Tiba- tiba, rasa panas mengenai lenganku. Aku memekik pelan, merasakan sakit. "Sialan," umpat ibu Melisa, yang langsung masuk ke dalam mobilnya. Aku memegang lenganku dan menoleh ke arah belakang.Aku cukup terkejut, ketika melihat kak Adam, sedang berkelahi dengan lelaki yang ditangannya masih memegang senjata api.Aku berlari ke arah mereka, dan ikut menyerang lelaki itu. Meskipun lenganku yang kiri sakit dan terluka. Tapi aku masih mampu menggunakan 1 tangan kananku, juga dua kakiku untuk menghajar lelaki si penembak itu.Aku dan kak Adam berusaha menangkapnya. Namun ketika aku berhasil merebut senjata apinya, dia melemparkan kami bubuk cabe, membuat aku dan kak Adam seketika menjauh darinya.Lelaki kurang ajar itu pun berhasil kabur. "Kamu nggak apa- apa?" tanya kak Adam, menatap khawatir ke arahku."Alhamdulilah cuma luka, Kak. Aku masih hidup," jawabku sambil terkekeh."Dasar!!" ujarnya sambil menjitak kepalaku."Aww, sakit." Aku memekik."Ayo, kita ke rumah sakit," katanya sa
"Aku juga nggak tau, Kak. Aku nggak ada ngasih tahu siapa- siapa tentang kondisiku," jawabku yang juga ikutan bingung."Kamu nggak ada hubungin Anwar kan?" "Belum ada, Kak. Sensi banget sama pak Anwar, kan kalian masih ada hubungan keluarga," kataku merasa heran dengan tingkahnya."Sudahlah, aku liat dulu." Kak Adam menutup wajahnya dengan masker, kemudian bangkit dan langsung berjalan ke arah pintu. Entah kenapa, sikapnya begitu menunjukkan ketidaksukaan pada pak Anwar, ada masalah apa mereka?Disaat aku termenung, tiba' tiba pintu terbuka. Aku terkejut, ketika melihat yang masuk ke dalam kamarku, adalah om Kustomi."Om," lirihku. Kak Adam masih menunduk diam, agar om Kustomi tidak mengenalinya."Ceroboh! Kenapa kamu sampai tertembak seperti ini?" bentak om Kustomi, menatap marah kepadaku."Dari mana Om tahu aku disini?" tanyaku penasaran. Om Kustomi mendengkus."Kamu pikir, Om akan diam saja, tanpa memantau kamu sama sekali setelah kamu mempermalukan keluarga Hanung? Om itu sangat
[Din, Dinda ....] Belum lagi kubalas pesan pak Anwar, masuk pula pesan dari mas Aditya.[Ya, Mas.] Langsung kubalas saja, pesan dari mas Aditya.[Maaf, Pak. Saya masih cukup kaget dengan kejadian hari ini. Saya ditemani om Kustomi, Bapak tidak perlu khawatir.] Aku mengirim pesan balasan pada pak Anwar.[Uangnya sudah cair, Din. Mau langsung aku transfer, atau gimana?] Balasan dari mas Aditya, membuat cerah hatiku.Uhh, mas Aditya, kerja bagus. [Transfer, Mas.] Hanya itu balasanku, tidak lupa kukirim nomor rekening. Tidak menunggu waktu lama, sejumlah uang yang cukup besar, masuk ke rekeningku. Aku tersenyum bahagia, akhirnya aku dapatkan kembali hak aku.Mas Aditya pasti akan syok dan frustasi, jika pada akhirnya, dia hanya kumanfaatkan. Andai saja dia tidak sejahat itu, aku tidak mungkin melakukan hal seperti ini.[Kamu yang terbaik, Mas.] Aku mengirimkan pesan padanya, dan dia membalas pesanku dengan stiker love. Dasar buaya.Entah bagaimana, jika Astri tahu semua ini? Bisa- bisa
"Sesil depresi, Din. Gara- gara dihujat para netizen," jelas pak Anwar."Entah siapa penyebar video penganiayaan Sesil sama kamu, bahkan keluarga ibu Melisa, tidak bisa menghentikan lajunya media sosial, yang terus menyebarkan video itu. Netizen benar- benar bar- bar. Tapi setidaknya, saya merasa lega," lanjut pak Anwar, yang menarik napas sembari tersenyum."Lega kenapa, Pak?" tanyaku penasaran."Tidak dibayang- bayangi Sesil lagi." Aku terkekeh, mendengar jawabannya."Kamu itu terlalu berani, Dinda." Pak Anwar berkata sembari menggeleng."Cuma kamu yang berani melawan keluarga pak Hanung. Sejauh ini, para karyawan saya, memilih resign dari pada harus berurusan dengan anak pak Hanung itu. Tapi ya gini, resikonya nyawa, Din.""Saya tidak takut, Pak. Hanya saja, saya minta maaf. Karena saya, nama baik perusahaan menjadi terdampak.""Nggak apa- apa, Din. Jujur saja, saya risih sekali dengan sikap arrogant Sesil." Pak Anwar menyahut sambil berjalan ke arah om Kustomi."Sebaiknya kita ha
