Bukan tanpa alasan jika aku tidak mengenal Rida karena dia sudah banyak berubah. Dulu, ia adalah siswa paling populer di kelas karena kecantikannya, bahkan menjadi rebutan para cowok meski pada saat itu masih cinta monyet. Namun, sekarang ia hanyalah seorang wanita biasa dengan pakaian ala kadarnya. Satu hal yang membuatku yakin kalau itu Rida adalah tahi lalat di atas bibir yang menjadi ciri khasnya.
Wanita itu mendongak dan mengusap air matanya yang sudah membengkak karena terus menangis tiada henti." Kamu siapa? Sepertinya bukan orang sini?" Aku tersenyum," Rida, ini aku, Asty. Apakah kamu sudah lupa?" Keningnya berkerut lalu mengamatiku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Ia menggeleng. "Makan dulu, Mbak." Seseorang menepuk pundakku dari belakang dan saat aku menoleh ia memberiku sebuah piring yang sudah berisi nasi, satu potong ayam, separuh telur, sambal goreng kentang, dan kerupuk. "Saya nggak lapar, Mbak." Aku menolak pemberiannya. "Enggak boleh begitu. Kita semua sedang makan di sini, kalau tidak makan sekarang kapan lagi, nanti malu kalau makan sendiri, apalagi nanti kita harus bekerja lagi." Wanita dengan rambut dikuncir itu memaksaku agar menerima makanan itu.Aku mengamati sekeliling dan memang benar, semua orang yang tadi masak, saat ini sedang makan. Bukan hanya kaum wanita, para pria juga sedang makan semua, bahkan kini ada anak-anak. Ya, para ibu yang sedang masak, saat makan seperti ini anaknya akan diajak ikut serta.
Aku menelan ludah, lauk yang tadinya ada di baskom besar itu sekarang sudah habis tidak bersisa dan setelah selesai makan nanti masih memasak lagi untuk acara tahlilan nanti malam.
Untuk makan orang-orang yang di dapur saja sudah menghabiskan berapa kilo beras dan ayam. Pantas saja kalau sampai tujuh hari bisa habis puluhan juta meski yang banyak orangnya hanya hari ini. Hari pertama orang satu desa datang semua tanpa kecuali, setelah hari kedua hingga tujuh hari hanya para tetangga dekat dan kerabat saja yang masih datang.
Wanita itu terus memaksaku untuk menerima makanan yang sudah diracik itu. Aku mengamati sekeliling, semua orang sedang makan dan terdengar bunyi berisik dari sendok dan piring yang saling beradu. Beberapa orang juga ada yang makanannya sudah habis, ada juga yang sedang menyuapi anaknya yang masih kecil. "Rida, ayo makan." Aku menerima makanan itu setelah dipaksa dan meletakkan di pangkuan Rida.Rida menggeleng.
"Kamu saja yang makan. Aku yakin dari tadi belum makan, kan?" Aku menolak. Melihat kondisi Rida membuatku tidak berselera makan meski makanan yang ada di depanku baunya harum dan menggoda apalagi sambal goreng kentang itu terdapat petai yang merupakan makanan favoritku.
Aku heran melihat orang-orang itu makan dengan lahapnya. Apakah mereka tidak berpikir bahwa di balik makanan yang enak ini ada orang yang sedang pusing tujuh keliling memikirkan utangnya yang kuyakin tidak sedikit? Aku juga melihat Mbak Sindi yang sedang makan seolah tanpa beban sambil menyuapi anaknya, pun dengan Mbak Vita yang tidak jauh beda, ia sedang menyuapi Aru. Hanya Mbak Nurma yang tidak kulihat batang hidungnya, tetapi ia juga ada di sini, mungkin ia ada di rumah yang lainnya lagi. Ya, untuk memasak memang tidak cukup di satu rumah saja. "Ayo, Da, dimakan saja." Aku membujuknya lagi setelah ia tidak menyentuh makanannya sama sekali karena aku benar-benar merasa tidak ingin makan di sini. "Bagaimana aku bisa makan dalam keadaan seperi ini? Aku selalu ingat dengan suamiku dan anak-anakku." Rida terisak. "Bagaimana pun keadaannya, kamu harus makan agar tidak sakit. Anak-anak kamu tadi mana? Apakah mereka juga belum makan?" tanyaku celingukan. Wanita itu mengangguk," Mereka tidur karena lelah setelah menangis terus. Entahlah, bagaimana