Share

Berubahnya Istri Penyakitan Yang Dikhianati
Berubahnya Istri Penyakitan Yang Dikhianati
Author: Aira Tsuraya

Aku Tidak Mau Mati

“Ssh ... jangan berisik. Nanti dia terbangun,” desis lirih suara seorang pria.

Ruangan dengan interior serba putih dan luas sekitar tiga puluh tiga meter persegi ini menjadi tempat Mina Namari menghabiskan waktunya beberapa bulan terakhir. Entah tanpa sebab gadis berusia 27 tahun itu tiba-tiba mengalami lumpuh total, bahkan jari-jari tangannya sulit untuk digerakkan. Dia juga acap kali menderita sesak napas jika malam tiba. Belum lagi kepalanya yang selalu pusing dan membuat dia sangat kesakitan. Bahkan dokter sampai sekarang belum selesai menentukan diagnosis atas penyakitnya.

Mina sudah tertidur sejak sore tadi usai seorang suster memberinya obat. Kini matanya terbuka saat mendengar suara-suara aneh yang memenuhi ruang tempat rawat inapnya. Mina memang melihat suaminya datang sebelum ia tertidur. Bruno selalu bertugas menjaga dia di malam hari. Bruno suami yang baru dinikahinya selama dua tahun memang sangat perhatian padanya. Mungkin karena kehadiran Bruno juga yang membuat Mina semangat untuk tetap bertahan hidup.

“Aah ... sssh ... .” Suara desahan kembali terdengar dan Mina menangkapnya sangat dekat dari tempatnya tidur. Dia juga merasa mengenal suara itu.

“Apa ada orang lain yang tidur di sini selain Bruno?” gumam Mina dalam hati.

Memang saat ini tempat Mina tidur dengan sofa penunggu dibatasi oleh tirai. Bruno selalu menutup tirai saat Mina tidur. Katanya supaya Mina tidak terganggu oleh aktivitas Bruno. Bruno memang acap kali membawa pulang pekerjaannya ke rumah sakit. Sejak Mina tidak bisa aktif membantu di perusahaan, Bruno yang turun tangan menghandle perusahaan peninggalan ayah Mina itu.

“Lagi, Sayang. Jangan dilepas ... .” Kembali suara dengan desahan dan napas memburu terdengar di telinga Mina. Mina penasaran dan ingin tahu apa yang terjadi di balik tirai itu.

Pelan Mina mengangkat tubuhnya dengan susah payah. Dia memang hampir mengalami lumpuh total dan tak bisa menggerakkan anggota geraknya. Namun, Mina tidak menyerah. Dia harus mencari tahu suara berisik apa yang sudah mengganggu tidurnya kali ini.

Tangan Mina sudah terjulur menyentuh tirai pembatas kemudian dengan gerakan lamban, Mina menyibak tirai pembatas antara kasurnya dengan sofa penunggu. Seketika mata Mina terbelalak kaget.

Dia melihat suaminya sedang duduk di sofa sementara Melan, adik tirinya duduk dipangkuannya saling berhadapan. Keduanya tidak berpakaian lengkap dan ini bukanlah hal yang layak dijadikan tontonan. Mina tercengang, matanya membola dengan mulut terbuka lebar. Tangannya gemetaran dan tanpa sengaja menarik keras tirai sehingga menimbulkan bunyi yang nyaring.

Seketika Bruno dan Melan menoleh ke arah Mina. Harusnya Bruno terkejut dan berusaha minta maaf atas perbuatannya. Namun yang ada, dia malah meminta Melan menyingkir lalu Bruno bangkit tanpa merapikan celananya berjalan menghampiri Mina.

“Kamu sudah bangun, Sayang?” Mina tidak menjawab hanya menutup mulutnya dengan kedua tangan dan menganggukkan kepala.

“Baguslah kalau sudah bangun. Kamu diam saja di sini. Aku mau melanjutkan permainanku dengan Melan. Kamu tahu sendiri berapa bulan kamu tidak bisa melayaniku. Aku pria normal, Sayang. Wajar jika aku mencari kepuasan sendiri,” lanjut Bruno dengan nada tanpa bersalah.

