Share

Chapter #6

Hari Minggu kemarin, Mia tidak melihat sosok Rangga dan Radit sama sekali, padahal dirinya bolak balik keluar rumah untuk membeli sesuatu. Dibilang merasa kehilangan kehadiran mereka berdua, itu memang benar, tapi anehnya Mia lebih merasa kehilangan kehadiran Radit daripada Rangga, namun Mia menganggap perasaannya seperti itu karena ia masih merasa sakit hati atas kejadian kemarin, makanya dirinya lebih kehilangan sosok Radit.

Hari ini Mia bangun kesiangan, sebenarnya tidak siang banget, tapi karena ini hari Senin, jadi Mia merasa ia bangun kesiangan. Mia mempersiapkan diri dengan kecepatan tinggi, karena ia tidak mau telat lagi. Begitu juga saat Mia memasang sepatu, ia lupa menutup pintu rumahnya terlebih dulu.

"Nggak usah buru-buru, aku antar kamu." Tiba-tiba terdengar suara Radit tidak jauh dari posisi Mia sekarang.

"Jangan ngagetin." Kata Mia dengan nada kesal, karena dirinya benar-benar terkejut saat mendengar suara Radit yang muncul tiba-tiba tadi.

"Aku nggak ngagetin," Radit memelankan suaranya. "Dari tadi aku udah disini, kamunya aja yang nggak melihatku." Bela Radit.

Mia malu karena ternyata itu salahnya sendiri. "Sama aja," Mia tidak mau mengakui kalau itu salahnya di depan Radit. Mia berjalan mendekati Radit dan motornya yang sudah terparkir disana. "Aku nerima ajakanmu karena hari ini aku kesiangan," Mia membela diri dengan malu-malu.

Radit hanya tertawa kecil mendengar pembelaan diri Mia.

"Kenapa ketawa? Aku beneran, besok aku nggak bakal nerima ajakanmu, kalo kamu ngajakin aku bareng lagi." Mia masih membela diri.

Radit semakin gemas. "Oke oke, tenang aku besok nggak bakal antar kamu, besok aku harus ke Surabaya." Kata Radit, ia sudah melihat ke arah Mia kembali. "Lagian meskipun besok aku nggak ke Surabaya, emang kata siapa aku bakal antar kamu lagi?" Lanjut Radit dengan mengeluarkan senyum isengnya.

Pipi Mia semakin memerah karena malu. "Ngeselin banget sih," nada suara Mia sekarang terdengar benar-benar kesal. Lalu setelah mengatakan itu, Mia membalikkan badannya untuk jalan.

"Ngambekan banget sih," Radit membalik omongan Mia.

Karena dirinya dibilang ngambekan, Mia dengan cepat membalikkan badannya lagi, ia berjalan menuju Radit dan meraih helm yang tergantung di spion sebelah kanan motor Radit, dan langsung memakainya. "Cepetan!" Mia sedikit berteriak.

Radit bukannya marah, justru kembali tertawa. "Pegangan, aku bakal ngebut, biar kamu nggak telat." Ucap Radit saat ia sudah siap untuk melajukan motornya. Namun sampai beberapa detik setelah Radit berkata seperti itu, Mia masih belum pegangan pada Radit. Akhirnya Radit memutuskan tetap mengebut, dan benar saja, dengan segera Mia langsung melingkarkan kedua tangannya ke tubuh Radit. Radit merasakan desiran darah di sekujur tubuhnya saat mendapat pelukan tiba-tiba dari Mia, padahal dirinya sendiri yang menyuruh.

"Kamu ngapain ke Surabaya?" Tanya Mia saat motor sedang berhenti karena lampu merah.

"Ke rumah papaku." Jawab Radit singkat karena ia masih merasa gugup.

Mia terlihat seperti ingin menanyakan sesuatu kembali, tapi ia ragu. Namun meskipun begitu, Radit menyadari akan hal itu, padahal dirinya tidak sedang menatap langsung ke arah Mia.

"Kalau kamu mau nanya apa Rangga juga ikut, jawabannya iya, dia juga ikut." Radit menjawabnya dengan tenang. Perasaannya saat ini sudah lumayan baik daripada hari Sabtu dan hari Minggu kemarin.

"Aku nggak mau nanya itu," sela Mia dengan cepat, dan itu semakin membuat Radit yakin kalau Mia memang benar ingin menanyakan tentang Rangga.

"Terus kamu mau nanya apa?" Suara Radit sedikit kencang supaya Mia bisa mendengarnya.

Mia diam sebentar, lalu ia menjawab, "Aku nggak mau nanya apa-apa," namun suaranya pelan, jadi Radit tidak bisa mendengarnya.

