Masuk“Cia juga ada di sini,” ujar Cinta mengingatkan Bias ketika mereka memasuki kamar hotel, “jadi–”“Aku tau, aku tau,” putus Bias sambil meletakkan Cibi yang masih terlelap di tempat tidur, “aku sama dia sudah nggak ada apa-apa, jadi nggak usah curiga terus.”Cinta tidak menjawab. Ia hanya tersenyum miring dan berharap tidak ada drama yang terjadi di pernikahan Altaf nanti malam.“Aku tinggal ke kamar Altaf bentar nggak papa?” tanya Cinta.“Tinggal aja, mumpung dia masih tidur.”“Oke, aku nggak lama,” ucap Cinta menghampiri Bias dan memberi satu kecupan singkat di bibir sang suami lalu keluar menuju kamar Altaf.Sejak semalam, perasaannya benar-benar tidak nyaman dan khawatir akan terjadi sesuatu. Karena itulah, sejak bangun tidur pagi tadi, Cinta selalu berkirim pesan atau menelepon Altaf untuk memastikan pria itu tidak melepas tanggung jawabnya.Pintu terbuka tidak lama setelah Cinta menekan bel pintu kamar kakaknya.“Sudah makan?” tanya Cinta setelah Altaf mempersilakannya masuk.“Su
“Mas Altaf ada?” tanya Ranu pada sekretaris Altaf.“Eh, Ranu, maksud saya Bu Ranu.”Ranu terkekeh. “Ranu aja Mbak Atik, nggak usah pake ‘bu’ segala.”“Kan, nggak enak,” ucap Atik terkekeh sungkan, “besok statusnya sudah jadi Ibu Boss.”“Nggak ada yang berubah, Mbak, sama aja.” Ranu menunjuk pintu ruang kerja Altaf. “Mas Altaf ada?”“Ada, ada.” Atik bengong sesaat. “Emang nggak ngabarin dulu?”Ranu tersenyum kecil sembari menggeleng. “Kejutan. Soalnya kami nggak dibolehin ketemu. Dipingit!”“Ohh, iya, iya.” Atik mengangguk paham. “Aku masuk dulu, ya,” ujar Ranu meminta izin terlebih dahulu, “nggak papa, kan? Lagi nggak ada tamu di dalam?”“Nggak ada dan kayaknya nggak papa deh,” ucap Atik, “Pak Altaf pasti seneng bisa ketemu kamu.”Ranu meringis. “Masuk dulu, Mbak. Makasih,” ucapnya kemudian mengetuk pintu ruang kerja Altaf dua kali. Setelah itu, ia membuka pintu dan menyembulkan kepalanya lebih dulu. “Halooo.”Altaf yang tengah mengecek laporan di layar komputer berdiri seketika. Ia
Dinda menguap keras saat baru menutup pintu rumah. Melihat Ira tengah sibuk merapikan kain jahitan, ia pun menghampiri. Langsung berbaring di lantai, di depan mesin jahit.“Mandi, tidur,” ucap Ira sambil melipat beberapa kain yang sudah dipotongnya, “sudah makan belum?”Dinda kembali menguap, mengangguk pelan. Ia bingung, bagaimana harus memberitahu perihal rumah yang sudah lengkap dengan isinya pada Ira. Bisa-bisa, Ira meminta Dinda untuk tidak menempati rumah tersebut, jika tahu Altaf yang membeli seluruh isi di dalamnya. “Bu, nggak usah nerima jahitan lagi, ya,” pinta Dinda menatap Ira dengan mata yang berat, “selesai pesanan yang ini, kita pindah biar nggak ada tanggungan. Atau, nanti kita pasang aja di depan kalau ibu pindah rumah. Jadi, langganan Ibu bisa datang ke rumah baru kalau mau jahit baju.”“Kalau kamu kerja, Ibu gimana? Kesepian, nggak ada tetangga.”Dinda menghela panjang saat mendengar alasan yang sama dari ibunya. “Terus gimana? Kerjaanku juga makin banyak. Kalau bo
