Share

Sembilan

Penulis: Siti Aisyah
last update Terakhir Diperbarui: 2022-08-19 07:11:30

"Gani, seharusnya kalau hanya rokok, nggak usahlah diomongin di sini. Kamu, kan, bisa bayar sendiri?" sahut Mas Karim kesal. 

Mbak Sindi melotot," Ya nggak bisa gitu, Mas. Rokok itu untuk kepentingan selamatan juga. Apalagi ambilnya juga dua slop, sudah berapa duit itu?" 

"Ya udahlah, hitung saja semuanya. Nanti jadikan satu dengan utang utama yang sudah menjadi hampir 40 juta," jawab ibu. 

Mbak Sindi dan Mas Gani terlihat menghela napas bersamaan, mereka lega karena uang rokok tidak ditanggungnya sendiri seperti permintaan Mas Karim. 

"Kalau rokok itu juga masuk ke daftar utang yang harus kita tanggung bersama, aku juga mau lapor," sahut Mbak Vita semringah. 

Kami semua saling berpandangan. 

"Lapor apa lagi, Vit? Apakah kamu juga ikut utang di warung Bu Utami. Bilang saja, nanti akan kita bayar bersama," sahut ibu. 

"Jadi gini, tadi saat aku mengantar makanan ke luar desa, aku beli bensin dua liter dan itu pakai uangku sendiri, tetapi berhubung perjalanan ini dalam rangka kepentingan yang ada sangkut pautnya dengan acara selamatan, aku mau minta ganti rugi," ucap Mbak Vita. 

Suara istighfar menggema di ruangan ini. Ibu menggelengkan kepala, pun dengan Mas Ubay dan aku. Selama ini aku tahu kalau Mbak Vita memang perhitungan, tetapi tidak kusangka jika sampai separah ini. Kutekan dada perlahan untuk mengurangi rasa sesak yang mendera. 

"Iya, benar kata Vita, masukkan saja uang bensin ini, nanti kita akan tahu berapa semuanya," ucap Mas Karim. 

Mas Ubay menggenggam erat tanganku. Aku tahu ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi ia sadar, di sini ia hanya menantu. 

"Oh, ya, selain bensin aku juga beli jajanan untuk Aru dan kami juga mampir beli bakso karena makanan yang kami antar sangat jauh sehingga lapar di perjalanan," ucap Mbak Vita lagi. 

Istighfar kembali menggema di ruangan ini. 

"Kenapa? Kalian nggak setuju? Aku beli jajan buat anak dalam rangka mengantar makanan dan yang dibeli Aru itu adalah makanan mahal karena ia mengambil kind*r j*y dengan harga dua belas ribu per biji, padahal ia mengambil tiga. Belum lagi ia juga mengambil banyak jajanan karena kami mampir ke mini market yang ada di kecamatan. Coba kalian pikir, kalau aku tidak diminta untuk mengantar makanan, tentu tidak akan ke sana, bukan?" Mbak Vita bercerita dengan semangat empat lima. 

Aku menghela napas, berulang kali aku mengorek telinga. Lama-lama berada di sini bisa membuat kepalaku pecah. Kulirik Mas Gani, ia sama sekali tidak memberi peringatan pada istrinya agar diam. Ia seperti malah mendukung sang istri.

"Iya, Vit. Hitung saja semuanya, nanti akan kita tanggung bersama," ucap Mas Karim setelah melirik pada ibu dan mengangguk. 

Mas Karim berkata begitu pasti karena sudah malas untuk debat. 

"Yes." Mbak Vita bersorak kegirangan seperti seorang anak kecil yang baru saja dibelikan mainan baru oleh ibunya. 

"Kamu catat saja, Vit. Nanti serahkan padaku agar kutotal semuanya." Mas Karim menyerahkan secarik kertas pada Mbak Vita.

Wanita berbulu mata lentik itu menerima kertas itu dengan semringah. 

