Share

Sepuluh

Penulis: Siti Aisyah
last update Terakhir Diperbarui: 2022-08-19 07:12:21

Mbak Sindi menggebrak meja setelah Mas Karim membacakan berapa utang yang harus kami bayar. Ia merebut kertas yang dibawa Mas Karim. 

"Coba  dihitung sekali lagi, Mas? Barangkali ada yang salah," sahut Mas Danang. Wajahnya terlihat sangat tegang. 

"Itu lihat saja sendiri." Mas Karim menunjuk kertas catatan yang sekarang ada di tangan Mbak Sindi dan segera diambil oleh Mas Danang untuk dilihat secara seksama. 

"Mas, apa benar harga daging sapi totalnya segini?" tanya Mas Nurma dengan dahi berkerut. Ia ikut membaca tulisan itu. 

"Daging sapi memang mahal, Mbak. Sekilo nya selalu di atas seratus ribu. Ya, aku tahu kamu pasti kaget saat melihat kenyataan bahwa daging sapi adalah pengeluaran yang paling banyak karena habis satu kwintal sampai kemarin. Wajar saja kalau lebih dari sepuluh juta hanya untuk beli daging sapi saja," ucap Mbak Sindi. 

"Maklum, lah, Mbak, kalau Mbak Nurma tidak tahu harga daging sapi karena memang tidak pernah beli, tidak seperti kita yang memang sudah biasa beli daging sapi," sahut Mbak Vita. 

"Bukan begitu, Sin. Waktu itu aku beli di pasar harganya 130 ribu, tetapi di sini ditulis 135 ribu," jawab Mbak Nurma membela diri. Ia seolah tidak terima dibilang tidak mampu beli daging sapi. 

"Hei, kamu beli 130 ribu itu kapan? Jangan-jangan belinya saat lebaran kemarin, sudah pasti harganya naik. Apalagi ini belinya tidak cash alias boleh utang sampai batas maksimal 40 hari, sudah pasti harganya agak mahalan dikit lah," ucap Mbak Sindi. Wanita itu memajukan bibir untuk  mengejek kakak ipar suaminya. 

Aku menelan ludah. Setelah melihat perincian tadi, harga yang dibanderol di toko itu lumayan tinggi, tentu saja lebih murah dengan di toko kami. Akan tetapi, itu wajar karena toko itu memberikan pinjaman yang menyebabkan harga menjadi lebih mahal. 

"Nurma, kamu pasti mau bilang kalau tahu harga daging sapi mahal begini, lebih baik  pakai ayam saja, tetapi aku kasih tahu, ya, kemarin kita sudah sepakat untuk pakai daging sapi dan itu atas usul suamimu sendiri," ucap Mbak Sindi. 

Di desa ini, ada orang khusus yang selalu mendapat tugas untuk belanja saat ada orang meninggal karena tidak mungkin tuan rumah yang tertimpa musibah belanja sendiri.  Biasanya yang belanja dua orang dan mereka sudah bermusyawarah dengan keluarga terlebih dahulu. Orang ini hanya akan berbelanja sesuai permintaan tuan rumah, seperti mau pakai daging sapi atau ayam, serta makanannya mau apa saja. 

"Benar. Tetapi, ini demi keluarga kita juga. Apa kata orang-orang nanti kalau kita hanya memberi suguhan daging ayam? Malu, kan? Tetapi kalian tidak usah khawatir, kita sudah dapat lima juta dari hasil menjual sembako hasil sumbangan." Mas Karim mengambil kembali kertas catatan setelah semua melihatnya secara bergantian. 

Tadi pagi orang suruhan pemilik toko 'Teratai' --toko yang memberikan pinjaman itu datang untuk mengambil sembako yang berupa beras dan kawan-kawan. Kata ibu, di sini memang begitu, sembako hasil sumbangan bisa dijadikan uang untuk bayar utang. 

Ibu hanya menyisakan sedikit untuk dimakan sampai beberapa hari ke depan dan menyisakan untuk selamatan 40 hari nanti yang tinggal sebulan lagi.