Dinda mendorong pagar rumahnya lalu masuk untuk memarkirkan motor di carport. Setelah menutup dan mengunci pagar kembali, ia terdiam. Pandangannya tertuju pada rumah impiannya yang selesai direnovasi, dan terasa jauh lebih hidup dari sebelumnya.Pagi itu, sebelum berangkat ke kantor, Dinda sengaja mampir untuk melihat langsung hasil akhirnya. Selama proses renovasi, ia hanya menerima foto dan video dari Altaf serta tukang. Selebihnya, inilah pertama kalinya ia benar-benar menginjakkan kaki kembali ke rumah itu.Beban pekerjaan yang menumpuk akhir-akhir ini membuat Dinda nyaris tidak punya waktu luang. Bahkan untuk sekadar menyempatkan untuk melihat tempat yang sudah lama ia impikan. Kini, Dinda berdiri di hadapan rumahnya sendiri dengan rasa bangga yang menghangatkan dada, meski harus menyicil beberapa tahun lagi. Akan tetapi, saat menyadari jendela ruang tamunya tertutup gorden dari dalam, Dinda pun buru-buru membuka pintu rumah dan terpaku. Dinda menahan napas saat matanya menangk
“Jangan terlalu dekat sama Altaf,” pesan Ira setelah turun dari motor dan melepas helmnya, “dia sudah mau nikah, jadi, jangan nyelip di antara Altaf sama calon istrinya.”Dinda melipat bibir. Akhirnya, ia tahu apa yang ada di pikiran Ira ketika mereka tengah melihat rumah. Namun, kenapa ibunya bisa sampai memiliki pemikiran seperti itu?“Aku nggak dekat sama mas Al.” Dinda membela diri karena kenyataannya memang seperti itu. “Kami juga nggak pernah jalan bareng, jadi, yaaa … ya nggak dekat. Ibu jangan salah paham, dia itu cuma nganggap aku adek.”“Kata siapa?”“Kata mas Al sendiri.”“Tapi kamu orang, bukan adeknya.”“Tapi–”“Jangan rusak pertemananmu dengan Cinta yang sudah terjalin bertahun-tahun,” putus Ira. Ia harus memperingatkan Dinda, karena perasaan putrinya tidak sesensitif Ira. “Kalau Altaf single, Ibu nggak ngelarang-larang. Jadi, tolong jangan deket-dekat lagi sama Altaf, ya.”“Tapi, kan, dia nggak ada perasaan sama aku, Bu. Mas Al itu sudah mau nikah. Punya pacar, calon is
Mulut Ira terbuka lebar saat menatap rumah baru yang dibeli putrinya. Ia menyerahkan helm pada Dinda, lalu berjalan pelan di area teras. Menatap tidak percaya.“Kamu nggak jadi simpanan orang, kan, Din?” Tatapan Ira berubah curiga seketika pada putrinya. Meski mimik wajahnya sedikit bercanda.“Nggaklah, Bu,” jawab Dinda sambil menggandeng lalu membawa ibunya memasuki pintu rumah. Saat mereka datang, pagar sudah terbuka dan Dinda melihat dua orang pria sedang berada di atas atap. Sepertinya, mereka adalah tukang yang diperintahkan untuk mengecek rumah tersebut. Namun, ke mana Altaf? Dinda tidak melihat mobil pria itu terparkir di depan rumah, maupun di carport. “Ini semua hasil jerih payah nuyul sana sini,” lanjut Dinda kemudian terkekeh sambil memasuki rumah barunya. Ira tertawa geli. “Ibu serius nanyanya. Kamu DP berapa puluh juta? Terus, cicilannya nanti sampe berapa tahun? Sanggup bayarnya?”“Doain program yang kuajuin meledak, Bu,” pinta Dinda mulai serius dan enggan menjawab p







