Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, kami pergi bertiga bersama-sama. Namun, aku dan Rati terlambat menyadari bahwa kini Xavier sudah terlalu besar untuk duduk di bagian depan sepeda motor hasil meminjam pada tetangga sebelah kontrakan. Karena tidak ada pilihan lain, aku memaksa Xavier dan Rati untuk naik ke boncengan.
“Sudah hampir terlambat ini. Cepat naik, jangan kebanyakan mikir!”
Untunglah sepeda motor yang kami pinjam ini jenis yang berkopling. Joknya lumayan panjang dan cukup kuat membawa kami bertiga. “Kamu tahu rutenya, kan?” tanyaku pada istriku.
Butuh waktu cukup lama sampai akhirnya aku mendengar Rati mengiakan. Perjalanan tidak memakan waktu lama karena rupanya sekolah Xavier tidak terlalu jauh dan jalurnya hanya lurus terus sampai tiba di sebuah persimpangan dengan empat jalur, berbelok ke kiri dan sampailah ke sebuah sekolah yang rindang karena setiap jengkalnya ditanami pepohonan. Bangunannya cukup bagus dan megah untuk hitungan sekolah di kampung kecil.
Rati turun dari boncengan. Seolah bisa membaca pikiranku, dia berkata, “Sekolah ini memang dibangun untuk warga di perkampungan sekitar ini. Tapi beberapa ratus meter lagi dari persimpangan tadi, kita akan sampai ke jalan utama, kok. Beberapa meter dari sana kita memasuki kawasan kota kecil yang sedang berkembang pesat. Namanya....”
“Nanti saja penjelasannya. Sekarang kamu antar Xavier ke ruang kepala sekolah. Aku mau meluruskan kaki dulu,” putusku.
Xavier memprotesku, “Xai, Yah.”
“Terserah kamu mau pakai nama apa saja di hadapan orang lain. Bagi Ayah, kamu Xavier selamanya. Mengerti?”
Xavier tidak menanggapi. Dia berbalik pergi meninggalkan aku dan Rati berdua saja. “Sehari saja enggak bikin masalah, bisa nggak?” bentak Rati yang segera berbalik pergi, menyusul Xavier.
Aku langsung mencari tempat duduk di bawah pepohonan rindang, memantik rokok yang kuambil dari tempat persembunyian rahasia, lalu menyesapnya dalam-dalam. Kuembuskan asap halus pelan-pelan dari mulut dan hidung. Lega. Akhirnya, aku bisa merasakannya lagi setelah hampir dua puluh empat jam aku berpuasa rokok. Dari kemarin, mulutku terasa sangat asam. Di depan Rati, aku bilang sudah lama berhenti merokok. Namun, dia tidak perlu tahu kebenarannya selama kami berjauhan, kan? Dan sekarang, aku tidak punya jadwal syuting, sialan, aku bahkan tidak punya pekerjaan. Aku tidak bisa diam-diam merokok lagi di belakang Rati.
Berselang setengah jam kemudian, Rati kembali sendirian. Tidak ada Xavier di sisinya. Cepat-cepat kujejaskan rokok keempat yang belum habis setengahnya pada batang pohon terdekat. Aku membuka sebungkus permen yang sengaja kusiapkan di saku celana. Tidak lupa kusembunyikan lagi bungkus rokokku jauh-jauh dalam lipatan kaus yang selalu kumasukkan ke dalam celana jins.
“Sudah selesai? Kok cepat?”
“Ini hari pertama sekolah. Owen. Dan anak kita sudah SMA. Kita datang untuk mengantarnya saja sudah terbilang aneh. Apalagi kalau berlama-lama menungguinya,” terang Rati.
“Sejak kapan anak kita masuk SMA? Bukannya dia belum lama ini masuk SMP? Lagian dia juga berangkat tadi pakai seragam SMP, tuh!”
“Hari pertama orientasi sekolah memang masih harus pakai seragam sekolah asalnya sekarang. Selesai orientasi nanti baru pakai seragam baru. Aku tahu kamu sibuk, tapi jangan sampai keterlaluan begitu! Masa anak sendiri sudah SMA kamu enggak tahu!”
