Selang beberapa menit kemudian, Ibu paruh baya tadi telah kembali. Di tangannya membawa nampan yang berisikan cangkir teh."Silahkan diminum dulu." Lagi dan lagi, aku pun menuruti ucapan Ibu tua tersebut. Sekilas aku memperhatikan wajahnya yang sangat ayu dan juga ramah."Jadi, kamu siapanya Nining? Dan ada urusan apa dengan Nining?" Tanyanya, memulai pembicaraan."Hhmm … saya, saya kakaknya Nining, Bu," seketika Ibu paruh baya itu terkejut mendengar penuturanku barusan."Kakaknya? Kok saya baru tau ya? Kalau Nining ternyata punya Kakak," ujarnya lagi, agak bingung."Iya, Bu. Saya memang jarang bertemu dengan Nining. Oh iya, Niningnya mana ya, Bu? Saya ada perlu dengan Nining," jawabku langsung to the point."Niningnya lagi nggak ada di rumah. Dia sedang pergi bersama anak dan juga suaminya. Tapi tadi dia berpesan sama saya, katanya kalau kamu ada pesan, sampaikan saja sama saya," aku tercekat dengan penuturan Ibu paruh baya yang sedang duduk di depanku ini.Sebenarnya Nining itu kerj
"Jadi Ibu, adalah Ibunya Adnan? Bukannya Ibunya Adnan sudah meninggal ya?" Tanyaku langsung karena penasaran."Iya, saya istrinya yang sekarang. Dan saya mempunyai anak laki-laki yang bernama Arham. Dan Arham mempunyai istri yang bernama Lila. Apa kamu kenal dengan Lila?" Bebernya, dan cukup membuat aku shock.'Lila? Jadi, Nining dan Lila sekarang jadi saudara? Dan ini? Ini adalah rumah Ayahnya Adnan? Ya ampun! Ternyata Adnan keturunan orang kaya! Si*l, kenapa hidup Nining selalu aja beruntung sih? Kenapa sekarang malah aku yang harus ketiban sial! Sudah diselingkuhi, dan sekarang malah usaha Bang Arman semakin merosot tajam dan hampir bangkrut. Arrgghh! Pokoknya aku nggak terima, nggak terima!' Pekikku dalam hati. Tak terima dengan semua kenyataan yang ada di dalam cerita ini. Setelah tau dengan cerita yang sebenarnya. Aku pun berpamitan pulang pada ibunya Adnan. Tak disangkal, bahwa kini hatiku semakin terasa gundah saja.****Sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya aku memikirkan
Apaan! Boro-boro dinikahin! Dia aja belum mau cerai sama istrinya. Huft! Mas! Kamu keluar dong, Mas! Kenapa malah ndekem di dalam sih?" Irna semakin kesal. Dan melangkahkan kaki menuju ke arah mobilnya lagi. Segera aku mengikutinya, penasaran juga, kenapa calon suaminya malah ngumpet. Apa aku kenal ya? Jadinya suaminya malu ketemu aku?Irna segera membuka pintu mobil, dan aku masih setia nengekorinya dari belakang. Penasaran juga kan jadinya. "Mas! Keluar dong! Di dalem aja ih! Ini gimana mobil aku jadi rusak gara-gara ditabrak si Mbak ini? Huh!" Aku menghembuskan nafas gusar. Aneh aja melihat tingkah absurd Irna.Tak lama, karena mungkin dia kesal. Dia berusaha menarik calon suaminya dari dalam mobil. Dan ternyata …."Bang Arman?!" Sontak saja aku langsung berteriak. Sedangkan Bang Arman hanya menunduk."Kamu kenal sama calon suami aku?" Dia malah bertanya balik padaku."Dia itu suami aku, Mbak! Bang Arman, kamu tega tau nggak! Kamu nggak mikirin perasaan anak-anak kamu. Kamu tega!"