dengan masa depannya nanti." Rida seperti bermonolog dan air mata yang tadi sudah berhenti kini menetes lagi. "Sekarang makan aja dulu." Aku kembali menyodorkan piring yang tadi sempat ia tolak tadi. "Maaf, aku tidak kenal kamu siapa?" Rida mendongak. Aku tersenyum, tadi aku sudah jawab kalau namaku Asty, tetapi belum sempat menjelaskan sudah ada yang datang memberikan makanan itu. "Aku temanmu saat SMP dan tadi sudah kubilang kalau namaku Asty, kan?" Aku tersenyum sambil mengusap pundaknya lembut. "As--Asty temanku saat SMP dan sering kuhina?" Matanya membulat sempurna lalu kembali mengamatiku dengan seksama. Aku mengusap pipinya yang sudah basah oleh air mata." Lupakan saja apa yang sudah terjadi di masa lalu." "Aku punya banyak salah padamu, As." Rida memelukku erat dan menangis tersedu-sedu. Ingatanku kembali melayang di masa lalu saat Rida mem-bully tubuhku yang berisi. Ya, saat kelas dua SMP, aku memang gemuk karena setelah menstruasi tubuhku melar seolah balon yang ditiup. Wajahku juga penuh dengan jerawat sehingga tidak ada seorang pun yang mau dekat denganku terutama para cowok. Hal itu membuatku menjadi jomlo sehingga selalu dihina oleh Rida and the genk. "Mbak Rida, ada yang ingin bertemu." Seorang laki-laki datang menghampiri kami dan membuyarkan lamunanku. "Kita lanjutkan nanti, ya." Rida berdiri dan mengikuti lelaki itu. Aku menghela napas perlahan, kulirik makanan di piringku yang masih utuh sedangkan yang lain sudah pada tandas, habis tidak bersisa. Pekerjaan sudah menanti, setelah makan, acara selanjutnya adalah cuci piring bersama yang sudah menumpuk. Para tamu mulai banyak yang berdatangan. Terdapat sebuah kotak tempat memasukkan amplop dan ada juga yang datang membawa kardus--biasanya yang masih punya hubungan kerabat. Ternyata benar, ada orang yang mencatat siapa saja yang datang membawa kardus maupun beras. Untuk warga desa, setiap ada orang yang meninggal, ada iuran sebesar 25 ribu rupiah dan iuran ini semuanya tanpa kecuali. Nanti yang punya hubungan keluarga dengan yang tertimpa musibah akan menyumbang lagi dengan sembako maupun uang dengan kisaran seratus sampai lima ratus ribu. Meskipun ada sumbangan tetap saja yang namanya terkena musibah pasti biayanya masih kurang banyak seperti bapak. Semoga Rida tidak sebanyak kami karena di sini tidak ada daging sapi. Hari sudah malam, tetapi tamu masih banyak yang datang sehingga aku juga masih di rumah Rida. Aku merasa sangat lelah karena tadi hanya istirahat untuk salat saja, bahkan sampai lupa kalau rencananya mau pulang ke kota hari ini. Ya, sepertinya aku harus menunda satu hari lagi. Hari ini aku juga tidak bertemu Mas Ubay sama sekali karena begitu banyaknya orang di sini, ia juga pasti mengerti. Di malam hari ada tahlilan yang mengundang seluruh warga desa. Acara ini disebut dengan 'ngesur tanah' atau hari pertama mengadakan tahlilan. Setelah tahlilan selesai, aku ingin pulang, tetapi saat aku hendak melangkahkan kaki, Tiba-tiba ada yang memanggil namaku sehingga aku menoleh dan ternyata Rida yang memanggilku. "As, sekali lagi aku mau minta maaf atas perbuatanku di masa lalu yang sudah membuatmu malas untuk datang ke sekolah." Rida menepuk pundakku. "Sudah kubilang kalau aku sudah melupakan semuanya. Sudah, ya, aku harus pulang, sudah malam. Kamu yang sabar, ya. Kamu harus kuat demi anak-anak." Aku menepuk pundaknya dan memaksakan untuk tersenyum meski sebenarnya mata ini terasa panas karena menahan air mata yang sudah berjejalan ingin keluar dari tempatnya. "Melihat penampilanmu ini, aku yakin kau sudah menjadi orang sukses di sana, ya? Lihat, wajah kamu saja bersih, tangan kamu juga mulus. Ke mana perginya jerawat itu, As." Rida menggenggam erat tanganku. Aku tersenyum," Alhamdulillah, hidup