"Apa?" Kali ini suaranya sangat kencang, Mia sampai reflek memukul pelan punggung Radit. "Salah siapa kamu ngomongnya pelan banget." Radit menyalahkan Mia.

"Aku nggak mau nanya apa-apa," suara Mia kali ini sedikit meninggi karena bercampur dengan perasaan kesal dan tidak sabar.

Mendengar jawaban Mia, Radit kembali tertawa, karena menurutnya Mia sangatlah tidak pandai berbohong, apalagi padanya. "Okelah," kata Radit dengan masih tertawa kecil.

Setelah itu sepanjang perjalanan menuju kantor Mia, mereka berdua hanya saling mengobrol tentang kehidupan sehari-hari mereka. Awalnya Radit ingin mengungkit tentang pengakuan Mia pada hari Sabtu kemarin, tapi karena ia melihat Mia sepertinya sedang tidak ingin membahas tentang Rangga, jadi Radit memilih mengurungkan niatnya.

Tidak lama kemudian, motor sudah mulai melambat, dan kemudian motor berhenti tepat di depan kantor Mia. Mia turun dari motor sambil melihat ke arah jam tangannya, dan jam tangannya menunjukkan pukul 7.57 WIB, itu menandakan Mia sampai di depan kantornya 3 menit sebelum jam masuk. Karena itu, Mia dengan cepat melepas helmnya dan menyerahkannya ke Radit, dan ia langsung berlari.

"Nanti aku jemput kamu!" Teriak Radit. Mia meresponnya hanya dengan lambaian tangan.

Setelah melihat sosok Mia sudah benar-benar masuk ke kantornya dan sudah tidak terlihat dalam jangkauan pandangannya, Radit segera menyalakan motornya kembali dan tidak lama kemudian motor kembali melaju cepat.

***

Sepuluh menit sebelum waktu pulang Mia, Radit sudah stand by di depan kantor Mia. Pikir Radit lebih baik dirinya yang menunggu daripada Mia yang menunggu dan ujung-ujungnya Mia akan pulang sendiri naik angkutan umum, dan akhirnya Radit kena marah Mia lagi. Radit menunggu kemunculan Mia dengan sabar, meskipun kakinya sudah kesemutan.

Ketika Radit memainkan ponselnya, sosok Mia sudah berdiri di depannya. Radit mendongakkan kepalanya dan mengalihkan pandangannya dari ponselnya ke arah Mia, lalu ia tersenyum.

"Ngapain kamu jemput aku lagi?" Dan ternyata pertanyaan yang keluar pertama kali dari mulut Mia adalah pertanyaan itu.

Namun Radit sudah tidak mau terlalu baper, jadi ia menanggapinya dengan santai. "Tadi pagi aku kan udah bilang, kamu juga nggak jawab nggak mau, jadi aku anggap kamu setuju."

"Meskipun begitu, kan aku udah bilang jangan antar jemput aku lagi." Suara Mia memelan karena tidak ingin orang-orang yang berada di dekatnya mendengar perbincangan mereka berdua.

Radit mengabaikan ucapan Mia, ia menyerahkan helm yang biasa Mia pakai ke arahnya. "Jadi kamu sekarang mau pulang sama aku apa nggak?" Radit memastikannya lagi ke Mia dengan menatap langsung ke kedua mata Mia.

Karena Mia tidak mau dirinya menjadi pusat perhatian, jadi dirinya tidak punya keberanian untuk menolak uluran helm dari Radit. Mia menerima helm dan segera memasangnya. Ketika Mia sudah selesai memasang helmnya, Mia menatap ke arah Radit lagi, dan melihat Radit sedang tersenyum lebar.

"Aku pulang sama kamu, bukan karena memang aku mau, tapi aku nggak mau orang-orang menganggapku aneh." Kata Mia sebelum naik ke motor Radit.

Dengan masih tersenyum lebar, Radit menganggukkan kepala. Setelah memastikan pada Mia, apakah dirinya sudah duduk dengan benar di belakang Radit, dan sudah mendapat jawaban dari Mia, Radit pun dengan cepat melajukan motornya dengan kecepatan yang tidak terlalu tinggi.

***

Keesokan harinya, ketika Mia akan berangkat kerja, Mia melihat rumah Rangga dan Radit sudah terlihat sepi. Mia sempat berhenti di depan rumah mereka berdua, dan menatapnya lama sebelum ia melanjutkan langkah kakinya untuk berangkat kerja.