"Kita sudah sepakat untuk utang ini dibagi lima, kan?" tanya Mas Gani. 

"Lho, kok lima?" tanya Mas Karim dengan nada tinggi. 

"Memang benar lima, kan, ibu juga dapat bagian sama rata?" Mas Gani merentangkan tangan. 

Kami menatap ibu yang dari tadi hanya diam saat menyimak para anak dan menantunya berdiskusi. 

"Iya, nggak apa-apa dibagi lima dan bagian ibu biar nanti aku yang bayar," sahut Mas Ubay. 

"Bay." Ibu mendongak dan menatap suamiku itu. 

Mas Ubay tersenyum dan mengangguk. 

"Bagus lah kalau kamu sadar diri mau bayar bagian ibu. Itu sebagai ganti karena kalian berdua tidak pernah ikut merawat ibu padahal sebagai anak kita punya kewajiban yang sama," ucap Mbak Sindi yang rumahnya dekat dengan ibu. 

Jleb

Mataku memanas mendengar ucapan Mbak Sindi, hatiku perih. Ya, kuakui sebagai anak, aku tidak bisa menemani bapak dan ibu sepanjang waktu, bahkan aku baru datang satu hari sebelum bapak meninggal. Mau bagaimana lagi, seorang istri harus ikut dengan suaminya dan qodarullah suamiku orang jauh. Akan tetapi, ini juga bukan atas kemauanku, bukan? Seandainya aku boleh memilih, sudah pasti aku akan memilih suami yang lebih dekat. 

"Sepakat, ya, setiap orang dapat bagian utang lima juta karena 43 juta dikurangi lima juta uang sembako dan sumbangan 13 juta, jadi hanya tinggal 25 juta. Khusus untuk Asty 10 juta." Mas Karim mengakhiri musyawarah siang ini dan sudah mendapat kata sepakat. 

Kami dikejutkan dengan sebuah pengumuman dari TOA masjid bahwa ada orang yang meninggal. Ucapan innalillahi wa inna liahi raji'un terucap di bibir kami. Baru sembilan hari bapak mdninggal, sudah ada orang yang meninggal lagi. 

"Ayo, As, kita ke sana." Ibu menarik tanganku. 

"Ke mana, Bu." Aku menahan tangan ibu. 

"Kita harus ke rumah duka sekarang juga."

Aku ikut saja dengan ibu karena yang lain juga sudah pergi semua. Ya, saat ada pengumuman orang meninggal, warga desa seperti dikomando, mereka berbondong-bondong datang ke rumah duka. 

Tidak butuh waktu lama, kayu bakar mulai berdatangan dari warga. Ya, untuk masak besar ini masih menggunakan tungku bukan kompor gas. 

Sebagian orang membantu mengurus jenazah mulai dari memandikan hingga mengkafani dan sebagian pria bertugas ke makam untuk menggalinya. Aku juga baru tahu kalau di desa ini tidak ada petugas penggali makam khusus seperti di kota. Menggali makam dilakukan secara gotong royong saja sesuai RT masing-masing. 

Ada satu yang membuatku heran, saat datang ke sini ibu memintaku untuk membawa pisau dan anehnya aku manut saja tanpa banyak tanya dan setelah sampai di sini, ternyata hampir semua orang datang dengan menenteng pisau di tangan masing-masing.

Rumah duka yang terletak di ujung jalan itu seketika dipenuhi warga. Isak tangis  terdengar dari dalam sana. 

"Sabar, ikhlaskan dia, Nak. Ini sudah takdir yang Maha Kuasa," ucap ibu. Aku dan ibu mendekati seorang wanita yang sedang terduduk lemas di samping jenazah. 

Wanita itu masih sangat muda dan yang meninggal adalah suaminya. Ia meninggal karena serangan jantung. Mataku tiba-tiba menganak sungai saat melihat anak-anak kecil yang berada di pangkuan wanita yang kini sudah menjadi janda itu. Anak-anak itu menangis sesenggukan. 