Sementara Melan duduk sambil menyilangkan kakinya di sofa. Bahkan dia sudah melepas seluruh bajunya meninggalkan pakaian dalamnya saja. Mina melirik Melan sekilas, ada kebencian di matanya tapi dia tidak bisa berkata apa-apa. Hatinya sakit, terluka, hanya air mata yang terus bergulir membasahi pipinya.

“Sudah ya!! Aku tutup dulu tirainya. Aku tidak mau melihatmu kepengen nantinya.”

Bruno membalikkan badan sambil menutup tirai pembatas itu dengan gerakan tangan yang cepat. Selanjutnya sudah terdengar lagi suara desahan, lenguhan bahkan lebih riuh dari sebelumnya seakan-akan menunjukkan ke Mina kalau mereka berdua sedang menikmati permainan panas mereka.

Mina menangis tanpa suara. Hatinya hancur kedua kali, ia menyesal mengapa dulu mau menerima perjodohan yang diajukan ayahnya. Ia menyesal harus menikah dengan pria yang ternyata berhati busuk seperti Bruno. Padahal saat awal menikah, Bruno sangat perhatian bahkan begitu sayang padanya serta memperlakukan Mina dengan baik. Namun, semua berubah sejak kepergian ayahnya.

Mina menangis hingga akhirnya tertidur kembali. Ia tidak tahu berapa lama ia tertidur, yang pasti dia terbangun saat mendengar suara-suara lirih yang sedang berbisik di sekitarnya.

“Jadi Mama sudah tahu berapa nominal uang yang akan kita terima jika dia meninggal?” ucap Melan dengan pelan.

Mina mengerjapkan mata sambil memperhatikan sekeliling. Tirainya tidak tertutup rapat dan dia bisa melihat ada dua sosok wanita yang sedang duduk di sofa dan seorang pria yang berdiri di dekat jendela.

“Iya, Sayang. Mama sudah memastikannya. Kali ini kita akan kaya raya. Harta mereka akan menjadi milik kita, termasuk asuransi jiwanya lalu kamu bisa menikah dengan Bruno.”

Mina terkejut mendengarnya apalagi yang berbicara saat ini adalah Nyonya Jesica, ibu tirinya yang dipikir baik selama ini.

“Jadi ini yang mereka rencanakan untukku? Jangan-jangan kematian Papa dan kesakitanku ini juga ulah mereka? Mereka ingin harta dan premi asuransi jiwaku,” batin Mina.

“Setelah ini kita akan mengeksekusinya dan tidak akan ada yang tahu kalau ini adalah pembunuhan.”

Terdengar suara cekikik Melan dan Nyonya Jesica. Mina hanya bisa menangis tanpa bisa berbuat apa-apa. Dia harus minta tolong siapa? Tubuhnya saja sulit digerakkan bahkan Mina juga tidak tahu mengapa suaranya ikut-ikutan hilang. Obat apa yang telah dimasukkan ke dalam tubuhnya hingga dia seperti ini.

BRAK!!!

Tiba-tiba pintu terbuka, tampak seorang pria bertubuh tegap dengan mata pekat dan jambang yang menawan berdiri di depan pintu. Pria itu tertegun sejenak sambil mengedarkan pandangannya. Mina yang masih berada di atas kasur bisa melihat pria itu. Memang tempat dia tidur bisa langsung melihat ke arah pintu.

Mata mereka bertemu untuk seperkian detik dan entah mengapa Mina merasa kalau ini saatnya untuk meminta tolong. Mungkin Tuhan mengirim pria ini sebagai penolongnya, hanya itu yang terlintas di benak Mina.

“Anda mencari siapa, Tuan?” Bruno yang berdiri di dekat jendela mendekat dan bertanya ke pria tampan itu.

“Eng ... maaf. Saya rasa saya salah kamar. Saya mencari kakek saya tadi. Dia dirawat karena sakit jantung,” ujar pria itu.

