Mata yang berembun, kini sudah tidak tahan untuk tidak menangis melihat wanita yang terus menunduk sambil terus memeluk jenazah yang sudah tertutup kain itu. Ia menangis sampai tidak mengeluarkan suara, sementara dua anak yang berada di sampingnya juga menangis semakin kencang apalagi saat melihat banyak orang yang memenuhi rumahnya.
Tangis wanita itu semakin terdengar pilu saat jenazah suaminya diangkat untuk dimandikan dan selanjutnya dikafani, disalatkan, dan dikuburkan nanti siang.Aku mengulurkan tangan untuk mengajak anak-anak yang kuperkirakan masih berusia empat dan dua tahun itu. Aku ingin mengajak yang sudah besar dan ibu mengajak yang masih kecill. Namun, bocah itu menggeleng, apalagi belum pernah melihatku sebelumnya. Ia justru semakin nempel dengan ibunya.
"Kita pulang dulu sebentar, As." Ibu berbisik dan menggandeng tanganku. Saat aku sampai di luar, sebuah mobil pikap berwarna hitam berhenti di halaman. Dua orang wanita turun dari mobil. Itu adalah mobil yang membawa barang belanjaan untuk keperluan selamatan. Wah, cepat sekali belanjanya. Orang-orang membantu menurunkan barang belanjaan dan siap mengerjakan semua seperti dikomando. Rumah itu seketika menjadi seperti pasar dadakan. Namun, untuk memasak tidak di rumah duka melainkan di rumah tetangga yang ada di samping dan kirinya. Sepertinya semua warga desa datang ke sini tanpa kecuali, baik laki-laki maupun perempuan. Para ibu sibuk di dapur dan para bapak memasang tenda dan memasang meja kursi serta mengambil perkakas makan yang berupa toples, piring, dan gelas milik persatuan desa.Semua orang sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Tidak ada yang hanya berpangku tangan di sini. Aku dan ibu membantu mengupas bawang, ada juga yang mengupas kentang. Sampai di sini aku paham kenapa semua orang membawa pisau saat datang. Ya, mereka sudah siap dengan pisau di tangan masing-masing karena pisau adalah benda paling dibutuhkan saat ini.
Di sebuah dapur milik tetangga ini, semua orang memotong bahan dan di sebelah sana ada yang sedang menghaluskan bumbu, ada juga yang langsung menyalakan api dan siap untuk menggoreng kentang yang sudah dipotong kecil-kecil. Kentang yang tadi masih ada di dalam plastik itu sudah selesai dipotong hanya dalam hitungan menit. Amazing. Bukan hanya kentang, tetapi semua bahan seperti ayam, tahu, dan lainnya juga sudah selesai dikerjakan tinggal mengeksekusi menjadi makanan matang. Nanti yang memasak sudah ada sendiri dan hanya tinggal memasukkan ke dalam wajan saja karena semua sudah siap mulai dari bumbu hingga santan.
Saat bapak meninggal, aku tidak tahu suasana dapur seperti ini karena tuan rumah tentu saja fokus dengan yang meninggal dan setelah itu fokus dengan para tamu yang datang melayat dan hanya tahu tiba-tiba makanan sudah siap di atas meja. "As, tolong buatkan santan dari kelapa yang sudah diparut itu," titah ibu setelah selesai mengupas bawang. "Baik, Bu." "Kalau sudah selesai, antar ke sebelah sana, ya?" Ibu menunjuk ke sebuah tempat yang terdapat beberapa orang ibu yang sedang berada di depan sebuah tungku dengan api besar yang menyala. Aku mengangguk dan mengambil air hangat untuk memeras kelapa agar mendapatkan santan, setelah itu membawanya ke tempat yang sudah ditunjuk ibu. "Permisi, Bu. Ini santannya ditaruh di mana, ya?" tanyaku pada seorang wanita setengah baya yang sedang menggoreng emping melinjo. Ia mengernyitkan dahi dan berpikir sejenak. "Dibawa ke Bu Winda yang sedang memasak sambal goreng kentang," jawab seorang wanita berbaju biru dengan celemek hitam serta kerudung instan yang sudah disingkap. Suasana di dapur ini sangat panas karena ada banyak tungku yang semuanya menyala. "Maaf, Bu Winda itu yang mana, ya?" Wanita itu menoleh lalu tersenyum," Oh, baru sadar kalau kamu bukan orang sini. Bu Winda itu yang sedang memasak di tungku paling ujung." Wanita itu menunjuk seorang wanita yang sedang sibuk dengan spatula di tangannya yang sedang menumis bumbu. Ia berlagak layaknya seorang koki professional yang harus bekerja cepat. Setelah memberikan santan, aku berbalik, tetapi dipanggil oleh wanita yang gemuk berbaju merah. "Tolong buatkan santan lagi untuk dan bawa ke sini," pintanya dengan tersenyum ramah. Dengan cekatan aku membuat santan lagi. Memang tidak ada yang berpangku tangan di sini. Setelah itu aku ke dapur lagi dan menyerahkan santan itu pada wanita yang tadi."Bu, yang membuat wajik siapa, ya, tadi?" tanya wanita yang sedang menggoreng ayam.
