Share

Bongkar Pasang

“Ini bukti kalau aku cinta sama kamu,” kataku.

Rati memutar bola matanya. Aku selalu kesal setiap kali dia melakukan itu. Membuatku teringat pada pemeran antagonis di FTV yang aku mainkan. “Ada banyak cara untuk membuktikan cinta, Owen. Seks bukanlah satu-satunya.”

“Ketertarikan seksual adalah hal yang menjadi dasar dari semua hubungan di dunia ini, dan berhubungan seks adalah bukti paling puncak dari segalanya.”

Rati memutar bola matanya sekali lagi. Meski wajahnya masam, dia lantas meloloskan kancing demi kancing untuk membuka dasternya. “Ya sudah, ayo cepat sini!”

Aku tidak mengerti kenapa Rati mengira bahwa momen setelah bercinta adalah waktu yang tepat untuk mendiskusikan sesuatu yang penting. Itu justru merusak segalanya. Setelah aku mencapai puncak dan Rati selesai membersihkan dirinya, dia menahanku untuk tetap rebah di sisinya di tempat tidur. Dia bilang ada sesuatu yang penting yang perlu kami bicarakan. Perihal tempat tinggal untuk kami bertiga. Dia ingin membeli tanah lalu membangun rumah menggunakan uang hasil jerih payah yang kukumpulkan selama bertahun-tahun.

“Jadi kamu mau selamanya tinggal di rumah bedeng seperti ini?” desaknya.

“Aku tidak mau. Tapi bukan berarti tabunganku yang harus dikorbankan demi memenuhi hasrat pribadimu. Kamu tahu sendiri belasan tahun aku berhemat dan menabung untuk membeli rumah di kawasan elit Jakarta.”

“Aku tahu! Karena kamu sibuk menabung dan berhemat, aku terpaksa memakai uang yang kamu sebut sebagai gajiku sebagai manajer untuk membiayai kebutuhan kita sehari-hari selama di Jakarta. Aku bahkan harus melakukan berbagai cara karena kamu bahkan tidak mau mengeluarkan uang lebih untuk memenuhi kebutuhan sekolah Xai,” cecar Rati. “Aku harus bangun lebih pagi untuk menyiapkan kebutuhan anak dan suamiku setiap harinya, tapi aku masih harus melakukan pekerjaan tambahan dengan menjual makanan ringan di lokasi syuting. Aku sampai harus mencari pinjaman ke sana-kemari setiap kali semester baru dimulai. Gali lubang tutup lubang, begitu terus sampai aku kelelahan sendiri dan kamu tidak pernah peduli. Untunglah masih ada orang baik di Jakarta sana dan membuatku bertahan sampai detik ini.”

Aku mengesah. Jadi, sekarang dia menyalahkan aku? Dan orang baik, dia bilang? Apa dia sedang mengisyaratkan kepadaku bahwa ada pria lain yang membantunya untuk tetap kuat selama ini, dan pria itulah yang membantunya tanpa sepengetahuanku? Aku ingin tahu lebih banyak, tapi entah kenapa rasanya sulit sekali menerima kenyataan jika Rati benar-benar selingkuh dariku.

“Mau sampai kapan kamu bermimpi punya rumah di kawasan elit itu? Kamu bahkan sudah enggak di Jakarta lagi sekarang!”

“Ini hanya sementara. Aku akan kembali ke Jakarta jika memang sudah waktunya,” sahutku dengan tidak kalah keras.

Rati tampak terkejut mendengar ucapanku. Dia lantas menudingkan jarinya ke arahku. “Jadi kamu berencana meninggalkan kami berdua di sini?”

“Rati, kamu tahu sendiri aku tidak bisa melakukan apa pun selain akting, kan? Aku harus kembali ke Jakarta. Tempat ini bukan untukku, bukan duniaku!”

“Kupikir di mana pun kami berada, kamu akan senang. Lagi pula, memangnya bisa hidup tanpa bercinta denganku sehari saja?”

“Aku bisa menyesuaikan diri dan mengandalkan tanganku!”