Ya, wanita itu menjadi janda dengan dua orang anak yang masih balita. 

Jika seperti ini, apakah selamatan juga akan diadakan seperti halnya bapak yang harus menelan biaya hingga 40 juta lebih? Lalu bagaimana dengan anak-anaknya nanti? Sedangkan keluarga ini juga bukan golongan orang mampu jika dilihat dari kondisi rumahnya yang masih biasa? 

    

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Aku kembali

    PoV Wiji PermanaPonselku berdering disertai getar sebagai pertanda ada panggilan masuk. Kuangkat benda pipih itu dan melihat siapa yang menelepon. Endah, tumben ia menghubungiku duluan. Ya, aku memang melarangnya meneleponku terlebih dulu dengan alasan aku selalu sibuk. Aku tidak pernah telepon maupun video call dan hanya berkomunikasi melalui pesan tertulis saja. Tadi, untuk pertama kalinya aku meneleponnya, tetapi sekarang ia sudah meneleponku lagi. "Ya, Ndah, ada apa? Baru tadi telepon sudah kangen lagi." Aku tersenyum meski aku tahu Endah tidak melihat senyumanku karena kami hanya telepon saja bukan video call. "Mas, tolong katakan sekarang juga kalau kita ini adalah pasangan suami istri agar Irgi tidak menggangguku lagi," ucap Endah dari seberang sana. Jadi, di rumah sedang ada Irgi dan dia sedang mengganggu Endah? Saat ini aku sedang berada di luar negeri untuk menjalani operasi bedah plastik di wajah yang rusak ini. Sebelum bertemu dengan Endah, aku tidak pernah punya nia

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Ending

    PoV Asty"Jangan ambil mobilku!" seru Mbak Vita. Ia terus menjerit saat mobil putih miliknya dibawa pergi orang yang sudah membelinya secara kontan. Orang itu tentu sana tidak peduli meski kakak iparku itu terus saja memohon agar tidak membawa mobilnya karena memang sudah lunas. "Sudahlah, ikhlaskan saja mobil dari hasil utang itu. InsyaAllah kita bisa beli dengan uang kita sendiri suatu saat nanti. Asalkan kita berusaha pasti bisa. Sekarang kita terima naik motor dulu kalau mau ke mana-mana." Mas Danang merangkul pundak istrinya dengan lembut. "Duh, Gusti. Sudah nggak punya mobil lagi, ponsel bagus yang bisa buat selpi dengan hasil bagus juga nggak ada. Bagaimana aku bisa hidup tanpa keduanya?" Mbak Vita terisak dalam pelukan suaminya. "Sudah, Vit. Nggak apa-apa. Aku juga nggak punya mobil masih bisa bernapas dan segar bugar hingga saat ini, kok. Mobil itu bukan kebutuhan primer bagi kita. Kecuali kalau Asty yang punya bisnis dan punya orang tua yang tinggal di tempat yang jauh,

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Enam puluh dua

    "Bagaimana, Bay. Apakah sudah ada yang berminat untuk beli mobilku?" tanyaku pada Ubay. Ia lebih berpengalaman mengenai jual beli mobil ini, makanya aku butuh bantuannya. "Sabar, Mas. Yang namanya jual mobil itu enggak seperti jual makanan, butuh proses," jawab Ubay. "Bagaimana aku bisa sabar, Bay. Aku sudah kepikiran dengan sertifikat itu." Aku memainkan jari tangan karena gelisah. "Iya, Mas. Ini sedang aku tawarkan pada salah seorang teman. Dia bilang sedang butuh mobil. Aku tidak menjual dengan cara ditawarkan secara online biar cepet. Jangan khawatir, orang ini amanah, kok." Ubay menepuk pundakku. "Iya, Bay. Aku percaya sama kamu." Aku tersenyum. Aku sudah mantap menjual mobil itu meski Vita merengek dan merajuk sepanjang malam. Aku sudah bertekad ingin membuang kebiasaan buruknya selama ini yaitu suka membeli barang yang tidak terlalu penting dan ingin dianggap wah oleh orang lain padahal sebenarnya gelisah. Aku tega melakukan ini karena melihat Mas Karim yang berhasil men