kami sudah berkecukupan di kota." "Kita memang tidak pernah tahu dengan apa yang akan terjadi di masa depan. Asty yang dulu kuhina malah hidup bahagia sedangkan aku yang dulu populer saat sekolah malah hanya mempunyai suami orang biasa dan sekarang aku sudah menjadi janda dengan dua orang anak yang masih kecil. Saat suamiku masih hidup saja, kehidupan kami tidaklah mewah, apalagi sekarang ia sudah meninggal dunia. Saat ini aku juga masih bingung dengan biaya selamatan yang harus kutanggung." Rida menghela napas perlahan untuk menjeda ucapannya sebelum ia melanjutkan ucapannya lagi. Matanya tampak berkaca-kaca. "Aku tidak tahu harus bagaimana, As." Ia menangis tergugu. "Rida, mengenai biaya selamatan suamimu ini tidak mungkin kamu tanggung sendiri, kan? bukankah kamu masih punya kedua orang tua? Lalu mertuamu bagaimana? Ia juga pasti akan bertanggung jawab saat anaknya meninggalkan, kan?" Rida menggeleng." Mertuaku sudah tiada dua-duanya sedangkan orang tua kandungku tidak pernah peduli padaku karena dulu pernah menentang nasihatnya. Ya, dulu mereka tidak setuju aku menikah dengan suamiku ini. Jadi, untuk biaya selamatan suamiku, aku belum ada gambaran. Mungkin satu-satunya jalan adalah dengan menjual sawah yang kupunya, tetapi jika sawah itu dijual, lalu aku dan anakku bagaimana? Sedangkan sawah itu adalah satu-satunya sumber penghasilan kami?"Aku meraih tangannya dan memeluknya."Aku benar-benar sendiri, As. Orang tuaku bahkan belum ke sini meski sudah kuberi tahu kalau menantunya meninggal dunia."
PoV Wiji PermanaPonselku berdering disertai getar sebagai pertanda ada panggilan masuk. Kuangkat benda pipih itu dan melihat siapa yang menelepon. Endah, tumben ia menghubungiku duluan. Ya, aku memang melarangnya meneleponku terlebih dulu dengan alasan aku selalu sibuk. Aku tidak pernah telepon maupun video call dan hanya berkomunikasi melalui pesan tertulis saja. Tadi, untuk pertama kalinya aku meneleponnya, tetapi sekarang ia sudah meneleponku lagi. "Ya, Ndah, ada apa? Baru tadi telepon sudah kangen lagi." Aku tersenyum meski aku tahu Endah tidak melihat senyumanku karena kami hanya telepon saja bukan video call. "Mas, tolong katakan sekarang juga kalau kita ini adalah pasangan suami istri agar Irgi tidak menggangguku lagi," ucap Endah dari seberang sana. Jadi, di rumah sedang ada Irgi dan dia sedang mengganggu Endah? Saat ini aku sedang berada di luar negeri untuk menjalani operasi bedah plastik di wajah yang rusak ini. Sebelum bertemu dengan Endah, aku tidak pernah punya nia
PoV Asty"Jangan ambil mobilku!" seru Mbak Vita. Ia terus menjerit saat mobil putih miliknya dibawa pergi orang yang sudah membelinya secara kontan. Orang itu tentu sana tidak peduli meski kakak iparku itu terus saja memohon agar tidak membawa mobilnya karena memang sudah lunas. "Sudahlah, ikhlaskan saja mobil dari hasil utang itu. InsyaAllah kita bisa beli dengan uang kita sendiri suatu saat nanti. Asalkan kita berusaha pasti bisa. Sekarang kita terima naik motor dulu kalau mau ke mana-mana." Mas Danang merangkul pundak istrinya dengan lembut. "Duh, Gusti. Sudah nggak punya mobil lagi, ponsel bagus yang bisa buat selpi dengan hasil bagus juga nggak ada. Bagaimana aku bisa hidup tanpa keduanya?" Mbak Vita terisak dalam pelukan suaminya. "Sudah, Vit. Nggak apa-apa. Aku juga nggak punya mobil masih bisa bernapas dan segar bugar hingga saat ini, kok. Mobil itu bukan kebutuhan primer bagi kita. Kecuali kalau Asty yang punya bisnis dan punya orang tua yang tinggal di tempat yang jauh,