“Kalau untuk urusan seks yang kamu gilai setengah mati saja kamu bisa menyesuaikan diri, kenapa untuk pekerjaan dan tempat tinggal kamu tidak bisa! Dibandingkan dengan penghasilanmu sekali syuting, mungkin gajiku tidak seberapa, tapi kamu bisa mengandalkan aku. Aku terima gaji rutin dan belum lagi dapat tambahan penghasilan dan tunjangan yang lain. Di masa tua, kamu bisa hidup tenang makan uang pensiunku kalau aku mati lebih dulu, Owen. Demi Tuhan, berhenti mementingkan dirimu sendiri!”

“Jangan bawa-bawa Tuhan saat ini,” cegahku.

Rati terlihat seperti hendak menjerit, tetapi dia berhasil mengendalikan dirinya dan tetap bungkam. Sejak saat itu kami berdua terdiam. Saat mendengar suara pintu depan dibuka, aku dan Rati langsung kalang kabut memakai kembali pakaian kami. Untungnya Xavier tidak langsung membuka pintu kamar setelah dia tidak mendengar kami menjawab panggilannya.

Xavier merengek minta makan pada Rati, sementara aku diam saja bersandar pada kamar untuk mengamati mereka. Mendengar mereka berdua menertawakan sesuatu yang tidak kumengerti membuat aku sadar bahwa aku sudah terlalu lama jauh dari anak dan istriku sendiri.

“Kamu butuh berapa? Bangun rumah kecil saja, dua kamar. Cukup, kan?”

Rati melirikku, juga Xavier. “Tidak masalah.”

Aku kembali ke kamar untuk tidur siang. Sudah lama sejak terakhir kali aku punya waktu untuk melakukannya. Aku tidak benar-benar nyenyak selama tertidur. Aku bermimpi mendengarkan Rati berbicara dengan seseorang di telepon genggamnya.

Diam-diam, selama dia memunggungiku, aku bangkit dari ranjang. Rati tidak menyadari bahwa aku sedang mendengarkan dia. Rati memberi tahu orang itu bahwa dirinya baik-baik saja sekarang dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kepada orang yang tidak kuketahui siapa, Rati berjanji akan memulai hidup yang lebih baik di tempat yang baru. Di dalam mimpiku, aku mengendap-endap di belakang Rati untuk mendengarkan dari jarak yang lebih dekat. Meski samar-samar, aku mendengar suara seseorang yang tidak asing bagiku.

Pak Rajesh. Pria paruh baya yang telah banyak membantuku sampai bisa masuk ke dunia seni peran. Dia yang paling berjasa dalam hidupku dan ternyata di belakangku dia main gila dengan istriku sendiri!

“Aku sayang kamu. Makasih karena sudah membantuku menyelamatkan diri dari cengkraman istrimu yang gila itu. Kalau bukan karena kamu, mungkin aku sudah digantungnya di lokasi syuting sekarang,” ucap Rati setengah merengek.

Aku mematung di belakangnya. Dengan tubuhku yang jauh lebih tinggi dari Rati, aku terpaksa membungkuk agar bisa membaca nama di layar telepon genggam Rati ketika dia mengakhiri sambungan teleponnya dan menatap layar begitu lama. Dan benar saja, di layar itu aku melihat nama Pak Rajesh yang disertai dengan ikon hati.

Rati berbalik, tapi sama sekali tidak terkejut menemukanku yang berdiri di belakangnya. Dia tersenyum lebar. “Seberapa banyak kamu mendengar?”

“Segalanya,” sahutku kemudian.

Rati malah tertawa. Tanpa menghapus senyum dari wajahnya, Rati terus tertawa. Membuatnya terlihat begitu mengerikan. Aku melangkah mundur karena diserang rasa takut. Dia bukan istriku!

Aku membuka mata dan terjaga dari tidur yang melelahkan itu. Aku bermimpi dan mendadak terjaga, membuat kepalaku diserang rasa sakit. Seperti di dalam mimpiku tadi, aku mendengarkan Rati bicara pada seseorang di telepon genggamnya.

Apa yang seperti ini benar-benar bisa terjadi? Hal yang sama persis di dalam mimpiku berulang kembali dan aku tidak benar-benar yakin apakah ini alam mimpi atau sesungguhnya aku sudah terjaga?

