"Kamu ini kenapa, sih, Dek? Dari tadi terlihat gelisah? Jangan bilang kalau masih kepikiran dengan Mbak Vita yang punya apel digigit dari uang asuransi itu," ucap Mas Ubay. Sudah seminggu aku sampai di kota dan sekali pun aku belum tahu kabar ibu. Semoga ia baik-baik saja. Mas Ubay memelukku dari belakang lalu membalik tubuhku hingga sekarang kami saling berhadapan."Enggak, Mas. Aku teringat terus sama ibu. Beberapa waktu yang lalu, aku yang mengambilkan makan dan mengingatkan untuk minum obat, tetapi sekarang siapa yang akan mengurus ibu," ucapku lirih. Sejak berangkat hingga sampai di rumah, rasa gelisah ini belum juga pergi. Aku masih kepikiran dengan ibu. Saat makan ingat ibu, mau mandi ingat ibu, apakah sudah ada yang menyiapkan air hangat atau belum. Ya, setiap mandi harus selalu pakai air hangat karena tempat tinggal ibu yang ada di daerah pegunungan apalagi air hangat juga harus dijerang di atas kompor bukan seperti di rumah ini yang sudah ada shower sehingga tinggal pilih
Rasa gelisah yang kurasakan saat ini lebih parah dari pada tadi saat mereka tidak mau mengangkat teleponku. Buat apa Mbak Vita telepon kalau pada akhirnya tidak mau video call. Aku hanya ingin mendengar dan melihat ibu untuk memastikan kalau ibu baik-baik saja. Apakah aku lebay jika saat ini begitu mengkhawatirkannya?Ponselku kembali berdering, tetapi aku sudah malas untuk mengangkatnya. Takut kalau menjadi korban PHP lagi. Namun, nada dering kembali berbunyi. Aku melirik dan melihat nama Mbak Vita di layar. Kugeser tombol gambar telepon meski kali ini sudah tidak bersemangat seperti tadi. "Halo, As. Maaf tadi ponselku mati karena habis baterai. Seharian ini aku asyik main dengan alat ini sampai lupa ngapa-ngapain. Nggak masak, nggak mandi, sampai-sampai dimarahin sama Mas Danang. Maklum lah, ya, hape-nya baru, canggih lagi, mana mungkin aku bisa lepas dari hape ini meski hanya sedetik saja. Jangan heran kalau aku hanya akan berhenti saat habis baterai saja." Mbak Vita begitu bersem
Ibu menarik tanganku dan mengajak masuk tanpa peduli dengan Mbak Vita yang sedang mengoceh di depan. Namun, ternyata Mbak Vita dan ibunya juga ikut masuk ke rumah itu dan tidak mungkin kami akan menahannya. "Bu, beberapa waktu yang lalu saya bertemu dengan anak perempuan ibu ini di sebuah toko yang sangat besar dan ibu tahu apa yang dia bilang sama saya?" tanya Bu Hilya. Ibu menggeleng. "Asty bilang kalau toko itu miliknya padahal toko itu sangat besar dan menyediakan aneka kebutuhan rumah tangga dan memiliki beberapa pegawai. Tidak mungkin itu toko suaminya, kan, Bu?" cetus Bu Hilya seraya duduk di samping Mbak Vita. Aku, ibu, dan Mas Ubay saling berpandangan. "Maaf, ya, Bu. Biarkan anak dan menantu kami ini istirahat karena mereka berdua baru saja menempuh perjalanan yang sangat jauh. Mereka pasti kelelahan. Ibu ambilkan minum dulu, ya, As," ucap Ibu. Wanita yang selalu kurindukan pelukannya itu hendak menuju ke dapur, tetapi aku menahan tangannya dan menggeleng, "Ibu duduk sa
Hari masih pagi, tetapi suasana di rumah ibu sudah ramai oleh anak-anak. Aku tidak bisa berbuat banyak. Mereka ini adalah anak dari kakakku atau cucu ibu sendiriSyafa yang usianya sudah tujuh tahun dengan mudah mengambil dua buah gelas lalu mengambil en*rgen dari dalam lemari dan menuangkan isinya, tanpa kesulitan gadis kecil itu menuang air panas yang baru saja kumasukkan ke dalam termos. Bocah berambut ikal itu mengambil satu gelas untuknya dan satu gelas untuk sang adik, "tunggu sebentar, ya, Dek. Masih panas banget ini."Kedua kakak beradik anak Mbak Sindi itu duduk di kursi sembari menunggu minuman yang masih mengepulkan asap itu menjadi dingin. Sesekali Syafa--sang kakak mengambil sendok untuk mencicipi minuman itu. "Setiap hari mereka pasti datang ke sini untuk minum ene*gen bersama ibu." Ibu menjelaskan tanpa kuminta. Ia memberiku isyarat untuk membuatkan minuman juga untuknya. Aku melaksanakan perintah ibu, menuang serbuk sereal lalu menambahkan air panas dan menyuguhkan