Hati ini benar-benar telah hancur sampai tak berbentuk lagi. Seketika aku jadi teringat keluargaku, yang telah lama kusia-siakan. Ibu, Ayah, dan juga Nining.Entah kenapa, seakan memori berputar lagi memenuhi isi kepalaku. Ibu, sebenarnya dia selalu menyayangi anak-anaknya, tapi memang lebih cenderung sayang ke Nining. Tapi Ibu tetap saja peduli dan perhatian padaku. Sedangkan Ayah juga sama. Dia malah bahkan lebih sayang denganku. Dan aku juga merasakan itu semua. Tapi, kenapa diri ini sampai tega menghabisinya ya Allah? Aku sangat-sangat berdosa dengan Ayah. Semua kulakukan agar aku dapat mewujudkan mimpiku untuk menjadi orang kaya. Yaitu menikah dengan Bang Arman. Setelah bertengkar hebat dengan Bang Arman. Aku memutuskan untuk tidur di kamar tamu. Sedangkan Bang Arman tidur di kamar utama.Seakan anak-anak tau tentang pertengkaran kedua orang tuanya, mereka tak menghampiri aku sama sekali. 'Maafin Mama, Nak. Hati ini benar-benar lagi kacau' sesalku dalam hati.****Tak terasa ak
Karena aku merasa jenuh di rumah sendirian saja. Kuputuskan untuk segera menyusul anak-anak ke rumah Mamanya Bang Arman.****Sesampainya di rumah Mama. Aku melihat ada beberapa mobil berjejeran di teras rumah Mama mertuaku. Sedang ada acara apalagi ini? Kenapa aku tak diberitahu sama sekali?Karena rasa penasaran yang sudah tak terbendung. Segera aku melangkahkan kaki menuju ke dalam rumah Mama. Langkahku terhenti, saat melihat Bang Arman sedang duduk bersama Mama mertuaku dan juga ada Irna bersama dengan orang yang sepertinya orang tuanya. Nafas di kerongkongan seperti tercekat rasanya. Karena melihat pemandangan ini. Sedang apa mereka semua berkumpul disini? Apa mungkin mereka berdua akan melaksanakan lamaran lalu menikah? Tak terasa air mata ini akhirnya menetes tak tertahankan juga.Mereka semua belum sadar kalau ada aku yang sedang berdiri di dekat pintu. Karena mereka semua sedang asyik bercengkrama dan bersenda gurau dengan riangnya. Keluarga Bang Arman dan juga keluarga I
-Lastri"Kalau aku … mau aja sih, Mah, Pah. Asal nanti setelah kita menikah, Mas Arman harus cepat-cepat menyingkirkan si Lastri. Aku mau jadi satu-satunya istri kamu." kini Irna menjawab dengan nada yang selembut mungkin dan dibuat-buat. Membuat aku semakin jijik padanya. Cuih! Dasar wanita j*l*ng! Awas saja kau, Ir! Aku akan membuat kalian semua menderita.Sebisa mungkin aku menetralkan perasaanku. Tak ingin semuanya menjadi kacau. Akan kususun rencana agar bisa menghancurkan mereka semua. Awas saja kau, Bang!****Aku kini tak tau mau kemana lagi. Sepanjang perjalanan hati ini terasa sangat kalut sekali. Ada rasa sesal, sedih, dan tak berguna sama sekali. Haruskah aku berpisah dari Bang Arman? Ataukah aku harus tetap bertahan demi anak-anak dan juga demi semuanya.Jujur saja, aku benar-benar belum siap untuk kembali seperti dulu. Menjadi orang miskin lagi, bukanlah tujuan hidupku. Aku ingin terus menjadi orang kaya, yang tak bisa diremehkan oleh siapapun.Tiba-tiba saja hati ini ke
Iya. Ya udah, kamu mau masuk dulu atau nggak? Biar enak ngobrol di dalem," tawarnya lagi."Aku langsung ke toko kue Nining aja, Bu. Boleh minta alamatnya kan?" Jawabku."Ok, sebentar ya?" Aku pun mengangguk. Dan Bu Rania menyuruh Pak Satpam untuk menuliskan alamat toko kue Nining di kertas selembar.Setelah menerima alamat toko kue Nining. Aku segera berpamitan pada Ibu berwajah teduh tersebut. Seketika hati ini merindukan Ibu kandungku yang telah lama pergi. Tekstur wajahnya mirip sekali dengan Ibu. Berwajah teduh dan menghangatkan. Dan juga ramah sekali. Tak ada kesan sombong di dalam dirinya, padahal dia mempunyai rumah yang begitu mewah.****Sepanjang perjalanan aku terus memikirkan tentang hidup adikku yang kini kunjung berubah, roda memang pasti akan berputar. Cepat atau lambat semua akan di masanya masing-masing. Semua akan berubah seiring dengan berjalannya waktu.Dulu, Nining selalu saja ku hina, bahkan saat dia ingin meminjam uang pun tak kuberikan. Entah kenapa aku begit
"Iya. Kamu kenapa sih nggak mau angkat telepon dariku? Mentang-mentang sekarang udah jadi orang kaya, terus jadi sombong ya?" Cercaku langsung. Karena entah kenapa hati ini langsung panas saat melihat penampilan adikku yang sudah berubah drastis.Nining yang berada di depanku sekarang, seperti seorang wanita karir yang profesional. Nining memakai rok plisket berwarna putih yang dipadukan dengan cardigan rajut berwarna hijau mint yang senada dengan pashmina yang menutupi kepalanya.Nining yang sekarang, tampak jauh lebih awet muda. Kulitnya juga tak terlalu coklat lagi. Agak berubah menjadi kuning langsat. Dia juga kini memakai kacamata yang menghiasi matanya. Benar-benar tampil beda sekali, adikku yang satu ini."Maaf Kak. Aku memang belakangan ini sedang sibuk sekali. Tadi itu bukannya aku nggak mau angkat telepon dari Kakak. Tapi karena aku memang sedang berada di dalam pabrik roti bersama Mbak Lila. Dan aku tak memegang hp, karena ponselku memang aku taruh di loker," jelasnya panja