Aku terkekeh lalu mencari cara untuk berkilah. “Aku cuma bercanda.”
Rati tidak menanggapi, lalu tatapannya berubah jadi curiga. Hidungnya mulai kembang kempis. Gawat, nih! Aku tidak harus menjelaskan apa-apa selagi dia belum menangkap basah diriku dengan rokok di tangan. Aku naik lagi ke atas sepeda motor pinjaman dan menyalakannya. “Langsung pulang?”
“Ke pasar dulu, letaknya di kota kecil. Kita harus belanja kebutuhan rumah,” sahut Rati.
Aku tak mampu mengatakan apa pun lagi setelah mendengar ucapan Rati. Kupikir dia akan marah atau setidaknya melakukan sesuatu untuk mempermalukanku karena kembali merokok. Yang dia lakukan hanyalah mengabaikan kesalahanku dan itu membuatku semakin curiga padanya. Tidak pernah Rati sepemaaf ini. Jika dia membiarkanku melakukan kesalahan, cenderung mengabaikannya, itu bisa jadi disebabkan karena dirinya melakukan kesalahan yang jauh lebih besar dan ingin aku memaafkannya juga. Sayangnya, aku tidak tahu kesalahan macam apa yang diperbuat oleh Rati karena dia sama sekali tidak mengatakannya padaku.
Aku mengarahkan sepeda motor itu menelusuri jalanan sempit yang di kiri kanannya masih terdapat kebun yang rimbun. Semua itu akhirnya berganti menjadi deretan rumah penduduk setelah beberapa menit berkendara. Ketika kami tiba di persimpangan dan masuk ke jalan yang lebih besar, aku dibuat kaget karena lalu lintas kendaraan yang jauh lebih ramai daripada yang kuduga.
“Ini yang kamu bilang kota kecil?”
Rati mengiakan, lalu sibuk sendiri di belakang boncengan.
“Mirip daerah pinggiran Jakarta,” ucapku tanpa sadar. Tapi, aku tidak asal bicara. Dengan keramaian kendaraan dan bangunan yang kulihat di sepanjang jalan, kota ini rasanya lebih dari sekadar kota kecil. Hei, bahkan ada kilang minyak di sini!
“Sejak kapan kamu merokok lagi?”
Aku diam saja. berpura-pura tidak mendengarkannya. Namun, ketika Rati mencengkram kuat-kuat bungkus rokok di balik kausku, melumatnya, aku tidak bisa lagi berkilah. Ketika aku sedang mengarang alasan, Rati bilang dia tidak akan mempermasalahkannya selama aku tidak merokok ketika sedang bersamanya.
“Dan yang tadi adalah terakhir kalinya kita naik motor bertiga bersama Xai. Dengar? Aku tidak nyaman setiap kali tubuhku tidak sengaja menempel ke punggungnya. Dia sudah besar, Owen.”
Aku terkekeh. “Besar apanya? Dia masih anak-anak bagiku.”
“Sebentar lagi dia lima belas tahun. Kamu dulu seusia dia waktu kita pacaran dan membuat aku memiliki Xai di dalam kandunganku,” ucap Rati dengan suara bergetar.
Kenapa dia selalu gugup seperti itu setiap kali mengungkit masa lalu?
Rati berbelanja di pasar kota kecil itu selama berjam-jam. Dia memaksaku ikut bersamanya, berkeliling untuk memilih barang-barang, mendebatkan pilihan warna dan harga, lalu akhirnya memutuskan sendiri barang yang akan dibeli. Untuk apa mengajakku berdebat kalau memang bisa pilih sendiri? Dasar perempuan!
Kami pulang ke rumah hampir tengah hari, diiringi oleh mobil pick up yang membawa barang-barang yang dibeli Rati. Mobil itu terpaksa disewa pada salah satu toko pecah belah tempat kami memborong karena mustahil membawa semuanya dengan sepeda motor.
“Belanjanya banyak amat, Bang,” tanya tetangga pemilik motor. Dia lantas cengengesan. “Bensinnya diisi penuh, sih. Tapi mulut saya asam, nih. Siapa tahu ada uang rokoknya sekalian.”