"Buka aja, Pak," ujarku. Pak Anwar mengernyit.Aku melepaskan selang infusku dan turun langsung dari brankar."Din, kenapa dilepas?" tanya pak Anwar, yang langsung mendekat ke arahku. Suara lelaki itu cukup pelan."Bisa mati saya kalau diam di tempat." Aku berjalan ke arah pintu.Dan kami pun membuka pintu, ketika pak Anwar berdiri di sampingku. Disaat pintu terbuka, masuklah seseorang yang tidak kami kenali. Tanpa menunggu lagi, aku melayangkan tendangan dan pak Anwar pun menangunci tubuh lelaki itu yang terjatuh akibat tendangan keras dariku."Siapa kamu!!" tanya pak Anwar.Lelaki itu tidak menyahut, dia terus meronta meminta untuk dilepaskan. Aku berjalan, mengambil jarum infus dan mengancam ke arahnya."Jika kamu tidak mau bicara! Akan kutusukkan jarum ini ke matamu," ancamku yang mulai mengarahkan jarum itu ke bola matanya."Saya kemari atas perintah ibu Melisa," lirihnya."Untuk apa?" tanyaku."Mau membunuh saya lagi?" lanjutku menggebu- gebu. Rasanya aku benar- benar murka sek
Dari gerak- geriknya. Wanita itu nampaknya sangat hati- hati. Terlihat dari cara jalannya yang cukup cepat, dengan sikap yang mencurigakan.Kupikir ibu Melisa akan menuju restoran atau cek in. Namun, dia justru berjalan menuju ke samping hotel.Menemui siapa sih dia?Karena diburu rasa penasaran, aku pun terus melajukan langkah, berharap mendapatkan bukti yang menguntungkan untukku.Dan aku cukup terkejut, ketika melihat orang yang ibu Melisa temui."Kamu melaporkan saya, Kustomi ...."Om Kustomi terkekeh, mendengar lontaran pertanyaan dari ibu Melisa. Wanita itu pun duduk, bersebrangan dengan om Kustomi di taman hotel ini.Aku bersembunyi ke kejauhan, sembari memantau mereka."Ada hubungan apa, kamu dengan wanita sialan itu?" Lanjut ibu Melisa melempar tanya."Untuk apa kamu terus memburunya, Melisa? Bukankah dulu, aku sudah peringatkan kamu, untuk tidak menyakitinya lagi. Aku masih menyimpan bukti, rekaman kejahatan kamu dulu, Melisa. Aku bisa saja, menyerahkan bukti itu ke polisi.
"Ah, kalau begini, lebih baik aku mengirim pesan padanya. Agar dia terkecoh."Aku mengetik pesan, setelah selesai mengganti pakaianku.[Om, aku terus diserang, pake senjata api. Kalau begini, salah- salah aku bisa mati, Om.] Begitulah isi pesan, yang aku kirim untuk om Kustomi.[Aku juga sekarang menuju rumah sakit, Om. Penerus Raharja Group tertembak, gara- gara melindungiku, Om.] Dan tidak butuh waktu lama, 2 pesanku telah dia baca.[Kamu jangan kemana- mana dahulu, berbahaya. Nanti anak buah Om, yang akan jagain kamu.] Aku mengernyit, melihat pesan balasannya.[Om dimana? Kita harus bertemu, Om. Kalau tidak, Dinda akan pergi dari Jakarta ini.] Aku terpaksa mengancamnya, agar dia pergi dari pusat perbelanjaan ini.[Om lagi meeting, Dinda.] Aku terkekeh, mendapat pesan balasannya yang begitu cepat.Pendusta juga om Kustomi ini.[Nggak mau tahu. Kita harus ketemu, Om. Kalau Om nggak mau temui Dinda, Dinda akan tembak ibu Melisa, kemudian kabur ke luar negeri.] Setelah pesanku dia bac
"Sambil nyari tempat baru juga, Om. Sebelum ke rumah sakit."Aku terpaksa berdusta, agar om Kustomi tidak curiga."Mana mobil kamu?"Ya ampun, segala nanyain mobil. "Di pinjam teman aku, Om. Aku sengaja nggak pake mobil, demi keamanan.""Teman kamu yang mana?""Teman kantor, Om. Om kenapa, sih? Kok nanya- nanya begitu?" Aku akhirnya bertanya balik, karena merasa tidak nyaman. Aku sengaja memasang wajah serius, sekaligus menyelidik, agar om Kustomi tidak enak padaku.Akhirnya om Kustomi pun memutuskan untuk mengajakku pergi dari rumah sakit. Karena aku mengaku belum makan, om Kustomi berniat membawaku ke sebuah restoran.Namun sebelum mobil kami sampai menuju restoran, tiba- tiba panggilan telepon masuk ke ponselku. Aku menjawabnya. Ternyata dari ke polisian.Mereka mengatakan, ketiga pelaku mengaku, hanya ingin melakukan perampokan kepadaku.[Tidak mungkin, Pak. Tolong diintrogasi lagi. Pasti ada dalang dibalik kejadian ini. Mereka mengincar nyawa saya, Pak. Kejadian ini sudah dua