Bel pintu dibunyikan selama beberapa kali, berharap si pemilik rumah akan merespon dan keluar. Namun hingga beberapa menit setelahnya, pintu itu tak menunjukkan adanya pergerakan sama sekali dan dari dalam tak terdengar suara langkah kaki mendekat menuju pintu.
Teresa membuang napasnya pelan lalu menatap Alex yang berada di sebelahnya, "Kurasa tak ada orang di sini," ujarnya.
"Apa mungkin Isla dan ibunya mendadak ada keperluan? Tapi Isla bisa saja menghubungimu, kan. Ini semakin aneh," ujar Alex.
"Isla selalu menghubungiku jika ada sesuatu dan dia tak pernah seperti ini sebelumnya. Jadi aku merasa kalau ada yang tidak beres di sini." Teresa menatap pintu di depannya. Kemudian gadis itu tak sengaja melihat sebuah retakan di permukaan tanah yang terletak tidak jauh dari posisinya dan Alex.
"Ada apa?" Alex segera berjalan mengikuti langkah Teresa saat gadis itu berjalan ke suatu tempat.
"Lihatlah, tanah ini terbelah seperti sehabis dilanda
"Aku sudah tidak kuat lagi." Isla menjatuhkan kedua lututnya di atas permukaan salju. Bibirnya sudah terlihat semakin pucat seiring dengan semakin turun suhu tubuhnya.Angin yang bertiup cukup kencang dan seolah mengiris setiap permukaan kulitnya.Kedua tangan Isla mengepal kuat salju-salju di sekitarnya. Ia tak berhasil menemukan Rhys dan pria itu pun tak berhasil menyusulnya, entah apa yang telah terjadi.Namun di tengah perasaan putus asanya, Isla melihat sesuatu yang berada di kejauhan. Kedua matanya lalu menyipit, mencoba mengenali objek itu sebelum akhirnya ia bangkit dan dengan sekuat tenaga gadis itu bangkit dari posisinya dan berlari ke sana."RHYS!" Isla langsung mengangkat tubuh Rhys yang sudah dingin. Gadis itu menjatuhkan air matanya saat pria yang ada di pangkuannya itu benar-benar tak meresponnya sama sekali. Ia menyentuh salah satu pergelangan tangan daj juga leher milik Rhys, memeriksa apakah masih terdapat denyutan nadi
Isla perlahan berjalan keluar dari kamarnya dan ia berjalan mendekati sebuah pintu yang lain yang terletak tidak jauh dari posisi kamarnya. Gadis itu terdiam selama beberapa saat di depan ruangan itu sebelum akhirnya ia mengetuk pelan permukaan pintu itu setelahnya, namun tak terdengar adanya respon sedikit pun."Apa dia belum sadar?" Isla membatin. Ia lalu perlahan memegang handle pintu dan menggerakkannya ke bawah, membuat pintu itu perlahan terbuka hingga gadis itu bisa melihat keadaan di dalam sana secara langsung."Rhys?" panggilnya pelan. Ia melihat Rhys yang masih terbaring di atas tempat tidur dengan luka-luka yang membalut tubuhnya."Lukanya parah sekali," batin Isla. Gadis itu menelan ludahnya sebelum akhirnya ia duduk di pinggiran tempat tidur milik Rhys agar bisa melihat keadaan pria itu secara lebih dekat.Dengan jarak yang dekat, ia bisa melihat wajah Rhys yang begitu terlihat lelah."Maaf karena tak bisa membantumu,
Isla menghidupkan ponselnya dan gadis itu mendapat banyak sekali notifikasi yang masuk, terutama dari Teresa. Persis seperti dugaannya sebelumnya, Teresa berusaha meneleponnya selama berkali-kali dan gadis itu juga mengiriminya banyak pesan.Karena tak tega membiarkan sahabatnya diselimuti rasa cemas yang cukup besar terhadapnya, akhirnya Isla pun memutuskan untuk membalas pesan yang dikirimkan oleh Teresa. Hingga kurang dari lima menit, ponsel milik Isla berbunyi pertanda adanya sebuah panggilan yang masuk ke ponselnya. Gadis itu lalu mengeceknya dan ternyata benar, kalau itu adalah telepon masuk dari Teresa."Halo?" Isla menempelkan ponselnya di sebelah telinga."Isla? Apa ini benar-benar kau, Isla?" tanya Teresa yang berada di seberang sana, berusaha meyakinkan karena Isla yang pergi menghilang entah ke mana selama beberapa hari dan secara mengejutkan gadis itu membalas pesan yang pernah dikirimkannya beberapa hari lalu.Isla terkikih pelan
"Dilaporkan bahwa akan terjadi badai dari arah barat menuju ke arah Swedia dengan kecepatan sekitar 20 km/jam. Diperkirakan badai ini akan melintas dalam kurun waktu satu hari. Pemerintah menghimbau agar masyarakat pergi ke tampat yang aman demi keselamatan masing-masing dan berlindung di ruangan bawah tanah.""Ini tidak bagus." Isla mencebikkan bibirnya. Maria yang duduk tepat di sebelahnya hanya memandangi layar TV sebelum akhirnya wanita itu membuang napasnya pelan."Ingat, Isla. Jangan pergi ke mana pun mulai nanti malam dan tetaplah berada di rumah. Kita akan berlindung di ruang bawah tanah," ujar Maria.Isla mendengkus pelan, "Aku benci musim panas kali ini. Kita bahkan seperti tak diizinkan liburan di pertengahan tahun ini. Padahal tahun-tahun sebelumnya tak pernah seperti ini," ujarnya."Mungkin jika besok pagi badai itu benar-benar akan mengamuk saat sampai di negeri ini, semua sekolah kemungkinan akan diliburkan." Maria membawa gelas-gelas
