INICIAR SESIÓNBriana tersenyum miris melihat sekat jeruji yang membatasi pertemuannya dengan Kiano. Sama persis ketika Ciara berkunjung untuk menemuinya.Namun, suasananya jauh berbeda ketika ia bertemu dengan Desty. Mereka bicara di ruang khusus, tanpa jeruji, tanpa tatapan penjaga yang mengintai di ujung ruang. Percakapan mengalir lebih tenang di antara mereka. Dan untuk sesaat, Briana merasa seperti manusia biasa lagi, bukan tahanan yang dicurigai.Sungguh, seperti inilah kesenjangan yang nyata antara orang yang benar-benar memiliki kuasa kuasa dan yang tidak.“Apa yang mau kamu bicarakan?” tanya Kiano pelan sambil mencondongkan tubuhnya.“Kenapa kamu nggak pernah datang nengok aku?” Briana bertanya balik dengan wajah dan intonasi datar. “Dua kali sidang, tapi batang hidungmu itu nggak pernah muncul sama sekali.”“Itu karena perbuatanmu sendiri, kamu berencana melenyapkan Cinta, anakku, darah dagingku.”“Bagaimana dengan Ranti?” tembak Briana to the point.“Ranti?” Kiano mengerjap dan menegakkan
“Sekali ini aja, Pa.” Ciara mulai merengek untuk membujuk Kiano. “Please temui mama.”“Sudah Papa bilang, Papa nggak akan nemui mamamu,” ucap Kiano tanpa melepas tatapannya pada laptop di pangkuan. Ia sedang bersantai, setelah menikmati sarapan pagi bersama Ciara dan Farhan. “Papa nggak bisa maafin dia karena sudah berencana melenyapkan Cinta. Mau sebenci apa pun mamamu dengan Cinta, dia itu tetap anak Papa.”“Aku tau perbuatan mama nggak bisa dibenarkan, tapi sebagai orang yang pernah saling mencintai, kenapa Papa nggak punya rasa empati sedikit aja sama mama?”Kiano menghela panjang, lalu menatap Ciara yang duduk di sofa di sebelahnya. “Cia, jangan bikin Papa mengulang kalimat yang sama. Sekarang pergilah ke restoran.”“Papa jahat!” Ciara bangkit dan menghentak kaki. Ia pergi meninggalkan Kiano ke kamarnya di lantai dua.Di kamar, Ciara mengambil tas dan kunci mobil. Tangannya sedikit gemetar karena amarah yang menumpuk di dalam dada. Bisa-bisanya Kiano tidak punya rasa belas kasiha
“Tarik napas, tenang,” pinta Altaf setelah menceritakan obrolannya dengan Felix kemarin dan membeberkan isi dari berkas yang dibawanya. Wajah Cinta sudah mengeras, emosi adiknya itu terlihat akan meledak. Tangannya di pangkuan sudah mengepal dan kilatan matanya pun menunjukkan amarah yang hampir tidak terbendung.“Minum dulu,” pinta Alma sambil mengusap punggung Cinta dan menyodorkan segelas air hangat pada menantunya.Sebelum Altaf bicara dengan Cinta, Danuar meminta Alma untuk menemani pertemuan kakak dan adik itu. Karena disadari atau tidak, Cinta tidak pernah membantah Alma dan selalu menuruti perkataan mama mertuanya. “Mama tau masalah ini beresiko membuat kamu stres,” ucap Alma masih mengusap pelan punggung Cinta, “tapi, lebih baik kamu tau sekarang dari Altaf, daripada kamu tau nanti, waktu di persidangan. Atau, mungkin dari orang lain.”Cinta meminum air hangatnya dengan perlahan. Setelahnya, ia mengatur napas berulang kali agar emosinya tidak semakin memuncak. “Mau istirah
“Salinannya sudah ketemu?” tanya Desty duduk di seberang Bias. Pria itu menyempatkan diri datang menemuinya di sebuah kafe untuk membahas kasus yang menimpa Briana. “Saya belum dikasih kabar,” jawab Bias menyalakan layar ponselnya di meja. Tidak melihat ada notifikasi dari Altaf, “tapi, katanya hari ini. Jadi, gimana, Bu? Apa yang mau Ibu obrolkan?”Desty mengangguk singkat. “Pertama, sepertinya Briana nggak tau kalau Kiano dan Ranti punya perjanjian pra nikah. Kedua, ada yang Briana sembunyikan. Dan dia akan tetap diam untuk menjamin masa depan Cia dan Farhan. Coba pikir, siapa yang memegang kendali Cia dan Farhan sekarang?”“Pak Kiano,” jawab Bias mengerut dahi. Kenapa masalah yang ada menjadi rumit seperti ini?“Betul!” seru Wahyu. Sebelumnya, ia sudah membahas semua hal dengan Desty selama perjalan. Jadi, Wahyu sudah memiliki bayangannya sendiri perihal masalah yang ada di keluarga Naratama. “Briana menyimpan rahasia Kiano. Apa itu? Cuma mereka berdua yang tau dan kita cuma bisa
Desty memasuki ruang sidang ditemani oleh Wahyu. Mereka memilih duduk di deretan kursi paling belakang, agar Briana tidak menyadari keberadaannya. Saat Briana akhirnya masuk, wanita itu terlihat sederhana dengan ekspresi yang tenang. Meski usia Briana tidak lagi muda, tetapi wanita itu masih terlihat cantik.Desty menatap wanita yang dulu pernah berhubungan dekat dengannya. Ia berusaha memahami, mengapa Briana bisa sampai melakukan hal gila seperti yang dituduhkan. Desty mengikuti jalannya sidang dengan perasaan yang tidak karuan. Setiap ia mendengar pernyataan saksi dan bukti-bukti yang dikeluarkan, Desty hanya bisa mengelus dada.Sampai akhirnya, sidang kedua yang memakan waktu cukup lama itu pun selesai. Desty keluar bersama Wahyu dan menunggu sampai tiba gilirannya untuk bertemu Briana. “Pak!” panggil Yosep menghampiri Wahyu yang duduk di kursi lorong pengadilan bersama Desty. “Bu Briana sudah ditemui. Silakan ikut saya.”Wahyu mengangguk dan berdiri bersama Desty. Mereka mengi
“Istirahat di rumah dan nggak usah datang di sidang besok,” ucap Bias penuh penekanan, tetapi tetap dengan nada yang lembut. Kondisi istrinya saat ini benar-benar sensitif dan tidak bisa mendengar Bias meninggikan nada bicaranya sedikit saja. “Wahyu malam ini datang sama bu Desty dan besok mereka rencananya datang di persidangan.”“Dah tau,” jawab Cinta sambil memajukan bibirnya, “sudah diurus izinnya buat tante Desty besok?”“Aku sudah bilang ke Yosep,” ujar Bias kemudian meletakkan ponselnya di nakas, “nanti dia yang hubungi Wahyu karena besok aku juga nggak datang ke persidangan. Jadwalku full. Seharian nemuin klien.”Baru saja Bias hendak berbaring di samping Cinta, ponselnya berdering. Ia kembali mengambilnya dan segera menerimanya.“Kenapa, Mas?” tanya Bias tanpa menyapa lebih dulu.“15 menitan lagi aku sampe di rumahmu.”“Oke! Aku tunggu.”Bias menghempas tubuhnya di samping Cinta, setelah mengakhiri pembicaraan singkatnya. “Altaf mau ke sini. 15 menitan lagi sampe.”“Katanya n