Tidak seperti ketika diantar Radit, Mia menghabiskan waktu cukup lama di perjalanannya menuju kantor. Mia menatap ke arah luar jendela yang berada di sebelahnya, dan tanpa diduga Mia, sosok bayangan pertama yang muncul di pikirannya adalah Radit. Cukup lama Mia tidak tersadar akan hal itu, sampai akhirnya Mia tersadar akan siapa yang sedang dipikirkannya, dengan cepat Mia menggelengkan kepalanya, seolah-olah setelah Mia menggelengkan kepala bayangan Radit bisa hilang dari pikirannya.

Ketika Mia berusaha menghilangkan bayangan Radit dari pikirannya, Mia hampir kelewatan dari halte yang biasa ia turun. Lamunan Mia buyar, dan Mia segera turun ketika angkutan umum yang ia naiki sudah berhenti di halte tersebut.

Mia membenarkan posisi tasnya terlebih dulu sebelum ia melangkahkan kakinya menuju kantornya. Sepanjang ia berjalan, Mia bertanya-tanya kenapa sosok Raditlah yang ada di pikirannya padahal Mia sangat yakin siapa yang ia sukai saat ini. Namun setelah ia berpikir lama, akhirnya Mia beranggapan kalau hal itu terjadi karena beberapa hari ini Raditlah yang lebih banyak menghabiskan waktu dengannya.

"Kamu mau kemana?" Tiba-tiba Mia mendengar suara Lina. "Kamu nggak langsung masuk?" Tanya Lina lagi.

Dengan masih terlihat linglung, Mia menoleh dan menatap ke arah Lina dengan bingung. Mendapat tatapan heran dari Mia, Lina langsung menunjuk ke arah kantor yang sudah berada jauh dari posisi Mia sekarang. Setelah menyadari tingkahnya, Mia menundukkan kepalanya karena kesal pada dirinya sendiri dan malu pada Lina. Mia memutar tubuhnya dan berjalan mendekati Lina.

"Lagi ada masalah?" Tanya Lina dengan menatap wajah Mia dengan serius.

Mia mendongakkan kepalanya dan balik menatap Lina, lalu ia menggelengkan kepalanya sambil tersenyum kecil, sangat terlihat kalau senyuman itu adalah senyuman tidak ikhlas.

"Terus kenapa bisa kelewatan?" Lina masih terlihat penasaran.

Kali ini Mia tersenyum lebih tulus dari sebelumnya. "Cuma lagi mikirin sesuatu," Mia tidak sepenuhnya bohong, karena memang dirinya sedang memikirkan sesuatu.

"Ohh," Lina sudah terlihat tidak penasaran lagi. Mia menghela napas lega, karena Lina sudah tidak mencecarnya dengan pertanyaan-pertanyaan yang sedang tidak ingin didengar Mia.

Namun kelegaan hati Mia hanya bertahan selama beberapa menit, karena ketika mereka berdua akan masuk ke dalam ruangannya, Lina kembali bertanya sesuatu.

"Kamu lagi ada masalah sama pacarmu yaa?" Pertamanya Mia tidak tahu siapa yang dimaksud oleh Lina.

"Pacar?" Mia memasang wajah sangat bingung.

Lina tersenyum memperlihatkan giginya yang tertata dengan rapi. "Yang aku temui di depan kantor waktu itu," kata Lina.

Mia memutar otaknya untuk mengingat siapa yang dimaksud Lina, lalu tidak lama kemudian Mia menyadari maksud ucapan Lina, ia adalah Radit, mau nggak mau bayangan Radit kembali muncul di pikirannya. Baru kali ini Mia merasa sangat kesal pada Lina, padahal kalau dipikir-pikir lagi, Lina tidak salah.

"Kan aku udah bilang, dia bukan pacarku." Suara Mia sangat terdengar kesal dan tegas, sampai Lina merasa sungkan.

"Sorry," ucap Lina benar-benar terdengar tulus.

Mia sudah duduk di kursinya terlebih dulu, baru setelah itu Lina duduk di kursinya yang berada di samping Mia.

"Nggak, nggak papa, cuma emang dia bukan pacarku, dan nggak bakal jadi pacarku." Ujar Mia sangat yakin.

Lina mendekatkan kursinya ke arah Mia. "Kenapa?" Tanyanya lagi dengan ekspresi wajah lebih serius dari tadi.

Melihat ekspresi wajah Lina yang seperti itu, membuat Mia tertawa. "Wajahmu gitu banget sih," Mia sengaja tidak menjawab pertanyaan Lina.

"Makanya kenapa?" Lina masih mencecarnya.

Mia diam sejenak, lalu ia menjawab, "Karena nggak mungkin, kita berdua sangat berbeda," suaranya terdengar sangat yakin, berbeda dengan raut wajahnya yang terlihat tidak meyakinkan.