Rati tiba-tiba merogoh ke dalam kausku dari lingkaran kerah, mencari rokok yang kusembunyikan di sana. “Uang rokoknya enggak ada, Pak. Adanya rokok betulan, nih.”
“Uang rokok itu hanya istilah, Dek. Artinya cuma sampai di kata pertama, kok,” jelas si bapak. “Pasti ada, kan? Belanjanya semobil begitu, pasti banyak uang, nih!”
“Uangnya sudah dibelikan bensin sebagai ucapan terima kasih, dan saya tawarkan rokok pula. Ini sudah cukup, kan, Pak?”
Si bapak tetangga melirikku yang diam saja mengamati perdebatannya dengan istriku. Dia akhirnya mengalah lalu mencomot rokok dari tangan istriku. “Dasar orang kota kere,” ejeknya. Si bapak langsung melompat naik ke atas sepeda motornya dan pergi begitu saja.
Dengan bantuan sopir dan karyawan toko yang sengaja ikut bersama kami, semua barang itu diangkut ke dalam rumah bedeng yang kosong. Setelah selesai dan memberikan tip kepada dua orang itu, Rati memaksaku untuk membantunya membongkar barang dan membereskan segalanya. Membuat rumah tempat tinggal yang baru ini sampai layak disebut sebagai rumah.
Melihat Rati yang bergerak mundur selama mengepel lantai. Membuat bagian belakang tubuhnya tercetak jelas pada bahan daster yang tipis, aku langsung menganggap itu sebagai panggilan alam. Xavier masih sekolah setidaknya sampai beberapa jam lagi dan ini adalah kesempatan emas.
“Yang ada di kepala kamu itu bercinta mulu, ih! Enggak bosan? Aku capek, butuh istirahat juga.”
Aku terkejut. Untuk pertama kalinya, Rati menolak ajakanku.
“Sebelum magang di Daimen kamu kerja di mana?” Saras menyelipkan rambutnya ke balik daun telinga sebelum menjawabku. “Di SPBU, Pak,” jawabnya tanpa ragu. “Pasti banyak yang langganan beli bahan bakar karena kamu yang melayani.” Saras tersenyum manis kemudian tertawa saja. Dia tidak mengiakan, tapi tidak pula membantah. Dugaanku memang benar. Kecantikannya mengundang banyak pria jadi tertarik dan berusaha melakukan apa pun untuk menarik perhatiannya. Apalagi dirinya memang cukup andal dalam memberikan pelayanan. “Biasanya kalau melayani pembeli di SPBU bilang apa?” Saras tersenyum rikuh, tapi dia menjawab, “Dimulai dari nol, ya, Pak.” Aku balas tersenyum dan kuusap anak rambutnya yang terlepas dari balik daun telinga. Dengan sengaja aku berlama-lama menelusuri rambutnya yang halus dengan ujung jariku. “Silakan, mari kita mulai dari nol,” balasku. Saras diam saja dan kembali mengabaikanku. Dia asyik sendiri padahal aku masih ingi
Aku tiba di indekos menjelang tengah malam dan tidak ada seorang pun yang melihatku datang. Aku langsung masuk dan membanting pintu dari dalam hingga tertutup rapat. Tidak akan kubiarkan seorang pun mengganggu hidupku mulai saat ini. Aku tidak akan segan lagi memberikan balasan langsung di tempat jika ada yang berani mencoba mengusik hidupku. Aku akan memulai menata hidup yang baru di tempat ini dan hal yang pertama yang paling kubutuhkan saat ini adalah tidur. Aku tidak peduli sekalipun seprai kasurnya kusut dan beraroma agak sengit karena bekas dipakai beberapa hari yang lalu dan tak sempat diganti. Aku butuh istirahat setelah serangkaian kejadian tak terduga malam ini dan kuharap kejutan yang datang beruntun ini berhenti sekarang juga jika aku sudah terlelap. Entah sudah berapa lama aku tertidur tapi sepertinya di luar sudah lewat tengah hari. Aku terjaga dengan badan yang terasa jauh lebih segar. Saat aku turun dari ranjang dan memeriksa telepon ge