"Belum ada." "Mbak, bisa buat wajik?" tanya wanita itu tanpa berhenti dari pekerjaannya yang sedang menumis bumbu dan di depannya sudah siap dengan mie yang sudah direbus dan dicampur kecap. "Coba cari teman yang lain untuk membuatnya jika tidak sanggup sendiri." Belum sempat aku menjawab wanita itu sudah berkata lagi. Ternyata di sini tidak ada orang yang khusus harus masak ini atau itu. Semua bekerja layaknya mesin yang otomatis mengerjakan semua pekerjaan yang ada. Jika yang ini sudah selesai langsung ganti dengan pekerjaan yang lain. Aku menyingsingkan lengan baju dan tanpa ragu mengambil wajan besar dan meletakkan di atas tungku api, menuangkan air dan memasukkan gula merah lalu menunggu hingga mendidih dan menjadi seperti karamel.Terjawab sudah rasa penasaranku dari kemarin. Saat bapak meninggal, sebelum azan Zuhur, makanan sudah siap semuanya padahal baru mulai memasak pagi hari kira-kira pukul tujuh karena bapak meninggal menjelang pagi. Bagaimana tidak cepat selesai jika yang mengerjakan sebanyak ini dan semuanya seolah sadar dengan tugas masing-masing.
Saat membuat wajik, Aku dan dua orang yang lain tinggal menunggu gula merah siap dan setelah itu memasukkan beras ketan yang sudah dikukus dan yang mengukus ketan juga sudah ada sendiri. Badanku panas dan berkeringat setelah bergelut dengan wajan besar ini, tetapi aku harus tetap melanjutkan pekerjaan ini sampai selesai. Tidak lama kemudian wajik sudah matang dan orang itu memintaku membawanya ke sebuah tempat yang sudah disediakan. Di ruangan ini juga masih banyak orang, mereka sedang memasukkan makanan ke dalam toples. "Ini wajiknya, Mbak." Aku menurunkan wajik yang berada di dalam baki. Seorang wanita yang sedang memasukkan roti kering ke dalam toples menoleh." Potong aja sekalian dan letakkan ke dalam piring." Awalnya aku ingin segera istirahat karena membuat wajik ini cukup menguras tenagaku ditambah lagi dengan suasana di dapur tadi yang sangat panas membuatku ingin menanggalkan kerudung yang kupakai lalu merebahkan tubuh ini. Akan tetapi, setelah mendengar permintaan orang itu, aku pun melakukannya juga. Tiba-tiba seorang lelaki setengah baya masuk ke ruangan dan mengatakan kalau para tamu sudah mulai berdatangan. Ia menanyakan apakah makanan sudah siap atau belum. Sudah pasti, siap. Di sebuah meja sudah ada beberapa baskom besar dengan lauk yang masih mengepul serta satu wadah besar berisi nasi yang juga baru saja matang. Selain itu toples juga sudah terisi semua.Ya, selain menyuguhkan nasi beserta pelengkapnya berupa daging sapi yang bisa diganti dengan daging ayam, mie goreng, sambal goreng tahu plus kentang dan krecek kulit sapi, serta telur bumbu kecap, di sini juga menyuguhkan aneka makanan ringan yang ada di dalam toples seperti emping melinjo, rempeyek kacang, dan kue kering. Untuk jenis makanan basah ada wajik dan agar-agar, terkadang bisa juga bolu kukus atau krasikan.
