"Aaaarrrrgggghhhh!!!" Teriakku sekencang mungkin, sambil menangis meratapi semua ini.Aku benar-benar bingung harus bagaimana. Kenapa semua cobaan datang bertubi-tubi padaku Ya Allah? Kenapa semua ini terasa berat sekali?Aku pun mencoba kembali menghubungi Bang Arman. Semoga saja dia mau mengangkat telepon dariku. Ttuuutt … ttuuuttt … panggilan tersambung, tapi tak diangkat oleh si pemilik telepon. Karena perasaan yang benar-benar kacau. Mau tak mau akhirnya kuputuskan untuk pergi ke rumah Mama mertuaku.Walaupun sejujurnya perasaan ini tak dapat dibohongi. Yaitu aku sangat muak sekali dengan sikapnya yang pura-pura baik. Padahal semua itu hanya kebohongan belaka.****Sesampainya disana, aku melihat rumah dalam keadaan sepi. Mungkin saja Mama mertua sedang tidur siang. Begitupun dengan anak-anakku.Tok! Tok! Tok!"Mah, Mama." Panggilku, sambil mengetuk pintu berulang kali.Tak lama pintu pun akhirnya dibuka. Dan ternyata yang membuka adalah Mbok Rum. Dia asisten rumah tangga yang b
"Ma-maaf, Mah. Aku tadi ngantuk banget," jawabku menunduk. Berharap wanita tua di depanku ini tak marah-marah lagi."Kamu kenal sama Bu Parni?" Sontak aku langsung terkejut, saat mendengar Mama menyebut Mbok Parni."Kenapa diam? Kamu kaget? Kamu shock? Kamu takut ketahuan belang kamu iya?" Hardiknya sinis."Maksud Mama apa?" "Alah! Udah nggak usah pura-pura! Saya udah tahu siapa kamu! Tega ya kamu, sudah sekian lama membohongi saya. Apa maksud kamu menikah dengan Arman? Sampai-sampai kamu berani-beraninya menyembunyikan jati diri kamu sendiri? Hah?!" Tanyanya murka. Wajahnya juga sudah memerah. Seketika nyali ini menciut saat melihat sikapnya."Maafin aku, Mah. Maafin aku. Aku mohon maafin aku. Aku benar-benar nggak ada maksud apa-apa. Dan nggak ada niat sedikitpun untuk membohongi Mama. Aku seperti ini atas saran Bang Arman. Katanya agar Mama dan Papa mau menerimaku sebagai menantu. Maafin aku, Mah. Hiks." Terpaksa aku merendahkan diri. Memohon di hadapannya. Dan juga berlutut di ka
Karena beban yang teramat berat yang kutanggung sendirian. Akhirnya tubuh ini merasa melayang dan rumah ini terasa berputar dengan kencangnya. Sampai akhirnya aku tak ingat apa-apa lagi.Hanya suara Mama saja yang terdengar sebentar, sebelum aku benar-benar tak sadarkan diri.****Pov ArmanSudah hampir dua hari aku sibuk mengurusi rencana pernikahanku dengan Irna. Cinta lamaku yang belum kelar. Kehadiran Irna membuat hati ini yang awalnya gersang, berubah menjadi subur kembali. Irna lebih segala-galanya daripada Lastri. Dia juga keturunan dari orang berada. Dan nanti setelah menikah, kami akan bekerja sama untuk memajukan perusahaanku.Semua berawal dari sifatku yang memang tak pernah puas dengan satu wanita saja. Saat aku sudah menikah dengan Lastri pun, aku masih ingin merasakan kehangatan-kehangatan wanita lainnya. Dan mungkin saja itu sudah menjadi kebiasaanku.Sampai pada akhirnya, aku tak sengaja menghamili Echa. Echa adalah kekasihku yang kesekian. Dan entah kenapa aku mala
(Hallo, Arman. Hari ini kita akan bertemu dengan Pak Wijaya lagi. Tapi kita akan bertemu di rumahnya Pak Wijaya. Karena beliau sedang tak enak badan.) "Ok, Baik Pak. Saya akan segera bersiap-siap untuk menjemput Bapak, lalu menuju ke rumah Pak Wijaya." Ini kali pertama aku akan berkunjung ke rumah Pak Wijaya. Orang yang mau bekerjasama denganku. Dan si penelepon tadi adalah partner kerjaku. Beliau benar-benar orang yang baik, dia mau menolongku disaat perusahaanku yang hampir kolaps. Kini, aku sedang menuju ke rumah Pak Wijaya. Karena kami akan melakukan kerjasama dan juga menandatangani perjanjian kontrak.Beberapa menit kemudian, akhirnya kami sampai di depan rumah Pak Wijaya. Rumahnya besar sekali, lebih besar dari rumah Mama. Dan ini membuktikan betapa tajirnya Pak Wijaya.Segera ku langkahkan kaki, diikuti oleh partner kerjaku, yaitu Pak Dimas. Kami berdua dipersilahkan masuk oleh asisten rumah tangganya. Dan kami pun duduk di ruang tamu yang nampak megah sekali. Sedangkan si
