Hari masih pagi, tetapi suasana di rumah ibu sudah ramai oleh anak-anak. Aku tidak bisa berbuat banyak. Mereka ini adalah anak dari kakakku atau cucu ibu sendiriSyafa yang usianya sudah tujuh tahun dengan mudah mengambil dua buah gelas lalu mengambil en*rgen dari dalam lemari dan menuangkan isinya, tanpa kesulitan gadis kecil itu menuang air panas yang baru saja kumasukkan ke dalam termos. Bocah berambut ikal itu mengambil satu gelas untuknya dan satu gelas untuk sang adik, "tunggu sebentar, ya, Dek. Masih panas banget ini."Kedua kakak beradik anak Mbak Sindi itu duduk di kursi sembari menunggu minuman yang masih mengepulkan asap itu menjadi dingin. Sesekali Syafa--sang kakak mengambil sendok untuk mencicipi minuman itu. "Setiap hari mereka pasti datang ke sini untuk minum ene*gen bersama ibu." Ibu menjelaskan tanpa kuminta. Ia memberiku isyarat untuk membuatkan minuman juga untuknya. Aku melaksanakan perintah ibu, menuang serbuk sereal lalu menambahkan air panas dan menyuguhkan
Mbak Vita dan ibunya berdiri mematung di depan rumahnya, tetapi setelah itu ia berjalan mendekat ke arah Mas Ubay yang baru saja turun dari mobil, "sekarang aku percaya kalau mobil itu memang milikmu, Bay, meski aku tidak yakin kamu bisa beli secara cash."Mas Ubay nyengir, ia tidak jadi menunjukkan surat kepemilikan mobil itu karena saat ini tidak lah tepat. "Iya, aku nggak peduli mobil itu rental atau enggak. Kalau rental, kamu juga yang bayar sewanya dan kalau mobil pribadi juga tidak akan membuatku bangga denganmu. Kamu pikir dengan membawa mobil ke sini, aku akan terkagum-kagum padamu dan mengelu-elukan? Tidak, Bay, kamu salah. Aku tidak akan memberimu ucapan selamat atas mobil yang kamu miliki ini karena menurutku mobil ini terlalu biasa. Apalagi sebentar lagi aku juga akan punya mobil yang lebih bagus dari itu. Ayo, Bu." Mbak Vita merangkul pundak ibunya. Bu Hilya menggerak-gerakkan tangannya lalu meraba gelangnya yang berjejer itu. "Entahlah, Bu. Mobil itu memang benar-bena
Aku memilih membuat telur dadar lagi agar ibu dapat segera makan, tetapi kali ini tidak ditambahkan irisan cabai seperti yang tadi. "Buka mulutnya, Bu." Aku menyendokkan makanan di hadapannya, tetapi ibu menggeleng dan mulutnya seolah terkunci. Hanya air mata yang terus membasahi pipinya yang sudah mulai berkeriput. Aku meletakkan sendok dan mengusap punggungnya dengan lembut. "Ibu pingin makan sambal goreng kentang dicampur ati ampela seperti yang ada dalam punjungan itu?" Aku bertanya begitu karena tadi Syafa bilang dalam makanan itu ada makanan itu dan itu adalah salah satu makanan favorit ibu selain brongkos. Siapa tahu tadi ia sudah melihat dan ngiler pingin makan, tetapi nggak diizinin sama Mbak Sindi. Ibu masih sesenggukan dan air matanya terus mengalir kian tak terbendung. Kasihan sekali, hanya ingin makan sambal goreng ati ampela yang mungkin cukup satu sendok saja tidak kesampaian. Ini semua karena menantunya yang bernama Sindi itu. Aku menghela napas perlahan, sudah s
"Ibu mau makan apa? Nasi goreng, ayam goreng, burger, pizza, martabak manis martabak gurih, soto, sop iga, bakso, mie ayam, gulai, brongkos, semuanya Ibu tinggal pilih." Mas Ubay berkata begitu cepat seperti Paman Muhtu dalam serial animasi upin ipin yang menjadi film favorit anak-anak saat ini. Tentu saja ibu hanya manggut-manggut dengan mulut melongo melihat Mas Ubay. Untung saja tidak lalat yang lewat di hadapannya saat itu. "Bay, kamu menyuruh Ibu memilih semua makanan itu memangnya ada?" tanya ibu dengan dahi mengernyit. "Tentu saja ada lah, Bu. Ayo pilih saja apa yang tadi kusebutkan itu atau mau makan yang lain juga ada," jawab Mas Ubay. Ibu menggaruk kepalanya yang mungkin tidak gatal. Ia tampak sedang berpikir, lalu berkata, " Apa, ya, Bay?""Ayo, Bu, katakan saja atau mau coba sambal goreng ati ampela yang kuahnya merah merona?" "Memangnya ada? Takutnya kamu hanya ingin membuat Ibu ngiler sehingga meneteskan air liur membayangkan semua makanan itu." Ibu meremas jari ta