Dalam sekejap, depan rumah duka itu sudah terpasang tenda lengkap dengan meja kursi dan aneka makanan di atasnya. Hatiku berdesir perih melihat wanita yang kini sudah memakai gamis dan berkerudung panjang itu terduduk lemah dan tiada henti menangis setelah jenazah suaminya dikuburkan. Ia juga tadi pingsan berkali-kali. Wanita itu selain sedih karena ditinggal suaminya, mungkin ia juga bingung melihat aneka makanan yang sudah berjejer di atas meja dan sangat banyak. Bagaiman jika ia tidak punya uang untuk membayar utangnya nanti? Aku menghela napas dan mengembuskannya. Di sini, saat ada orang meninggal, tidak ada bedanya antara orang mampu atau tidak. Mungkin hanya lauknya yang berbeda yaitu daging ayam dan sapi sedang yang lainnya tetap sama. Bapak sudah punya anak yang sudah besar sehingga untuk biaya selamatan ditanggung anak-anaknya, lalu bagaimana dengan ibu itu yang anaknya yang masih tergolong yatim ini? Aku memberanikan diri untuk menyapa sekadar menghibur. "Rida?" Aku memekik saat melihat wanita yang dari tadi terus menunduk itu adalah teman sekolahku saat masih SMP. Setelah kuperhatikan dengan seksama wanita yang kini sudah berstatus menjadi janda itu memang temanku. Tadi aku sempat tidak mengenalinya karena ia sudah banyak berubah. Ya, setelah lulus SMA aku bekerja di kota sehingga jarang pulang sehingga tidak tahu dengan apa yang terjadi dengan teman-temanku di sini termasuk Rida yang sudah menikah dengan lelaki yang satu desa denganku, apalagi ini desa luas, kadang dengan satu desa saja tidak saling mengenal.PoV Wiji PermanaPonselku berdering disertai getar sebagai pertanda ada panggilan masuk. Kuangkat benda pipih itu dan melihat siapa yang menelepon. Endah, tumben ia menghubungiku duluan. Ya, aku memang melarangnya meneleponku terlebih dulu dengan alasan aku selalu sibuk. Aku tidak pernah telepon maupun video call dan hanya berkomunikasi melalui pesan tertulis saja. Tadi, untuk pertama kalinya aku meneleponnya, tetapi sekarang ia sudah meneleponku lagi. "Ya, Ndah, ada apa? Baru tadi telepon sudah kangen lagi." Aku tersenyum meski aku tahu Endah tidak melihat senyumanku karena kami hanya telepon saja bukan video call. "Mas, tolong katakan sekarang juga kalau kita ini adalah pasangan suami istri agar Irgi tidak menggangguku lagi," ucap Endah dari seberang sana. Jadi, di rumah sedang ada Irgi dan dia sedang mengganggu Endah? Saat ini aku sedang berada di luar negeri untuk menjalani operasi bedah plastik di wajah yang rusak ini. Sebelum bertemu dengan Endah, aku tidak pernah punya nia
PoV Asty"Jangan ambil mobilku!" seru Mbak Vita. Ia terus menjerit saat mobil putih miliknya dibawa pergi orang yang sudah membelinya secara kontan. Orang itu tentu sana tidak peduli meski kakak iparku itu terus saja memohon agar tidak membawa mobilnya karena memang sudah lunas. "Sudahlah, ikhlaskan saja mobil dari hasil utang itu. InsyaAllah kita bisa beli dengan uang kita sendiri suatu saat nanti. Asalkan kita berusaha pasti bisa. Sekarang kita terima naik motor dulu kalau mau ke mana-mana." Mas Danang merangkul pundak istrinya dengan lembut. "Duh, Gusti. Sudah nggak punya mobil lagi, ponsel bagus yang bisa buat selpi dengan hasil bagus juga nggak ada. Bagaimana aku bisa hidup tanpa keduanya?" Mbak Vita terisak dalam pelukan suaminya. "Sudah, Vit. Nggak apa-apa. Aku juga nggak punya mobil masih bisa bernapas dan segar bugar hingga saat ini, kok. Mobil itu bukan kebutuhan primer bagi kita. Kecuali kalau Asty yang punya bisnis dan punya orang tua yang tinggal di tempat yang jauh,