Selama sedang berbincang-bincang dengan Pak Wijaya, aku sama sekali tak terlalu merespon. Karena pikiranku benar-benar terbagi pada kehadiran Nining barusan.Apa mungkin aku harus bekerjasama dengan Pak Wijaya? Apa dia mau untuk tetap bekerja sama denganku, saat dia tau kalau aku adalah orang yang telah menyakiti Adnan dan juga Lila? "Pak Arman? Kenapa? Sepertinya anda kurang memperhatikan saya berbicara?" Tiba-tiba tegur Pak Wijaya."Eh, hhmm ... Ma-maaf Pak. Sa-saya juga memang sedang tak enak badan," jawabku gugup, lalu menunduk. Karena Pak Wijaya menatapku dalam."Kalau sedang tak enak badan. Kenapa harus dipaksakan Pak? Kan bisa besok-besok kemarinya?" Ucapnya lagi."Ma-maaf Pak. Maaf sekali lagi." Jawabku pasrah. Karena aku tau sekali dengan karakter Pak Wijaya. Beliau paling tak suka kalau sedang berbicara dengan seseorang, tapi orang tersebut malah tak menyimaknya dengan baik.Kami pun akhirnya sama-sama terdiam. Hendra--partner kerjaku, dia juga hanya terdiam. Tak membelaku
Satu jam kemudian. Aku dan Hendra akhirnya berpamitan untuk pulang ke rumah. Karena urusan kami telah selesai. Untuk beberapa bulan kedepan, aku akan melakukan kerjasama dengan Pak Wijaya dan juga Adnan.Sikap Adnan sama sekali tak menunjukkan dendam padaku. Malah seakan dia bersikap tidak terjadi apa-apa. Jujur saja, dalam hati aku malu sekali, karena sikapku yang dulu-dulu pada Adnan dan Nining.****Waktu sudah menjelang senja. Aku kini sudah sampai di rumah Mama. "Assalamualaikum,""Waalaikumsalam, udah pulang kamu, Man? Gimana hasilnya?" Mama langsung mencercaku."Alhamdulillah Pak Wijaya mau kerjasama, Mah.""Syukurlah. Setelah ini kamu harus urus semua surat-surat perceraianmu dengan Lastri. Karena Mama sudah muak dengan anak itu. Kenapa dia sampai tega membohongi Mama dan menutupi jati dirinya sendiri?" Ujar Mama yang lagi-lagi membahas soal Lastri.Ya, Mama memang sudah mengetahui semuanya tentang jati diri istriku itu. Dan seperti yang sudah kuduga, bahwa Mama akan menyur
"I-iya Mah." "Kenapa? Kan Mama udah bilang sama kamu Arman, kalau menikah itu jangan sama orang miskin! Kamu bakalan kena susahnya. Sekarang lihat kan? Kamu jadi susah karena menikah dengan dia!" Hardik Mama, yang sudah terlihat kesal sekali dengan Lastri.Aku terdiam, bingung mau bicara apalagi. Karena aku sangat tau watak Mama seperti apa. Kalau sudah bicara, tak mau dibantah."Kenapa kalian cuma diam saja? Coba jawab, kenapa rumahmu sampai disita?" Mama mengulangi pertanyaannya lagi."A-aku punya hutang Mah. Jadi rumah beserta isinya yang diambil oleh rentenir tempat aku meminjam uang," Mama shock. Beliau hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja."Pilihan kamu cuma dua, Arman! Kamu tinggalin Lastri dan tinggal disini bersama Mama dan juga anak-anak. Atau jika kamu tetap nggak mau meninggalkan Lastri, kamu harus pergi dari rumah ini. Bawa juga anak-anakmu sekalian! Biar kalian tinggal di jalan sekalian! Mama nggak mau menanggung hidup kalian." Mataku sontak langsung melotot. Begit
"Terimakasih banyak Bang. Kamu sudah membelaku di depan Mama, semoga kita bisa ngelewatin semua ini bersama-sama lagi ya?" Ucap Lastri, saat kami sedang duduk di teras belakang rumah.Dia berusaha menggapai tanganku. Dan mau tak mau aku pun membalas genggaman tangannya. Padahal aku sudah muak dengannya. Aku sudah ingin sekali hidup bersama Irna. Tapi, masih ada misi yang akan ku jalankan setelah ini. Jadi aku harus sabar."Iya Mah. Sama-sama. Oh iya, kemarin aku ke rumah Pak Wijaya. Dan aku benar-benar terkejut karena Adnan adalah anak kandung dari Pak Wijaya. Berarti adikmu itu sekarang sudah jadi orang kaya raya ya, Mah?" "Jadi kamu udah tau kalau sekarang Nining sudah menjadi orang kaya?" Aku langsung mengangguk yakin. Beda dengan sikap Lastri yang langsung terdiam."Aku memang akan bekerja-sama dengan Pak Wijaya, Mah. Dan Adnan yang memegang kendalinya. Karena Pak Wijaya sekarang sedang sakit. Aku juga bertemu dengan Nining, karena waktu itu dia yang mendorong kursi roda Pak Wijay