“Oh ... begitu. Sepertinya memang Anda salah kamar. Ini kamar putri saya,” Nyonya Jesica menyahut. Pria tampan itu hanya manggut-manggut sambil melirik ke arah Mina yang terbaring tak berdaya.

Kembali untuk beberapa saat mata pria tampan itu bertemu dengan mata Mina. Lagi-lagi Mina berusaha meminta tolong melalui tatapannya. Dia harap pria itu bisa menangkap sinyal SOS yang sedang dia kirimkan lewat matanya. Namun, pria itu hanya berdiri diam di tempatnya dan siap berpamitan.

Mina tidak mau kehilangan kesempatan, tangannya dengan sengaja menyenggol gelas di meja sebelah kasurnya. Bunyi gelas pecah langsung menarik perhatian mereka. Semua menoleh ke arah Mina termasuk pria itu bahkan kini mereka semua berjalan mendekat menghampiri.

“Mina, apa yang kamu lakukan?” seru Nyonya Siska.

“Sayang ... kenapa kamu gak bilang kalau mau minum.” Bruno pura-pura memberikan perhatian.

“Mungkin dia tadi sudah minta, tapi kalian tidak tahu. Saya melihat dia bicara lewat isyarat mata. Apa dia tidak bisa bicara?” Pria itu kembali bersuara.

Nyonya Siska, Bruno dan Melan saling pandang. Mereka bertiga bergantian memberi isyarat untuk segera menyingkirkan pria tidak dikenal itu.

“Kalau tidak keberatan, saya punya kenalan dokter yang bisa membantu dia. Saya akan merekomendasikan untuk putri Anda, Nyonya.” Sekali lagi pria itu mengeluarkan kata-kata dan kini sembari menatap sendu ke arah Mina.

“Terima kasih, Tuan. Mungkin bisa disambung lain kali saja. Kalau boleh tahu siapa nama Anda?”

“Saya Alby Allister.” Pria tampan itu mengulurkan tangan dan disambut oleh Nyonya Jesica. Kemudian mereka mengobrol ngalor ngidul mencoba mengalihkan perhatian. Sedangkan Melan dan Bruno berusaha menghalangi Mina untuk memberi isyarat lagi.

Selang beberapa saat Alby sudah berpamitan dan menyisakan Nyonya Jesica, Melan dan Bruno. Mereka kini berdiri mengitari Mina dengan tatapan yang menyeramkan.

“Kamu punya permintaan terakhir, Mina?” tanya Nyonya Jesica dengan seringai jahatnya.

Mina hanya diam sambil menggelengkan kepala. Ia ingin teriak, ingin bangun, ingin lari, tapi dia tidak bisa melakukan semua itu. Kemudian Bruno mendekat dan mengecup bibirnya dengan rakus.

“Ini ciuman terakhir kita, Sayang. Kamu harus mati hari ini.”

Usai mengucapkan itu, Bruno mengeluarkan sebuah alat suntik dari saku celananya kemudian dengan sigap menyuntikkan cairan di dalam spuit itu masuk ke tubuh Mina melalui infusnya. Tawa serta senyum seringai layaknya serigala bergema memenuhi ruang kamar inap Mina.

Mina terdiam, menatap satu persatu wajah pelaku pembunuhannya ini. Dia tidak terima, dia tidak terima diperlakukan seperti ini. Dia akan menuntut balas. Dia akan menuntut balas atas kematiannya, menuntut balas atas semua perlakuan mereka. Namun, apa mungkin bisa? Sedangkan tubuhnya semakin lemah, napasnya terasa sesak lalu pandangan matanya juga kabur dan sulit untuk terbuka.     

Perlahan Mina bisa melihat tubuhnya sendiri tengah terbaring tak berdaya di atas kasur dengan tiga orang bajingan yang mengelilingi dan menertawakannya. Kini dia bahkan bisa menyentuh langit-langit kamarnya, dia melayang di udara dan sudah menjadi sukma.

“TIDAK!!! AKU TIDAK MAU MATI. AKU TIDAK MAU MATI, TUHAN!!!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status