Mbak Vita dan ibunya berdiri mematung di depan rumahnya, tetapi setelah itu ia berjalan mendekat ke arah Mas Ubay yang baru saja turun dari mobil, "sekarang aku percaya kalau mobil itu memang milikmu, Bay, meski aku tidak yakin kamu bisa beli secara cash."Mas Ubay nyengir, ia tidak jadi menunjukkan surat kepemilikan mobil itu karena saat ini tidak lah tepat. "Iya, aku nggak peduli mobil itu rental atau enggak. Kalau rental, kamu juga yang bayar sewanya dan kalau mobil pribadi juga tidak akan membuatku bangga denganmu. Kamu pikir dengan membawa mobil ke sini, aku akan terkagum-kagum padamu dan mengelu-elukan? Tidak, Bay, kamu salah. Aku tidak akan memberimu ucapan selamat atas mobil yang kamu miliki ini karena menurutku mobil ini terlalu biasa. Apalagi sebentar lagi aku juga akan punya mobil yang lebih bagus dari itu. Ayo, Bu." Mbak Vita merangkul pundak ibunya. Bu Hilya menggerak-gerakkan tangannya lalu meraba gelangnya yang berjejer itu. "Entahlah, Bu. Mobil itu memang benar-bena
Aku memilih membuat telur dadar lagi agar ibu dapat segera makan, tetapi kali ini tidak ditambahkan irisan cabai seperti yang tadi. "Buka mulutnya, Bu." Aku menyendokkan makanan di hadapannya, tetapi ibu menggeleng dan mulutnya seolah terkunci. Hanya air mata yang terus membasahi pipinya yang sudah mulai berkeriput. Aku meletakkan sendok dan mengusap punggungnya dengan lembut. "Ibu pingin makan sambal goreng kentang dicampur ati ampela seperti yang ada dalam punjungan itu?" Aku bertanya begitu karena tadi Syafa bilang dalam makanan itu ada makanan itu dan itu adalah salah satu makanan favorit ibu selain brongkos. Siapa tahu tadi ia sudah melihat dan ngiler pingin makan, tetapi nggak diizinin sama Mbak Sindi. Ibu masih sesenggukan dan air matanya terus mengalir kian tak terbendung. Kasihan sekali, hanya ingin makan sambal goreng ati ampela yang mungkin cukup satu sendok saja tidak kesampaian. Ini semua karena menantunya yang bernama Sindi itu. Aku menghela napas perlahan, sudah s
"Ibu mau makan apa? Nasi goreng, ayam goreng, burger, pizza, martabak manis martabak gurih, soto, sop iga, bakso, mie ayam, gulai, brongkos, semuanya Ibu tinggal pilih." Mas Ubay berkata begitu cepat seperti Paman Muhtu dalam serial animasi upin ipin yang menjadi film favorit anak-anak saat ini. Tentu saja ibu hanya manggut-manggut dengan mulut melongo melihat Mas Ubay. Untung saja tidak lalat yang lewat di hadapannya saat itu. "Bay, kamu menyuruh Ibu memilih semua makanan itu memangnya ada?" tanya ibu dengan dahi mengernyit. "Tentu saja ada lah, Bu. Ayo pilih saja apa yang tadi kusebutkan itu atau mau makan yang lain juga ada," jawab Mas Ubay. Ibu menggaruk kepalanya yang mungkin tidak gatal. Ia tampak sedang berpikir, lalu berkata, " Apa, ya, Bay?""Ayo, Bu, katakan saja atau mau coba sambal goreng ati ampela yang kuahnya merah merona?" "Memangnya ada? Takutnya kamu hanya ingin membuat Ibu ngiler sehingga meneteskan air liur membayangkan semua makanan itu." Ibu meremas jari ta
"Ayo kita berangkat sekarang juga, Mas." Mbak Sindi menarik tangan Mas Gani yang sedang menurunkan karung berisi kentang dari dalam mobil. "Bay, tolong angkat sebelah sana. Aku nggak kuat kalau mengangkat barang ini sendirian." Mas Gani memunjuk dengan dagu di mana Mas Ubay harus memegang ujung karung.Mas Ubay di sebelah kanan dan Mas Gani di sisi yang lainnya lalu mereka berdua membawa bersama-sama ke rumah Ibu. "Ish, sebel aku. Diajak ngomong malah cuek." Mbak Sindi cemberut ketika sang suami tidak menggubris ucapannya, ia tetap melanjutkan menurunkan barang belanjaan. Setelah kentang, ia beralih mengangkut kardus yang entah isinya apa. Mbak Sindi mengikuti langkah Mas Gani. Mas Gani ke sini, ia ikut, Mas Gani ke sana ia tidak mau ketinggalan. Ia terus saja memegang ujung baju suaminya, Persis seperti anak kecil yang mengejar ibunya agar dibelikan sesuatu membuatku geli-geli sebal melihatnya. "Kamu bini apa-apaan, sih, Dek? Nggak capek apa ngintil suami terus seperti ini." Mas