“Kalau bukan karena kamu....”

Baru saja aku hendak bangkit dan mendekatinya agar bisa mendengarkan dengan lebih jelas, kaki ranjang berkeriut karena terdorong oleh bobot tubuhku. Hal itu membuat Rati langsung berbalik dan menyembunyikan telepon genggamnya sekali lagi. Ah, aku ingat apa yang semalam kulupakan! Aku ingin mempertanyakan dengan siapa Rati berkirim pesan, itu sama sekali bukan pesan-pesan lama dariku karena ketika aku memergokinya pesan itu baru saja masuk ke ponsel Rati.

“Kamu sudah bangun?”

Rati mendekatiku dan mengamati wajahku yang berkerut. Dia meletakkan tangannya di dahiku, menyeka keringat yang menumpuk di sana. “Kamu demam. Sebaiknya kamu tidur lagi, nanti akan kubawakan obat,” ucap Rati seraya melempar telepon genggamnya ke sudut terjauh di atas ranjang.

Aku pun berkata, “Kamu selingkuh.”

Rati terdiam. Wajahnya memucat. Dia tidak lagi mengusap-usap dahiku. “Seberapa banyak kamu mendengar?”

Pada saat yang bersamaan, aku menambahkan, “Di dalam mimpiku, kamu selingkuh.”

“Oh!”

Kami berdua bungkam cukup lama. Apa dia secara tidak langsung mengakui tuduhanku? Dan bodohnya, aku tidak mampu menahan mulutku sendiri setidaknya beberapa detik saja agar bisa mendengarkan segalanya dengan lebih jelas. Rati mungkin saja akan mengakui segalanya jika tadi aku tidak bilang bahwa aku menuduhnya selingkuh itu karena terjadi di dalam mimpiku.

“Kamu kelelahan, Owen. Sebaiknya kamu istirahat lagi. Tidur saja sebanyak mungkin. Aku akan carikan obat dulu ke warung terdekat.”

Kamu benar-benar melakukannya, kan, Rati? Semuanya terlihat jelas di wajahmu saat ini. Kamu bukanlah pembohong yang andal.

“Kalau kamu benar-benar selingkuh, aku akan balas selingkuh juga darimu. Mata dibalas mata. Aku akan tidur dengan banyak sekali cewek karena kamu yang lebih dulu melakukannya di belakangku. Dan sebagai balasan, aku tidak akan merahasiakannya darimu. Kamu akan mendengarkan setiap detail bagaimana aku memuaskan cewek-cewek di luar sana, aku akan membuat kamu menderita dengan cara itu. Kamu tidak akan kubiarkan pergi karena itulah yang kamu lakukan selama berselingkuh di belakangku. Kamu tetap berada di sisiku, merahasiakannya, membuatku merasakan jejak yang ditinggalkan orang lain di tubuhmu. Aku akan membalasmu dengan cara yang tak bisa kamu bayangkan sebelumnya.”

Rati hanya menggelengkan kepalanya saja sementara dia terus mendorong tubuhku sampai rebah kembali di ranjang. “Kamu meracau, Owen. Kalau sedang sakit, kamu selalu begini. Karena di dalam mimpimu aku selingkuh, bukan berarti aku yang nyata akan melakukannya juga, kan?”

Aku menepis tangannya. “Telepon genggammu! Aku yakin bisa menemukan buktinya di sana! Berikan padaku!”

Rati menyambar benda itu lalu mendorongku sampai rebah kembali ke ranjang. “Jangan bertingkah, Owen! Sebaiknya kamu tidur saja, nanti akan kubangunkan kalau makan siang sudah siap.”

Rati pun pergi meninggalkan kamar setelah itu. Aku tidak tahu apa penyebabnya, tapi tenagaku seolah terkuras habis dan rasanya benar-benar lelah. Rupanya, aku terlelap lagi dan Rati membangunkanku setelah hari hampir gelap. Rati menawarkan obat dan segelas air, yang langsung kutolak. Itu karena aku merasa tubuhku sudah lebih baik sekarang.