Isla memasuki ruangan kelasnya dengan langkah yang tergesa dan di dalam ruangan itu ternyata Teresa sudah bersiap menyambutnya. Sahabatnya itu sudah bersiap berlari menghampiri Isla dan memeluknya dengan erat namun tubuh Teresa justru membeku di detik berikutnya."Isla, kau—""Hm? Ada apa?" Gerakan kedua kaki milik Isla pun memelan secara perlahan dan menatap Teresa dengan pandangan yang sulit diartikan."Siapa ... " Teresa yang masih terbengong-bengong itu pun berjalan mendekati Isla secara perlahan dan kedua tangannya terangkat, memegang kedua sisi wajah Isla dan menatap gadis itu dalam jarak yang dekat. "Siapa yang melakukan ini, Isla?" ujar Teresa.Ucapan Teresa itu lalu membuat orang-orang yang ada di kelas menoleh dan mereka terkejut melihat keadaan Isla. Memang terlihat tak begitu parah, namun wajah gadis itu terlihat tergores oleh sesuatu di beberapa bagian dan kedua kakinya juga terlihat terdapat beberapa lecet."Ah
Kedua mata Isla terbuka dan gadis itu langsung mendudukkan tubuhnya dengan napas yang tersengal. Namun hal pertama yang dilihat Isla begitu ia membuka kedua matanya adalah gelap. Hanya ada setitik cahaya kecil yang berasal dari lilin yang mungkin sebelumnya telah dinyalakan oleh ibunya yang diletakkan di atas nakas tepat di sebelah tempat tidur milik gadis itu.Isla lalu bangun dari posisinya dan ia membuka tirai jendela kamarnya yang sudah ditutup. Kedua matanya membulat saat mendapati kalau keadaan di seluruh kota juga semuanya padam, tak ada satu pun rumah yang listriknya menyala.Apa yang terjadi?Dengan segera Isla keluar dari kamarnya dan menuruni satu per satu anak tangga."Ibu, kenapa semuanya gelap sekali?" tanya Isla. Gadis itu berjalan menghampiri ibunya yang tengah duduk di sebuah sofa yang terletak di depan perapian yang terasa begitu hangat dan menenangkan."Entahlah, ibu juga tak tahu ada apa. Beberapa waktu
Gerbang segera ditutup oleh penjaga tidak lama setelah Isla berlari melewatinya. Gadis itu segera berlari memasuki lobi sekolahnya namun tepat sebelum ia benar-benar masuk, entah kenapa tiba-tiba kedua kaki milik gadis itu tiba-tiba saja berhenti dengan sendirinya bahkan tanpa ia perintah."Kenapa perasaanku tiba-tiba tak enak?" gumam Isla. Kedua kakinya perlahan bergerak mundur, namun suara penjaga sekolah yang berada tidak jauh di belakangnya itu membuatnya terkesiap pelan."Apa yang kau lakukan di situ? Kenapa diam saja? Bel jam pertama sudah mau berbunyi jadi cepatlah masuk!" ujar sang penjaga sekolah. Hal itu membuat Isla segera memasuki lobi sekolahnya. Namun di sepanjang koridor perasaannya mendadak begitu tak tenang entah kenapa, padahal tadi ia masih merasa baik-baik saja saat sampai di sana. Kedua kakinya berlari melewati koridor dan menaiki satu per satu anak tangga menuju kelasnya hingga gadis itu benar-benar sampai di sana.T
Kedua lutut Maria seketika langsung terasa lemas sesaat setelah Teresa dan Alex mengantarkan tas milik Isla pulang ke rumah. Kedua remaja itu tampak begitu sedih atas apa yang terjadi kemarin dan terutama Teresa, yang merupakan orang terakhir yang bersama dengan Isla. Gadis itu benar-benar merasa menyesal karena sudah membiarkan Isla pergi sendirian kemarin, padahal dia sendiri harusnya menemani gadis itu dan memastikan kalau sahabatnya itu benar-benar berada di dalam ruang kesehatan dengan aman. Bahkan hingga hari ini, Maria masih tak bisa menenangkan dirinya sendiri. Beberapa minggu terakhir Isla memang cukup mengalami hal seperti ini dan menghilang secara tiba-tiba tapi hal itu tetap saja membuat Maria dilanda rasa cemas yang begitu luar biasa dan juga bahkan ia tak bisa makan dengan benar dan bahkan untuk masak saja ia rasanya enggan, karena di dalam kepalanya wanita itu hanya memikirkan keselamatan putrinya yang sekarang entah sedang berada di mana dan dengan siap