Hari sudah gelap ketika aku menepikan mobil di pekarangan rumah. Di teras terlihat Xai dan beberapa remaja yang tinggal di sekitar sini sedang bernyanyi sambil memetik gitar. Aku menyapa mereka sebentar lalu masuk ke dalam rumah. Rati sudah menyiapkan makan malam dan aku langsung mengambil piring lalu makan sendirian di meja makan. Rati tidak menyambutku seperti biasanya. Dia berdiam diri di kamar dan aku tidak keberatan sama sekali.Aku melirik Rati sekilas saat mengambil handuk yang tergantung di kamar. Dia tampak sibuk mengerjakan sesuatu di laptopnya. Aku mandi dan menggosok seluruh bagian tubuhku keras-keras seakan ingin meluruhkan dosa dari permukaan kulit meski hal semacam itu mustahil terjadi.Hanya dengan memakai handuk yang terlilit di pinggang, aku kembali ke kamar dan terkejut saat melihat Rati yang tidak lagi sibuk bekerja. Dia sepertinya sudah menungguku dan langsung mengunci pintu dari dalam. Aku terlalu heran dibuatnya sampai-sampai tidak sadar ketika R
Aku terjaga dan tidak ada lagi Roya di atas tubuhku. Atau di sisi mana pun di atas ranjang. Di kamar mandi juga dia tidak ada. Itu berarti dia telah pergi meninggalkan aku sendirian di kamar ini. Aku mengintip layar telepon genggam dan mendapati bahwa sudah lewat tengah malam. Aku tidak tahu pukul berapa Roya menyelinap pergi tapi kuharap dia bisa pulang dengan selamat sampai ke rumahnya. Apa pun yang akan terjadi pada rumah tangganya, aku tidak berhak untuk ikut campur terlalu jauh. Maka dari itu aku memutuskan untuk tidak menghubunginya sampai dia sendiri yang memberiku kabar.Karena rasa lengket di sekujur tubuhku, aku memutuskan untuk membilas tubuh. Tidak ada tanda-tanda bahwa kamar mandi ini terpakai selain bathtub. Itu artinya Roya pulang tanpa membersihkan diri sama sekali. Tidak bisa kubayangkan jika aku jadi Abu, entah apa yang akan kulakukan kepada Roya yang kembali ke rumah dalam keadaan berantakan dan bekas perselingkuhan tampak jelas di setiap jengkal tubuhnya.
Tubuh Roya menggelepar di atas seprai yang kusut. Aku terus memainkan jariku di atas titik sensitifnya serta menggoyangkan pinggul sesekali untuk menggerakkan milikku yang terbenam di dalam liang sempitnya.“Lima belas,” kataku keras-keras.Jariku yang tadinya bermain-main di titik sensitifnya kini kupindahkan ke bawah, mendorong masuk ke dalam liangnya yang menganggur. Awalnya hanya dua jari yang kulesakkan ke dalam, tetapi aku mulai menambah jari ketiga dan keempat pada saat yang hampir bersamaan. Aku menggerakkan empat jariku yang terbenam di liang basahnya beriringan dengan entakkan pinggulku sendiri. Permukaan jariku sudah basah dan terasa lengket karena sudah terjadi percampuran antara cairan milik Roya dan juga benih yang kutumpahkan di dalam dirinya sebanyak dua kali.Empat jariku kuganti posisinya dari yang semula hanya menusuk keluar masuk biasa menjadi menukik dan berusaha merogoh satu titik di dalam liangnya yang kabarnya jauh lebih sensi
