonya Callahan mengelus pipi Amethyst sayang. "Ibu lihat, wajahmu makin bersinar. Apa kau sedang dekat dengan seseorang?" Melihat pipi Amethyst yang merona, membuktikan kalau tebakannya pasti benar. "Kami hanya teman, bu ... untuk saat ini," ungkapnya malu-malu. Nyonya Callahan mengangkat alis, lalu tersenyum penuh arti. “Untuk saat ini, ya?” gumamnya, menatap putrinya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. Amethyst mengalihkan pandangannya, mencoba menyembunyikan kegugupan yang perlahan merayapinya. “Aku ingin melihat usahanya ... dan memantapkan hatiku untuk itu. Ibu pasti sudah mendengarnya dari kak Michael ya?” Sang ibu mengangguk pelan mengiyakan. "Apa ibu keberatan jika aku kembali dekat dengannya?" tanyanya ragu. Alasan ia belum berani bercerita tentang Dominic pada ibunya adalah takut dengan tanggapa
Dominic kembali terus menjalani terapinya dengan rutin. Kehadiran Amethyst memang sangat berefek untuk hidupnya. Sudah beberapa minggu Amethyst terus memantau perkembangannya. Menemaninya olahraga, memasak hidangan lezat dan sehat, mengajaknya mengobrol, dan semakin berani menegurnya jika ia kembali keterlaluan. "KAu terlihat semakin membaik," kata Dr. Eleanor memecah keheningan. Dominic mengangkat kepalanya untuk menatapnya. "Ya, aku punya mentor yang hebat," sahutnya dengan senyum tipis, membayangkan wajah galak Amethyst. Dr. Eleanor tersenyum kecil. “Aku bisa melihatnya. Kurasa kau sudah bisa meregulasi emosimu. Aku harap kau akan selalu seperti ini." "Tapi ingat ... kau harus menanamkan pada pemikiranmu kalau kau berubah bukan semata untuk menyenangkan pasanganmu, tapi kau berubah karena kau ingin menjadi pribadi yang lebih baik," lanjutnya tenang, memandang Dominic penuh apresiasi. Dominic menghela napas pelan. “Aku mencoba menahan diriku. Aku tidak lagi memaksanya melaku
Dominic menatap pintu ruangan di depannya dengan malas. Jika tak ada Amethyst, tentu saja Ia tak akan mau datang untuk melakukan sesi terapi. Dr. Eleanor menatapnya dengan senyum ramah saat Dominic masuk dan duduk di depannya. "Kau akhirnya mau datang kesini lagi ... setelah sekian lama. Permulaan yang bagus." Dominic mendengus. "Aku datang karena Amethyst memintaku." Dr. Eleanor mengangkat alisnya. "Dia masih punya pengaruh besar terhadapmu, ya?" Tangannya bergerak menulis sesuatu di jurnalnya. "Apa kalian kembali bersama?" tanyanya berbasa-basi. Dominic mengalihkan pandangannya. "Tidak bisa disebut seperti itu juga," ucapnya ambigu. Dr Eleanor menghela napas panjang. Memahami apa yang terjadi diantara mereka. Karena ia juga yang membantu Amethyst bangkit dari keterpurukan. "Jadi ... apa yang ingin kau ceritakan hari ini?" Dominic bersandar di kursinya dengan tatapan kosong mengarah ke langit-langit. "Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Beberapa hari terakhir … terasa
Sore itu, Dominic duduk di ruang tamu dengan sebuah majalah di tangannya. Harinya semakin ringan setelah Amethyst kembali datang ke hidupnya."Dia selalu mengusirku kalau aku mengikutinya memasak," keluhnya sedikit kesal.Matanya dengan resah melirik ke arah dapur. Berharap Amethyst segera selesai.Saat itulah, bel pintu berbunyi. Ini sedikit janggal. Karena semua orang yang ia percaya biasanya langsung masuk setelah ia beri akses kunci biometrik di pintunya."Siapa itu?" tanyanya dalam hati.Ia beranjak membuka pintu dan menemukan seorang pria yang berdiri tegang di pintu rumahnya.Dominic memandang datar tamu yang sangat mengejutkan untuknya. "Mau apa kau kemari, Hawthorn?"Aiden Hawthorn yang biasanya percaya diri, kini nampak gugup saat berhadapan dengan Dominic. Tapi, dia harus merasa harus meluruskan semuanya."KIta perlu bicara, Dominic," ucapnya tanpa basa-basi.Dominic menaikkan sebelah alisnya penasaran. "Masuk," katanya dingin.Mata Aiden berpendar ke seluruh penjuru ruanga
Dominic duduk diam di ruang tamu terapis datang. Sejak tadi tangannya terus menggenggam Amethyst. Rasa takut, gugup, dan cemas membuatnya gusar. Amethyst memberikan senyuman untuk menguatkannya. "Kau tidak sendiri, Dominic." Dominic hanya mengangguk kecil. Kalimat Amethyst tak berhasil meredakan kegugupannya. "Apa ini akan berhasil?" tanyanya skeptis. “Tidak ada yang tahu,” jawab Amethyst jujur. “Tapi kau harus mencobanya, Dominic. Ini bukan hanya tentangmu ... ini juga tentang kita. ” "Kau tidak akan meninggalkanku, kan?" tanya Dominic memastikan. Dia tak bisa melalui proses ini jika tanpa Amethyst di sampingnya. Melihat ekspresi Dominic yang seperti anak kecil sedikit menimbulkan geli di hatinya. “Selalu," katanya dengan senyum lembut. --- "Selamat siang, Tuan Dominic." Dokter Eleanor tersenyum melihat keduanya tampak akur. "Lama tidak bertemu, Amethyst," sapanya ramah. "Siang, dok. Saya di sini menemani Dominic." Amethyst merasa sungkan. "Tidak apa, kulihat Tuan Do
Amethyst berdiri di depan Villa Dominic dengan napas tertahan. Ia berkali-kali meyakinkan dirinya untuk tetap datang ke sini dan mengesampingkan masa lalu. Ketika ia membuka pintu, Dominic telah berdiri menyambutnya dengan senyum diwajahnya. Pria itu masih terlihat rapuh, tapi sorot matanya terlihat bersinar kali ini. “Kau datang lagi,” gumam Dominic dengan senang. Amethyst tersenyum tipis menghampiri Dominic perlahan. “Aku sudah bilang padamu kalau aku akan membantumu. Tidak mungkin aku ingkar.” Dominic tersenyum saat lengannya digandeng. Mereka masuk ke ruang keluarga yang sepi, namu terasa hangat bagi Dominic karena kedatangan Amethyst. “Kau sudah makan?” tanya Amethyst sambil melirik secangkir kopi hitam yang sudah tandas setengahnya. Dominic menggeleng pelan. “Belum terlalu lapar.” Amethyst mendesah. “Dominic ... kau harus menjaga dirimu. jangan biasakan untuk minum kafein sebelum makan," omelnya. "Apa butuh aku untuk mengatur segala urusanmu?" tanya Amethyst sebal. Dom