"Bu, aku akan ke warung Bu Utami untuk membayar utangnya yang di sana." Mas Karim  mengulurkan tangan pada ibu dan aku tahu maksudnya minta uang pada iibu. Tentu saja uang itu adalah uang hasil sumbangan. 

Gema azan Magrib terdengar, kami bubar dan akan dilanjutkan nanti. 

"Kita salat dulu, Dek." Mas Ubay membantuku bangun. 

"Iya, Mas."

Aku jadi kepikiran dengan kebiasaan warga desa ini yang mengadakan makan besar saat ada orang meninggal, bahkan seperti acara pernikahan. Bagaimana jika orang uang meninggal itu tidak memiliki ahli waris? Atau dia orang yang nggak mampu secara finansial? Apakah tetap ada acara seperti ini juga? Kalau iya, sungguh kasihan. 

Di tempat tinggal kami, tidak pernah ada acara seperti ini. Jika ada orang meninggal, cukup menyediakan air minum kemasan dan permen. Itu pun jarang ada yang mau minum. Para pelayat datang hanya salat jenazah, menghibur yang sedang berduka cita dan memasukkan amplop ke dalam kotak yang sudah disediakan. 

Acara musyawarah tidak jadi dilanjutkan malam ini karena peralatan makan seperti piring, gelas, toples, dan lainnya belum dikembalikan dan baru akan beres besok. 

"Bu, apakah semua orang yang meninggal, harus, mengadakan acara seperti ini?" tanyaku saat kami sudah mau tidur. 

"Enggak ada yang mengharuskan, tetapi sudah menjadi kebiasaan," jawab ibu. 

Aku mengangguk," Gitu, ya, Bu." 

"Iya, sekarang kita tidur. Bukankah besok kamu akan pulang? Setelah  ini jangan lama-lama kalau ke sini, ya? Ibu pasti akan merindukan kalian." Ibu membelai rambutku. 

"Bukankah ibu juga mau kuajak untuk tinggal bersama kami di kota? Mau, ya, Bu? Dari pada tinggal di sini sendiri," sahut Mas Ubay. 

Aku menoleh dan tersenyum," Kok masih bisa nyaut, Mas. Aku pikir kamu sudah tidur?" 

"Gimana mau tidur kalau kalian berdua berisik terus." Mas Ubay memiringkan tubuhnya lalu menyangga kepala dengan tangannya.

Aku melirik lalu tersenyum dan kembali menatap suamiku lagi. 

"Biasanya setiap ada bantal langsung aja terlelap tanpa peduli dengan suara berisik." Aku tersenyum menggoda. 

"Ish, kenapa kamu buka aibku dengan ibu? Aku, kan, jadi malu." Mas Ubay mencubit hidungku. 

Ibu bangun dari tidurnya lalu mengambil selimut," Sepertinya ibu sudah salah tidur di sini. Mengganggu kalian." 

Aku menarik selimut yang dibawa ibu dan tertawa pelan," Justru Ibu sudah membantu menyelamatkan aku dari pria nakal ini, Bu. Ibu di sini saja." 

Aku membaringkan tubuh ibu lagi, lalu kami tertawa bersama. 

"Asty, saat seperti ini, Ibu jadi ingat dengan almarhum bapak." Ibu yang tadinya tersenyum mendadak sendu. Tiba-tiba air mata itu luruh dari sudut matanya yang sudah mulai berkeriput. 

"Ibu, bapak sudah bahagia di alam sana. Tugas kita sekarang adalah mendoakan bapak agar amal ibadahnya diterima Allah SWT." Aku mengusap air mata yang semakin deras itu. 

"Amiin." Kami bertiga berseru serempak. 

Kami sudah siap untuk tidur saat tiba-tiba Mas Ubay berseru," Tadi ibu belum jawab dengan ajakan kami untuk tinggal di kota. Jadi, bagaimana, Bu? Apakah ibu bersedia?" 