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Enam puluh satu

    Biaya Selamatan Atas Meninggalnya Bapak61PoV DanangTubuhku seakan lemas tidak bertulang mendengar pengakuan Vita tentang sertifikat itu. Bagaimana mungkin ia begitu ceroboh memberikan barang berharga itu pada orang lain? Kenapa ia sebodoh itu memberikan surat berharga itu hanya demi perhiasan yang bisa dijual dengan harga yang tidak seberapa meski itu ibunya sendiri. Kuusap peluh yang terus mengucur di pelipis. Dadaku terasa sesak menghadapai kenyataan ini. Bayangan buruk mulai menghantui. "Maafkan aku, Mas!" Vita masih memeluk kakiku, tetapi tiba-tiba ia berseru, "aduh, sakit!"Vita memegangi perutnya yang sudah mulai membuncit itu hingga membuat semua orang panik. "Kamu kenapa, Vit?" tanya ibu. "Perutku kram, Bu." Vita terduduk lalu memegangi perutnya sambil meringis. Aku memutar bola mata malas. Aku sudah hafal dengan tabiatnya si Vita. Saat dimarahi ia akan mencari perhatian agar orang-orang bersimpati padanya. Kebiasaan. "Danang, kenapa kamu diam saja? Ayo bantu istrimu.

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Enam puluh

    "Apa maksudmu utang dengan menjaminkan sertifikat? Sertifikat apa? Bukankah kamu bilang kalau mobil itu dari hasil penjualan emas milik ibu, ya? Sehingga kamu selalu membanggakan ibumu sendiri dibanding ibuku yang kamu bilang tidak perhatian dan pilih kasih?" tanya Mas Danang yang ternyata sudah ada di belakang Mbak Vita. "Em, enggak, Mas. Aku hanya bercanda aja. Iya, mobil itu memang aku beli dari hasil penjualan emas milik ibu karena ibuku itu sayaaaaang banget padaku sehingga rela memberikan apa saja yang ia punya untuk anak perempuannya yang cantik ini," jawab Mbak Vita. "Tadi kamu bilang sertifikat, sertifikat apa?" tanya Mas Danang lagi. Kali ini dengan nada tinggi. "Udah, Mas. Nggak ada, aku hanya salah ngomong aja. Namanya juga lidah, sudah pasti sering kepeleset, kan? Ya, tadi kalau yang bernama Mas Karim dan istrinya yang bernama Mbak Nurma itu iri karena kita punya mobil sedangkan ia hanya mampu beli motor second." Mbak Vita melirik kakak iparnya-Mas Karim. Dibilang iri

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Lima puluh sembilan

    "Enak, kan, Bu?" tanya Mas Karim. Ia mengambil makanan lalu menyuapkan ke mulut ibu. Manisnya perlakuan kakak sulungku pada ibunya ini. Ah, seandainya semua anak ibu seperti itu, pasti aku tidak kepikiran membiarkan ibu tetap tinggal di sini. Sayang, anak yang perhatian itu malah tinggal di desa yang berbeda. Meski jaraknya tidak terlalu jauh dan beberapa menit saja sudah sampai, tetap saja tidak bisa berkunjung setiap hari karena punya kesibukan sendiri. "Ini Nurma yang masak?" tanya ibu. Mas Karim tersenyum. "Iya, lah, Bu. Di rumah kami tidak punya asisten rumah tangga seperti di rumah Asty yang setiap kali makan sudah ada yang memasak." "Aku juga masih suka masak, kok, Mas." Aku tersenyum. "Bagaimana rasanya, ya, pulang asisten rumah tangga yang mau apa-apa tinggal memerintah saja tanpa harus repot turun tangan sendiri. Lapar tinggal bilang 'Mbok, laper, bikinin nasi goreng, dong. Atau saat haus dan sedang asyik nonton tivi langsung berteriak 'Mbok, buatkan jus mangga, dong.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status