"Bagaimana, Bay. Apakah sudah ada yang berminat untuk beli mobilku?" tanyaku pada Ubay. Ia lebih berpengalaman mengenai jual beli mobil ini, makanya aku butuh bantuannya. "Sabar, Mas. Yang namanya jual mobil itu enggak seperti jual makanan, butuh proses," jawab Ubay. "Bagaimana aku bisa sabar, Bay. Aku sudah kepikiran dengan sertifikat itu." Aku memainkan jari tangan karena gelisah. "Iya, Mas. Ini sedang aku tawarkan pada salah seorang teman. Dia bilang sedang butuh mobil. Aku tidak menjual dengan cara ditawarkan secara online biar cepet. Jangan khawatir, orang ini amanah, kok." Ubay menepuk pundakku. "Iya, Bay. Aku percaya sama kamu." Aku tersenyum. Aku sudah mantap menjual mobil itu meski Vita merengek dan merajuk sepanjang malam. Aku sudah bertekad ingin membuang kebiasaan buruknya selama ini yaitu suka membeli barang yang tidak terlalu penting dan ingin dianggap wah oleh orang lain padahal sebenarnya gelisah. Aku tega melakukan ini karena melihat Mas Karim yang berhasil men
Biaya Selamatan Atas Meninggalnya Bapak61PoV DanangTubuhku seakan lemas tidak bertulang mendengar pengakuan Vita tentang sertifikat itu. Bagaimana mungkin ia begitu ceroboh memberikan barang berharga itu pada orang lain? Kenapa ia sebodoh itu memberikan surat berharga itu hanya demi perhiasan yang bisa dijual dengan harga yang tidak seberapa meski itu ibunya sendiri. Kuusap peluh yang terus mengucur di pelipis. Dadaku terasa sesak menghadapai kenyataan ini. Bayangan buruk mulai menghantui. "Maafkan aku, Mas!" Vita masih memeluk kakiku, tetapi tiba-tiba ia berseru, "aduh, sakit!"Vita memegangi perutnya yang sudah mulai membuncit itu hingga membuat semua orang panik. "Kamu kenapa, Vit?" tanya ibu. "Perutku kram, Bu." Vita terduduk lalu memegangi perutnya sambil meringis. Aku memutar bola mata malas. Aku sudah hafal dengan tabiatnya si Vita. Saat dimarahi ia akan mencari perhatian agar orang-orang bersimpati padanya. Kebiasaan. "Danang, kenapa kamu diam saja? Ayo bantu istrimu.
"Apa maksudmu utang dengan menjaminkan sertifikat? Sertifikat apa? Bukankah kamu bilang kalau mobil itu dari hasil penjualan emas milik ibu, ya? Sehingga kamu selalu membanggakan ibumu sendiri dibanding ibuku yang kamu bilang tidak perhatian dan pilih kasih?" tanya Mas Danang yang ternyata sudah ada di belakang Mbak Vita. "Em, enggak, Mas. Aku hanya bercanda aja. Iya, mobil itu memang aku beli dari hasil penjualan emas milik ibu karena ibuku itu sayaaaaang banget padaku sehingga rela memberikan apa saja yang ia punya untuk anak perempuannya yang cantik ini," jawab Mbak Vita. "Tadi kamu bilang sertifikat, sertifikat apa?" tanya Mas Danang lagi. Kali ini dengan nada tinggi. "Udah, Mas. Nggak ada, aku hanya salah ngomong aja. Namanya juga lidah, sudah pasti sering kepeleset, kan? Ya, tadi kalau yang bernama Mas Karim dan istrinya yang bernama Mbak Nurma itu iri karena kita punya mobil sedangkan ia hanya mampu beli motor second." Mbak Vita melirik kakak iparnya-Mas Karim. Dibilang iri
"Enak, kan, Bu?" tanya Mas Karim. Ia mengambil makanan lalu menyuapkan ke mulut ibu. Manisnya perlakuan kakak sulungku pada ibunya ini. Ah, seandainya semua anak ibu seperti itu, pasti aku tidak kepikiran membiarkan ibu tetap tinggal di sini. Sayang, anak yang perhatian itu malah tinggal di desa yang berbeda. Meski jaraknya tidak terlalu jauh dan beberapa menit saja sudah sampai, tetap saja tidak bisa berkunjung setiap hari karena punya kesibukan sendiri. "Ini Nurma yang masak?" tanya ibu. Mas Karim tersenyum. "Iya, lah, Bu. Di rumah kami tidak punya asisten rumah tangga seperti di rumah Asty yang setiap kali makan sudah ada yang memasak." "Aku juga masih suka masak, kok, Mas." Aku tersenyum. "Bagaimana rasanya, ya, pulang asisten rumah tangga yang mau apa-apa tinggal memerintah saja tanpa harus repot turun tangan sendiri. Lapar tinggal bilang 'Mbok, laper, bikinin nasi goreng, dong. Atau saat haus dan sedang asyik nonton tivi langsung berteriak 'Mbok, buatkan jus mangga, dong.