"Lihat, sekarang sudah jam berapa? Sekarang waktunya istirahat. Itu kita bahas besok." Ibu berbalik dan menutup wajahnya dengan selimut. 

Aku dan Mas Ubay hanya mengendikkan bahu. 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Aku kembali

    PoV Wiji PermanaPonselku berdering disertai getar sebagai pertanda ada panggilan masuk. Kuangkat benda pipih itu dan melihat siapa yang menelepon. Endah, tumben ia menghubungiku duluan. Ya, aku memang melarangnya meneleponku terlebih dulu dengan alasan aku selalu sibuk. Aku tidak pernah telepon maupun video call dan hanya berkomunikasi melalui pesan tertulis saja. Tadi, untuk pertama kalinya aku meneleponnya, tetapi sekarang ia sudah meneleponku lagi. "Ya, Ndah, ada apa? Baru tadi telepon sudah kangen lagi." Aku tersenyum meski aku tahu Endah tidak melihat senyumanku karena kami hanya telepon saja bukan video call. "Mas, tolong katakan sekarang juga kalau kita ini adalah pasangan suami istri agar Irgi tidak menggangguku lagi," ucap Endah dari seberang sana. Jadi, di rumah sedang ada Irgi dan dia sedang mengganggu Endah? Saat ini aku sedang berada di luar negeri untuk menjalani operasi bedah plastik di wajah yang rusak ini. Sebelum bertemu dengan Endah, aku tidak pernah punya nia

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Ending

    PoV Asty"Jangan ambil mobilku!" seru Mbak Vita. Ia terus menjerit saat mobil putih miliknya dibawa pergi orang yang sudah membelinya secara kontan. Orang itu tentu sana tidak peduli meski kakak iparku itu terus saja memohon agar tidak membawa mobilnya karena memang sudah lunas. "Sudahlah, ikhlaskan saja mobil dari hasil utang itu. InsyaAllah kita bisa beli dengan uang kita sendiri suatu saat nanti. Asalkan kita berusaha pasti bisa. Sekarang kita terima naik motor dulu kalau mau ke mana-mana." Mas Danang merangkul pundak istrinya dengan lembut. "Duh, Gusti. Sudah nggak punya mobil lagi, ponsel bagus yang bisa buat selpi dengan hasil bagus juga nggak ada. Bagaimana aku bisa hidup tanpa keduanya?" Mbak Vita terisak dalam pelukan suaminya. "Sudah, Vit. Nggak apa-apa. Aku juga nggak punya mobil masih bisa bernapas dan segar bugar hingga saat ini, kok. Mobil itu bukan kebutuhan primer bagi kita. Kecuali kalau Asty yang punya bisnis dan punya orang tua yang tinggal di tempat yang jauh,

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Enam puluh dua

    "Bagaimana, Bay. Apakah sudah ada yang berminat untuk beli mobilku?" tanyaku pada Ubay. Ia lebih berpengalaman mengenai jual beli mobil ini, makanya aku butuh bantuannya. "Sabar, Mas. Yang namanya jual mobil itu enggak seperti jual makanan, butuh proses," jawab Ubay. "Bagaimana aku bisa sabar, Bay. Aku sudah kepikiran dengan sertifikat itu." Aku memainkan jari tangan karena gelisah. "Iya, Mas. Ini sedang aku tawarkan pada salah seorang teman. Dia bilang sedang butuh mobil. Aku tidak menjual dengan cara ditawarkan secara online biar cepet. Jangan khawatir, orang ini amanah, kok." Ubay menepuk pundakku. "Iya, Bay. Aku percaya sama kamu." Aku tersenyum. Aku sudah mantap menjual mobil itu meski Vita merengek dan merajuk sepanjang malam. Aku sudah bertekad ingin membuang kebiasaan buruknya selama ini yaitu suka membeli barang yang tidak terlalu penting dan ingin dianggap wah oleh orang lain padahal sebenarnya gelisah. Aku tega melakukan ini karena melihat Mas Karim yang berhasil men