"Ayo kita berangkat sekarang juga, Mas." Mbak Sindi menarik tangan Mas Gani yang sedang menurunkan karung berisi kentang dari dalam mobil. "Bay, tolong angkat sebelah sana. Aku nggak kuat kalau mengangkat barang ini sendirian." Mas Gani memunjuk dengan dagu di mana Mas Ubay harus memegang ujung karung.Mas Ubay di sebelah kanan dan Mas Gani di sisi yang lainnya lalu mereka berdua membawa bersama-sama ke rumah Ibu. "Ish, sebel aku. Diajak ngomong malah cuek." Mbak Sindi cemberut ketika sang suami tidak menggubris ucapannya, ia tetap melanjutkan menurunkan barang belanjaan. Setelah kentang, ia beralih mengangkut kardus yang entah isinya apa. Mbak Sindi mengikuti langkah Mas Gani. Mas Gani ke sini, ia ikut, Mas Gani ke sana ia tidak mau ketinggalan. Ia terus saja memegang ujung baju suaminya, Persis seperti anak kecil yang mengejar ibunya agar dibelikan sesuatu membuatku geli-geli sebal melihatnya. "Kamu bini apa-apaan, sih, Dek? Nggak capek apa ngintil suami terus seperti ini." Mas
"Makan yang banyak, Bu?" Aku memindahkan nasi dari magic com ke piring ibu, setelah itu beralih ke piring suami dan untukku sendiri. Ini adalah sahur pertamaku bersama ibu. Aku sudah meminta pada ibu untuk tidak berpuasa karena maag yang dideritanya dan nanti bisa membayar fidyah, tetapi ibu bilang maag bukan alasan untuk tidak menjalankan kewajiban. Semoga puasa kami lancar. "Sepertinya harga garam sekarang turun harga, ya?" tanya Mas Ubay saat mencicipi ayam kecap yang kusajikan."Kenapa?" tanyaku dengan tatapan menyelidik. "Enggak apa-apa. Cuma memberi informasi saja, tetapi coba cicipi ayam kecap ini." Mas Ubay mendekatkan ayam kecap itu ke mulutku dan aku memakannya. Asin, itulah yang kurasakan. Aku nyengir. "Aku memang sengaja ngasih banyak garam agar dapat terasa manfaatnya." Aku beralasan padahal sebenarnya tadi lupa sudah kutambahkan garam malah masih kutambah lagi sehingga menjadi keasinan. Mas Ubay tersenyum, "iya, rasanya enak, tetapi kalau besok masak lagi takaran ga
Mata Mbak Vita melotot ke arahku hingga membuatku merasa sangat ketakutan karena bola matanya itu seolah mau lepas dari tempatnya."Siapa yang bilang mau beli daging sapi dengan uangku sendiri? Kapan aku bilang seperti itu? Bukankah aku sudah bilang kalau uangku sudah habis untuk beli mobil? lagipula aku sudah bilang, kan kalau aku sudah cukup banyak berkorban untuk acara ini? Aku berkorban waktu dan tenaga dan jika diuangkan itu sudah cukup banyak." Rentetan pertanyaan keluar dari mulut wanita yang berstatus istri Mas Danang itu.Heran aku, padahal Mas Danang dulu terkenal akan sifat diamnya, tetapi istrinya kalau sudah bicara seperti motor yang berjalan di turunan dan tanpa rem. Meluncuur. Entah seperti apa keseharian mereka berdua. Dalam bayanganku, Mbak Vita ini gemar berpidato dan suaminya adalah pendengar setia. "Baiklah, kalau kamu nggak mau ikut nyumbang seharusnya sadar diri dengan tidak ikut membawa pulang semua makanan yang ada di sini. Ibaratnya, kamu ini nggak bayar, tet
"Wah, wah, wah, aku tahu apa yang ada dipikiran kamu itu, As. kamu pasti mau menjual gula ini, kan?" Mbak Vita masih mendekap erat kardus itu. Tiba-tiba Mbak Sindi datang menghampiri kami. "Ada apa, Vit? Yang lain sedang sibuk, kalian malah ribut di sini? Terus itu kenapa bawa-bawa kardus segala? Coba aku lihat apa isinya," tanya istri Mas Gani itu. "Ini, lho, Mbak. Si Asty mau bawa pulang sembako ini. Sudah pasti mau dijual, kan? Aku hanya mengamankan saja." Lapor Mbak Vita. "Ibu yang meminta Asty untuk mengembalikan ke rumah Rida karena ini dari Rida," kata ibu yang tiba-tiba sudah ada di belakang kami dan kami menoleh serempak. "Kenapa harus dikembalikan, sih, Bu? Kan lumayan kalau sisa bisa dijual untuk meringankan beban kita nanti," ucap Mbak Vita. "Duh, Vita. Kamu ini kaya bukan orang sini saja? Memang kebiasaan di sini seperti itu, kan? Untuk acara 40 hari ini kita tanggung sendiri tanpa bantuan keluarga dan sanak saudara," jawab ibu. Ibu mengambil kembali kardus dari t