Aku menyentak tangan Roya yang sedang ingin berlari menyusul Abu. Kutahan dia agar tidak meninggalkanku begitu saja. Semua mata sudah tertuju kepada kami dan aku tidak punya pilihan selain membawa Roya meninggalkan Daimen, tapi aku harus menunggu sejenak setidaknya sampai si berengsek Abu menghilang.Roya diam saja ketika aku menariknya turun dari Daimen dan membawanya naik ke mobilku. Pandangannya menerawang dan dia menyeka air mata yang baru akan mengalir turun sebelum sempat membasahi pipinya.“Siapa Abu?”Tidak ada jawaban.“Roya, aku tanya sekali lagi. Siapa Abu?”Roya masih terus bungkam, mengatupkan bibirnya rapat-rapat.“Siapa Abu, berengsek!”“Dia suamiku! Apa kamu sebodoh itu untuk menyadarinya! Dia suamiku, sialan!”Jawaban Roya membuatku menjadi terdiam menggantikannya. Kini Roya mulai mengucapkan sumpah serapah yang dia tujukan kepadaku. Lengkap dengan pukulan yang di
Aku bangun lebih siang hari ini dan langsung mandi. Xai dan Rati tentu sudah tidak ada lagi di rumah. Aku memutuskan untuk memakai langsung pakaian olahragaku dan berangkat bekerja setelah selesai sarapan—aku tidak menduga bahwa Rati masih menyisakan makanan untukku setelah apa yang kuucapkan padanya subuh tadi.Sepanjang perjalanan, aku memikirkan akan seperti apa nasib hubunganku bersama Roya setelah ini. Dari apa yang dia katakan sebelum turun dari mobilku, jelas Roya ingin meneruskan. Namun, entah mengapa aku punya firasat bahwa kami tidak akan bertemu lagi setelah ini.Setibanya aku di Daimen, telepon genggamku berbunyi. Panggilan masuk dari Roya.“Aku akan ke Daimen sore ini. Kita tidak bisa lagi menggunakan ruanganmu?” tanya Roya dengan suara berbisik.“Atasanku melarang. Sofaku bahkan diganti dengan yang baru karena warnanya berubah akibat terlalu sering kena keringat dan kamu tahu sendirilah terkena apa lagi,” godaku
Sepanjang perjalanan pulang ke rumahnya, Roya terus saja bungkam. Dia menolak sekalipun aku menanyakan dia ingin makan apa. Kami tidak sempat memesan makan malam karena tidak ada jeda yang cukup untuk memesan makanan. Kami berhubungan badan tanpa henti. Terlebih lagi sesi terakhir yang di luar dugaan karena sejujurnya aku sudah tidak lagi sanggup tetapi aku tidak sudi harga diriku dilukai oleh Roya dengan menganggap aku hanya berada di peringkat tiga besar sekalipun aku telah memberikan begitu banyak kepuasan padanya.Sesi terakhir berlangsung lebih lama dari sesi yang lain setelah digabungkan menjadi satu. Penyebabnya adalah aku telah mencapai puncak lebih banyak dari yang bisa kulakukan dalam satu waktu. Seharusnya kuberikan tubuhku sendiri jeda setidaknya tiga jam sebelum memulai ronde berikutnya, tapi aku terus melakukannya karena ingin membuktikan kepada Roya bahwa aku layak untuk menempati peringat pertama dalam penilaiannya yang sialan itu.Selama melakukannya,
Aku sudah membenahi celana sebelum turun dari mobil, tapi sesampainya di kamar indekos, bahkan sebelum pintu berhasil kututup rapat, Roya sudah menyentak celanaku sampai terlepas lagi. Dia mendorong tubuhku untuk bersandar pada daun pintu dan saat itulah dia mulai berlutut untuk menyerangku sekali lagi. Segala jurus dia lakukan untuk membuatku takluk dan melepaskan benihku di dalam mulutnya. Namun, aku tidak membiarkan hal itu terjadi. Aku mencoba bertahan sekuat tenaga dan tidak membiarkan diriku berada di bawah kendali Roya.Kalaupun aku harus mencapai puncak, aku ingin melakukan di dalam dirinya. Tanpa penghalang.Aku menarik tubuh Roya untuk bangkit dari lantai dan kudorong dia sampai jauh terjerembap di atas kasur. Dengan bagian belakang tubuhnya mengarah ke padaku, Roya langsung menarik kakinya naik ke ranjang dan memosisikan tubuhnya menungging ke arahku. Roya mengundangku untuk datang padanya, tapi aku tidak ingin terburu-buru. Aku berjongkok di hadapan milikny