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Enam puluh satu

    Biaya Selamatan Atas Meninggalnya Bapak61PoV DanangTubuhku seakan lemas tidak bertulang mendengar pengakuan Vita tentang sertifikat itu. Bagaimana mungkin ia begitu ceroboh memberikan barang berharga itu pada orang lain? Kenapa ia sebodoh itu memberikan surat berharga itu hanya demi perhiasan yang bisa dijual dengan harga yang tidak seberapa meski itu ibunya sendiri. Kuusap peluh yang terus mengucur di pelipis. Dadaku terasa sesak menghadapai kenyataan ini. Bayangan buruk mulai menghantui. "Maafkan aku, Mas!" Vita masih memeluk kakiku, tetapi tiba-tiba ia berseru, "aduh, sakit!"Vita memegangi perutnya yang sudah mulai membuncit itu hingga membuat semua orang panik. "Kamu kenapa, Vit?" tanya ibu. "Perutku kram, Bu." Vita terduduk lalu memegangi perutnya sambil meringis. Aku memutar bola mata malas. Aku sudah hafal dengan tabiatnya si Vita. Saat dimarahi ia akan mencari perhatian agar orang-orang bersimpati padanya. Kebiasaan. "Danang, kenapa kamu diam saja? Ayo bantu istrimu.

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Enam puluh

    "Apa maksudmu utang dengan menjaminkan sertifikat? Sertifikat apa? Bukankah kamu bilang kalau mobil itu dari hasil penjualan emas milik ibu, ya? Sehingga kamu selalu membanggakan ibumu sendiri dibanding ibuku yang kamu bilang tidak perhatian dan pilih kasih?" tanya Mas Danang yang ternyata sudah ada di belakang Mbak Vita. "Em, enggak, Mas. Aku hanya bercanda aja. Iya, mobil itu memang aku beli dari hasil penjualan emas milik ibu karena ibuku itu sayaaaaang banget padaku sehingga rela memberikan apa saja yang ia punya untuk anak perempuannya yang cantik ini," jawab Mbak Vita. "Tadi kamu bilang sertifikat, sertifikat apa?" tanya Mas Danang lagi. Kali ini dengan nada tinggi. "Udah, Mas. Nggak ada, aku hanya salah ngomong aja. Namanya juga lidah, sudah pasti sering kepeleset, kan? Ya, tadi kalau yang bernama Mas Karim dan istrinya yang bernama Mbak Nurma itu iri karena kita punya mobil sedangkan ia hanya mampu beli motor second." Mbak Vita melirik kakak iparnya-Mas Karim. Dibilang iri

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Lima puluh sembilan

    "Enak, kan, Bu?" tanya Mas Karim. Ia mengambil makanan lalu menyuapkan ke mulut ibu. Manisnya perlakuan kakak sulungku pada ibunya ini. Ah, seandainya semua anak ibu seperti itu, pasti aku tidak kepikiran membiarkan ibu tetap tinggal di sini. Sayang, anak yang perhatian itu malah tinggal di desa yang berbeda. Meski jaraknya tidak terlalu jauh dan beberapa menit saja sudah sampai, tetap saja tidak bisa berkunjung setiap hari karena punya kesibukan sendiri. "Ini Nurma yang masak?" tanya ibu. Mas Karim tersenyum. "Iya, lah, Bu. Di rumah kami tidak punya asisten rumah tangga seperti di rumah Asty yang setiap kali makan sudah ada yang memasak." "Aku juga masih suka masak, kok, Mas." Aku tersenyum. "Bagaimana rasanya, ya, pulang asisten rumah tangga yang mau apa-apa tinggal memerintah saja tanpa harus repot turun tangan sendiri. Lapar tinggal bilang 'Mbok, laper, bikinin nasi goreng, dong. Atau saat haus dan sedang asyik nonton tivi langsung berteriak 'Mbok, buatkan jus mangga, dong.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status