Saras benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran Kabir dua hari belakangan ini. Semenjak keduanya memulai dan menerima satu sama lain, sikap laki-laki itu berubah menjadi aneh. Selalu berubah-ubah dalam sekejap.
Benar-benar membuat perasaan Saras menjadi resah. Tinggal kembali di rumah membuat rasa bosan melanda. Apalagi mengingat tentang peristiwa bagaimana Kabir bercinta dengan sang mantan kekasih. Tepat di ruang tamu yang tengah diduduki oleh Saras.
Seulas senyum kecut terbingkai di wajah. Selalu saja kenangan buruk yang terlintas di kepala. Berusaha melupakan rasanya susah. File tersebut susah untuk dihalau. Saras tidak tahu bagaimana ke depannya nanti. Ia sudah pasrah dengan jalan takdirnya sendiri.
Ketukan dari pintu membuyarkan berbagai keresahan dan lamunan Saras. Ia beranjak dari duduk menuju ke arah pintu. Membukakan pintu melihat siapa yang datang bertamu.
Matanya mem
Kasian Saras.Apakah penceraian akan menjadi solusinya? Atau malah sebaliknya?
Kabir bungkam, kata-kata Fadhilla membuat hatinya tertohok. Ia melupakan hal penting itu; laki-laki bodoh nan pengecut sepertinya sangat tidak pantas menjadi seorang ayah. Membayangkan saja, Kabir merasa tidak mampu. Memiliki seorang anak dari wanita yang berbeda membuat ia takut tak bisa berbagi kasih sayang pada anak itu. Di sisi lain, hatinya sangat menginginkan Saras. Namun di satu sisi, ia merasa bertanggung jawab atas kesalahannya sendiri. "Tidak bisa, 'kan?!" Fadhillah kembali bersuara. Nadanya meninggi, wajah sudah sembab oleh buliran bening. "Sungguh, aku sangat menyesal menikah denganmu! Bodoh memang," lanjut Fadhillah, terus mengutarakan apa yang selama ini menyesakkan di ulu hatinya. Kabir menatap kosong ke lantai, seolah mencari jawaban di sela-sela retakan ubin. Setiap kata yang keluar dari mulut Fadhillah bagaikan palu yang menghantam hatinya tanpa ampun. Rasa sabar wanita itu sudah habis, hatinya sudah mati rasa. Tidak ada lagi rasa cinta yang Fadhillah rasakan
Fadhillah merasa bersalah kepada Saras. Ucapan Saras membuat Fadhillah merasa sakit hati. Memang benar sih lebih baik melepaskan daripada bertahan dengan seorang pengkhianat. Fadhillah menatap layar ponselnya di mana pesan dari Kabir muncul, Kabir memberitahukan bahwa laki-laki itu tidak bisa menjemput dengan alasan ada meeting yang tidak bisa ditunda. Fadhillah memaklumi, di sisi lain ia merasa kesepian. Sikap Kabir yang sekarang berbeda dengan yang dulu. Sementara Saras, ia menghela napas pelan setelah berjalan jauh dari kafe menuju halte bus. Saras terduduk, pikiran berkecamuk. Sudut bibir mengulas senyum tipis, terlalu banyak luka yang ditorehkan oleh Kabir membuat Saras memendam rasa benci. "Jangan melamun, Ras!" Lamunan Saras buyar, tubuh menegang, kepala menoleh ke samping. Di sana, seorang laki-laki berambut hitam undercut ikut duduk di sampingnya dengan menciptakan sedikit jarak di antara mereka. "Gemintang? Ngapain di sini, bosen banget ketemu sama kamu." Saras berkel
"Rasanya sepi, Ras. Enggak ada kamu di kantor." Saras tersenyum kecil mendengar kelakar dari Marcello. Kepala tertunduk menghirup bau Caramel Latte pesanannya. Lalu menyeruput dengan pelan. Niat hati ingin menghilangkan beban pikiran, malah bertemu dengan Marcello yang sehabis meeting dengan klien. "Masih ada pegawai yang kompeten kali di sana. Lagian ya kalo dipaksain, nanti malah rentan keguguran. Sayang banget soalnya," ucap Saras sembari mengelus perutnya yang sebentar lagi akan buncit. Marcello menanggapi dengan tawa kecil. Seharusnya Kabir kala itu bersyukur memiliki Saras. Ah, sudah pada dasarnya skenario Tuhan, tidak ada yang tahu akan seperti apa ke depannya. "Ras ...." Marcello memanggil, ragu ingin bertanya kepada wanita itu. Dipendam, rasanya akan penasaran. Bertanya, takut membuat Saras tersinggung. Sebab, pertanyaan yang akan diajukan bersifat pribadi dan terkesan sudah berada di jalur masing-masing. "Kenapa?" Saras bertanya, menatap Marcello sekilas. Lalu mengedark