"Bagaimana, Bay. Apakah sudah ada yang berminat untuk beli mobilku?" tanyaku pada Ubay. Ia lebih berpengalaman mengenai jual beli mobil ini, makanya aku butuh bantuannya. "Sabar, Mas. Yang namanya jual mobil itu enggak seperti jual makanan, butuh proses," jawab Ubay. "Bagaimana aku bisa sabar, Bay. Aku sudah kepikiran dengan sertifikat itu." Aku memainkan jari tangan karena gelisah. "Iya, Mas. Ini sedang aku tawarkan pada salah seorang teman. Dia bilang sedang butuh mobil. Aku tidak menjual dengan cara ditawarkan secara online biar cepet. Jangan khawatir, orang ini amanah, kok." Ubay menepuk pundakku. "Iya, Bay. Aku percaya sama kamu." Aku tersenyum. Aku sudah mantap menjual mobil itu meski Vita merengek dan merajuk sepanjang malam. Aku sudah bertekad ingin membuang kebiasaan buruknya selama ini yaitu suka membeli barang yang tidak terlalu penting dan ingin dianggap wah oleh orang lain padahal sebenarnya gelisah. Aku tega melakukan ini karena melihat Mas Karim yang berhasil men
Biaya Selamatan Atas Meninggalnya Bapak61PoV DanangTubuhku seakan lemas tidak bertulang mendengar pengakuan Vita tentang sertifikat itu. Bagaimana mungkin ia begitu ceroboh memberikan barang berharga itu pada orang lain? Kenapa ia sebodoh itu memberikan surat berharga itu hanya demi perhiasan yang bisa dijual dengan harga yang tidak seberapa meski itu ibunya sendiri. Kuusap peluh yang terus mengucur di pelipis. Dadaku terasa sesak menghadapai kenyataan ini. Bayangan buruk mulai menghantui. "Maafkan aku, Mas!" Vita masih memeluk kakiku, tetapi tiba-tiba ia berseru, "aduh, sakit!"Vita memegangi perutnya yang sudah mulai membuncit itu hingga membuat semua orang panik. "Kamu kenapa, Vit?" tanya ibu. "Perutku kram, Bu." Vita terduduk lalu memegangi perutnya sambil meringis. Aku memutar bola mata malas. Aku sudah hafal dengan tabiatnya si Vita. Saat dimarahi ia akan mencari perhatian agar orang-orang bersimpati padanya. Kebiasaan. "Danang, kenapa kamu diam saja? Ayo bantu istrimu.
"Apa maksudmu utang dengan menjaminkan sertifikat? Sertifikat apa? Bukankah kamu bilang kalau mobil itu dari hasil penjualan emas milik ibu, ya? Sehingga kamu selalu membanggakan ibumu sendiri dibanding ibuku yang kamu bilang tidak perhatian dan pilih kasih?" tanya Mas Danang yang ternyata sudah ada di belakang Mbak Vita. "Em, enggak, Mas. Aku hanya bercanda aja. Iya, mobil itu memang aku beli dari hasil penjualan emas milik ibu karena ibuku itu sayaaaaang banget padaku sehingga rela memberikan apa saja yang ia punya untuk anak perempuannya yang cantik ini," jawab Mbak Vita. "Tadi kamu bilang sertifikat, sertifikat apa?" tanya Mas Danang lagi. Kali ini dengan nada tinggi. "Udah, Mas. Nggak ada, aku hanya salah ngomong aja. Namanya juga lidah, sudah pasti sering kepeleset, kan? Ya, tadi kalau yang bernama Mas Karim dan istrinya yang bernama Mbak Nurma itu iri karena kita punya mobil sedangkan ia hanya mampu beli motor second." Mbak Vita melirik kakak iparnya-Mas Karim. Dibilang iri
"Enak, kan, Bu?" tanya Mas Karim. Ia mengambil makanan lalu menyuapkan ke mulut ibu. Manisnya perlakuan kakak sulungku pada ibunya ini. Ah, seandainya semua anak ibu seperti itu, pasti aku tidak kepikiran membiarkan ibu tetap tinggal di sini. Sayang, anak yang perhatian itu malah tinggal di desa yang berbeda. Meski jaraknya tidak terlalu jauh dan beberapa menit saja sudah sampai, tetap saja tidak bisa berkunjung setiap hari karena punya kesibukan sendiri. "Ini Nurma yang masak?" tanya ibu. Mas Karim tersenyum. "Iya, lah, Bu. Di rumah kami tidak punya asisten rumah tangga seperti di rumah Asty yang setiap kali makan sudah ada yang memasak." "Aku juga masih suka masak, kok, Mas." Aku tersenyum. "Bagaimana rasanya, ya, pulang asisten rumah tangga yang mau apa-apa tinggal memerintah saja tanpa harus repot turun tangan sendiri. Lapar tinggal bilang 'Mbok, laper, bikinin nasi goreng, dong. Atau saat haus dan sedang asyik nonton tivi langsung berteriak 'Mbok, buatkan jus mangga, dong.