Bersama sepiring nasi, aku duduk di sebelah Xavier di lantai. Sudah lama sekali aku tidak makan dari piring yang asli dan memakan masakan rumahan. Biasanya, aku harus berpuas diri makan nasi kotak dari katering setiap harinya. Kadang, aku baru sempat makan ketika lauknya hampir basi. Berbeda perlakuan dengan pemeran utama, atau artis sinetron panjang yang dianggap setengah dewa. Kami artis FTV biasanya hanya dianggap setengah manusia.

Aku makan dengan lahap. Setelah habis satu piring, aku minta tambah nasi dan lauk seporsi lagi pada Rati. Bukan salahku kalau aku bertingkah seperti pengangguran mulai saat ini. Dia sendiri yang menginginkanku seperti ini dan aku akan menghayati peranku dengan sangat baik.

Bukan hal yang sulit untuk bertingkah berengsek nan menyebalkan karena selama ini peranku di FTV hampir selalu seperti itu. Kalau tidak berperan sebagai kekasih gelap dari seorang perusak rumah tangga, aku biasanya jadi suami pengangguran yang menuntut banyak hal dari seorang istri yang rela melakukan apa saja karena takut kusiksa. Sebagai seorang kuli ekspresi, memainkan peran menjadi pengangguran bukanlah hal yang sulit untukku.

Kuli ekspresi. Aku selalu memakai istilah itu setiap kali membicarakan pekerjaan pada sesama artis FTV. Dan biasanya mereka akan menatapku dengan ekspresi aneh, sebelum pergi dan tidak mau bicara padaku lagi.

Rati membawakan piring berisi tambahan nasi dan lauk untukku. Dari ekspresinya, dia tampak tidak senang. Sekali lagi, ini bukan salahku. Dia sendiri yang bilang bahwa kami akan hidup sejahtera dan berkecukupan dengan gajinya sebagai pegawai negeri. Dia tidak keberatan jika aku menjadi pengangguran dan diam di rumah saja, hidup hanya dengan mengandalkan gajinya.

“Owen, kamu tidak keberatan kalau nanti cuci piring, kan? Aku harus mempersiapkan pakaian dan perlengkapan kerjaku. Besok hari pertama aku kerja dan akan ada penyambutan dari kepala sekolah. Aku harus tampil cantik dan meyakinkan. Kamu mau, kan?” bujuk Rati.

Aku membiarkan sendok menyangkut di bibirku, lalu mengerang keras sebagai jawaban. Rati lantas berjalan setengah melompat ke kamar. Dia tampak bersemangat sekali. Padahal hari masih cukup panjang dan dia bisa melakukan persiapan sore atau malam ini. Jangan-jangan dia berencana menjadikan aku sebagai pembantu rumah tangga mulai hari ini?

Dengan setengah hati aku mencuci seluruh benda yang tertumpuk di atas wastafel. Setelah selesai, aku masuk ke kamar dan menemukan Rati sedang tidur-tiduran di ranjang sambil bermain telepon genggam. Wajahnya yang ceria langsung berubah begitu aku datang.

“Katanya mau persiapan?”

“Aku sedang diskusi dengan calon rekan kerjaku yang baru. Kami bingung harus pakai baju apa besok. Hitam putih seperti saat pelantikan CPNS, memakai batik KORPRI, atau seragam kuning khaki sesuai jadwal.”

“Aku sudah cuci piring lebih dari setengah jam tapi masih belum selesai diskusi?” selidikku.

“Kamu enggak ikhlas? Cuma cuci piring, lho. Aku belum minta kamu masak atau cuci baju.”

“Belum? Jadi kamu berencana melakukannya?”

Rati hanya mengangkat bahu. “Kamu kan enggak kerja,” jawab acuh tak acuh.

Telepon genggamnya. Rati tidak pernah melepaskan telepon genggamnya walau sedetik saja. Aku yakin bisa menemukan sesuatu di sana. Namun, untuk sementara, aku harus membuat Rati lupa bahwa aku mencurigai dirinya. Aku harus mengalihkan perhatiannya. “Aku enggak kerja tapi bukan berarti aku bersedia kamu jadikan pembantu rumah tangga, Rati.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status