Saras tersenyum miris melihat berbagai foto mesra dan penuh kemewahan dari akun media sosial Fadhilah. Ada sedikit rasa cemburu di hati melihat keduanya kini telah resmi bersanding sebagai suami-istri. Saras bukannya tidak bisa mengiklaskan laki-laki itu, hanya saja ia tak suka melihat orang yang sudah membuatnya terluka berbahagia di sana. Tangan mengelus perut yang sebentar lagi akan terlihat membuncit. Bibir tertarik ke atas membentuk senyuman kecil. Tak terasa ia melalui hari-hari sendirian, tidak terlalu sendirian. Dibantu oleh kedua orang tua, yang nekat keduanya ingin menetap di Jakarta. Saras senang, di sini merasa dimanjakan. Tidak hanya sang mama kandung, mama mertuanya juga sering datang menjenguk sambil membawakan berbagai jenis makanan. Katanya, untuk anak Saras. "Ras, kamu yakin mau lanjut kerja?" tanya Lia yang kebetulan sedang berkunjung ke rumah. Saras yang sedang asik menyantap rujak buatan sang mama mertua ralat mantan mertua, berhenti sejenak. Setelah dipikir-pik
Saras terdiam, pandangannya begitu lekat menatap manik mata Gemintang. Ulu hati terasa sesak, ia penasaran dengan alasan apa yang Gemintang sembunyikan sampai memilih pergi meninggalkan tanpa sebuah pesan. Namun, rasa sakit ditinggalkan, juga patah hati berbulan-bulan, membuat ia enggan mendengarkan. Akan tetapi, kala melihat binar sendu dan penuh harap dari laki-laki itu, membuat hati Saras goyah. "Aku sudah memaafkanmu, tetapi aku tidak bisa memberimu kesempatan untuk mengisi ruang di hatiku. Dulu, aku sudah memberimu kesempatan itu, tetapi kamu malah pergi meninggalkan begitu saja. Jujur Gem, aku enggak mau sakit hati untuk kedua kalinya," ucap Saras menarik sudut bibir dengan tipis, ia tidak yakin jikalau itu sebuah senyuman. Gemintang mengerti, ia terlalu pengecut untuk sekadar menyapa kembali. Atau bahkan mengirimi Saras pesan sebelum pergi. Ia hanya tak mau, Saras mengetahui bagaimana latar belakang keluarganya. Apalagi Saras merupakan anak yang bahagia memiliki keluarga utuh.
Satu bulan berpisah dengan Saras membuat Kabir mau tidak mau mengiakan permintaan sang ibu, yang meminta untuk menikahi Fadhillah demi anak yang tengah dikandung. Berat rasanya mengiakan permintaan itu, apalagi sekarang Kabir benar-benar sudah jatuh cinta kepada Saras. Mengapa semua yang terjadi terasa tidak adil untuk Kabir. Penyesalannya masih menyelimuti benak. Tatapan mata begitu kosong ke arah depan tak terelakkan. Batin bertanya-tanya bagaimana kabar Saras di sana. Apakah wanita itu hidup dengan baik? Lalu siapa yang memenuhi momen ngidam dari wanita itu? Banyak sekali pertanyaan yang berputar di kepala tentang sosok wanita yang mulai mengambil tempat di hati Kabir. Pertemuan kemarin dengan Gemintang, mampu membuat Kabir menyimpulkan. Bahwa Saras merupakan wanita yang sulit digapai kembali. Kabir sadar, sudah banyak luka yang ditorehkan pada hati wanita itu. Kabir merasa malu kepada dirinya sendiri, andaikan saja dulu ia lebih bisa menghargai dan juga membuka mata tentang rasa