Mendengar jawaban Mia, Lina terlihat kecewa. Lina memundurkan kursinya kembali dan mulai melakukan pekerjaannya. Mia lega karena Lina sudah menyerah.

Ketika Mia akan bekerja, tiba-tiba pak Adli menghampirinya. "Mia, kamu bisa ke ruangan saya sebentar?" Tanya pak Adli dengan masih membawa tasnya, menunjukkan kalau beliau masih belum masuk ke dalam ruangannya dan langsung menghampiri Mia.

"Bisa Pak." Jawab Mia tegas. Mia membuntuti pak Adli menuju ruangannya.

***

Tidak terasa sudah berjalan 4 hari sejak Mia ditinggal oleh Rangga dan Radit ke Surabaya, dan selama 4 hari itu Mia akhirnya menyadari kalau kehadiran mereka berdua sangat berarti baginya. Mungkin jika ada orang yang mendengarnya, ia akan menganggap Mia berlebihan, namun itulah yang dirasakan Mia selama 4 hari itu.

Mia sangat menunggu-nunggu hari esok, karena besok adalah waktunya Rangga dan Radit pulang, meskipun lebih tepatnya yang Mia tunggu-tunggu adalah Rangga. Mia berniat ingin mengajak Rangga dan Radit ke suatu tempat, tempat yang baru saja Mia datangi kemarin.

Hari ini Mia lebih semangat dari beberapa hari sebelumnya, penyebabnya adalah karena dari pagi Mia sudah membayangkan raut wajah Rangga yang berbinar ketika diberitahu tempat yang indah itu oleh Mia. Mia tidak terlalu memikirkan reaksi dari Radit, karena baginya itu tidak sepenting reaksi dari Rangga.

"Ngapain ketawa-ketawa sendiri," tiba-tiba sosok Roy, salah satu rekan kerjanya, sudah berada tepat di belakang kursi Mia.

Mia terkejut karena ia tidak menyadari kehadiran Roy. Mia tersipu malu sudah ketahuan ketawa-ketawa sendiri, Mia hanya bisa mengeluarkan senyum malunya.

Tidak mendapat jawaban dari Mia, Roy kembali mengatakan sesuatu, "Aku mau ngambil itu," kata Roy sambil menunjuk ke arah aksesoris yang sedang dipegang Mia.

Mia mengalihkan pandangannya menuju ke arah yang ditunjuk Roy, dan ia langsung tersadar, dirinya belum menjalankan tugasnya untuk memberikan aksesoris yang sedang dipegangnya ini, ke Roy. "Oh maaf, aku lupa." Mia mengucapkan maaf setulus mungkin.

Roy tersenyum. "Nggak masalah, sebenarnya akunya aja yang terlalu nggak sabaran." Roy menenangkan Mia.

Namun meskipun begitu, Mia masih merasa bersalah. "Maaf ya," ucapnya lagi sambil menyerahkan bungkusan yang berisi aksesoris pada Roy.

"Nggak papa," kali ini Roy berhasil meyakinkan Mia. Setelah itu Roy langsung kembali ke ruangannya sambil membawa bungkusan aksesoris itu.

Mia terduduk di kursinya dengan lemas, karena ia kesal dengan dirinya sendiri, kenapa bisa dia sampai lupa seperti itu hanya karena ia sedang memikirkan sesuatu yang nggak terlalu penting, bahkan sampai merepotkan orang lain.

Ketika Mia masih memasang wajah melas, sosok Lina datang menghampirinya, lebih tepatnya berjalan menuju tempatnya yang berada di sebelah tempat Mia.

"Kenapa?" Tanya Lina tidak sambil menatap ke arah Mia.

Mia menoleh ke arah Lina, Lina pun akhirnya menoleh ke arah Mia, dan menatapnya dengan tatapan yang membingungkan. Lina tidak tahu apa arti dari tatapan Mia. "Dimarahin pak Adli lagi?" Lina berubah menjadi serius.

Dengan cepat Mia menggelengkan kepalanya. "Nggak, aku lupa nggak bawa aksesoris ke ruang sebelah." Mia menjelaskan maksudnya pada Lina.

"Terus kenapa? Kan itu nggak terlalu buru-buru juga nggak papa," Lina balik menatap Mia dengan bingung.

"Sama aja," Mia menyesalinya karena dirinya biasanya termasuk tipe seseorang yang profesional.

Lina masih menatapi Mia dengan bingung, namun Mia sudah mengalihkan tatapannya dari Lina. Melihat Mia tidak bakal menatapnya lagi, Lina pun akhirnya mengalihkan tatapannya juga. Mereka berdua pun akhirnya sama-sama sibuk dengan tugasnya masing-masing.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status