"Wah, wah, wah, aku tahu apa yang ada dipikiran kamu itu, As. kamu pasti mau menjual gula ini, kan?" Mbak Vita masih mendekap erat kardus itu. Tiba-tiba Mbak Sindi datang menghampiri kami. "Ada apa, Vit? Yang lain sedang sibuk, kalian malah ribut di sini? Terus itu kenapa bawa-bawa kardus segala? Coba aku lihat apa isinya," tanya istri Mas Gani itu. "Ini, lho, Mbak. Si Asty mau bawa pulang sembako ini. Sudah pasti mau dijual, kan? Aku hanya mengamankan saja." Lapor Mbak Vita. "Ibu yang meminta Asty untuk mengembalikan ke rumah Rida karena ini dari Rida," kata ibu yang tiba-tiba sudah ada di belakang kami dan kami menoleh serempak. "Kenapa harus dikembalikan, sih, Bu? Kan lumayan kalau sisa bisa dijual untuk meringankan beban kita nanti," ucap Mbak Vita. "Duh, Vita. Kamu ini kaya bukan orang sini saja? Memang kebiasaan di sini seperti itu, kan? Untuk acara 40 hari ini kita tanggung sendiri tanpa bantuan keluarga dan sanak saudara," jawab ibu. Ibu mengambil kembali kardus dari t
Usai berbuka dan melaksanakan salat Magrib, kami kembali sibuk menyiapkan makanan untuk acara nanti malam dan tidak boleh ada yang terlewat. Yang paling sok sibuk tentu saja Mbak Sindi. Ia bolak-balik ke dapur hanya untuk memastikan kalau daging sapi sudah dimasak sesuai arahannya. "Kalau tidak percaya masak saja sendiri, Sin," ucap wanita yang kata ibu bernama Yuli itu ia terlihat kesal dengan kedatangan Mbak Sindi. "Jangan gitu, dong, Bu. Aku hanya memastikan kalau rasanya tidak mengecewakan nanti sehingga tidak memalukan," jawab Mbak Sindi. Mulutnya tiada henti mengunyah daging sapi. Dia pasti sudah kenyang karena sebentar-sebentar mencicipi daging sapi itu, dan setiap kali nyicip, pasti mengambil satu potong. Iya, memasak daging sapi memang membutuhkan waktu yang cukup lama. "Apa maksudmu tidak mengecewakan? Kamu meragukan kemampuanku? Dengar, ya, Sin, aku sudah dipercaya memasak daging sapi ini sejak kamu belum ada di sini dan dari dulu hingga kini, sudah berapa kwintal daging
Kami dikejutkan dengan Mbak Sindi yang tiba-tiba tertawa lebar. "Syifa, Sayang. Sejak kapan kamu bisa berbohong seperti ini? Aduh, Asty mana mungkin aku meminta ibu mencucikan baju kami. Anak kecil memang selalu pandai berbohong, bukan?"Mas Gani salah tingkah, ia menggaruk tengkuknya lalu nyengir. "Iya, As. Nanti aku akan lihat anakku ini suka nonton apa sehingga bisa berbohong seperti ini."Gadis itu bingung dan memandang ayah ibunya secara bergantian, "kok bohong, sih? Bukankah di rumah sudah ada pakaian kotor satu ember besar dan ibu bilang akan dicuci sama Nenek, tetapi nanti setelah Bi Asty nggak ada?" Mbak Sinfti melotot lalu menarik tangan anaknya, tetapi tiba-tiba Syafa menjerit. "Aduh, Bu. Kenapa Syafa dicubit, sih? Sakit, tahu?"Mbak Sindi nyengir. "Sekarang kamu pulang, ya, Sayang. Jangan bikin ibu pusing di sini. Ibu sudah masakin makanan kesukaan kamu. Buruan makan, nanti nggak enak kalau keburu dingin!"Dahi anak itu mengernyit, "makan? Aku, kan, puasa, Bu? Lagi pula s
Ibu kembali memasukkan foto itu ke dalam tas. "Foto ini sangat berharga dan tidak akan ku berikan pada siapa pun. Kamu ini mau apa, sih, Sin? Masih kurang apalagi? Saat ini kamu masih bisa nyuci pakai mesin cuci karena tidak dibawa. Kamu bisa pakai sepuasnya asal jangan dibawa pulang.""Enggak, kok, Bu. Aku cuma mau minta kenang-kenangan gamis yang berwarna cokelat itu. Kayaknya itu pas banget di badanku. Sudah lama aku mengincarnya, tetapi baru kali ini aku berani bilang. Yah, mau bagaimana lagi? Aku takut nggak bisa tidur kalau sampai nggak kesampaian pakai gamis brukat itu, Bu." Mbak Sindi berkata sambil memainkan jari tangannya. "Gamis? Ya Allah, Sindi, kamu ini ada-ada saja. Masa iya pingin pakai gamis milik mertuanya? Nggak lucu, ah. Sudah pasti gamis milik ibu, ya, modelnya beda dengan yang biasa kamu pakai. Lagi pula mau pergi ke mana sampai harus minta gamis ke Ibu segala?" kata Mas Karim yang merupakan kakak iparnya Mbak Sindi. Ia berkata sambil menahan tawa. Mbak Sindi ce
Ibu mendekap erat gamis cokelat yang tadi sempat beralih ke tangan menantunya. "Kamu tahu nggak, As?" tanya ibu. Ia memegang tanganku. Iya, aku dan ibu memang duduk di belakang sedangkan Mas Ubay di depan. "Apa, Bu?" "Gamis ini baru dua kali dipakai oleh ibu." "Ibu nggak suka dengan gamis ini sehingga jarang dipakai?""Bukan, tetapi ibu lebih nyaman pakai kain jarik dengan kebaya. Lagi pula, masa iya ke sawah pakai gamis. Ntar sobek kena duri rumput." Ibu tersenyum. "Oh, aku kira karena nggak suka.""Oh, ya, Bu. Tanaman cabai kita yang panen itu gimana kalau kita tinggal? Kenapa aku sama sekali nggak kepikiran, ya? " Aku tepuk jidat dan seolah baru ingat ada tanaman cabai milik Ibu yang harus diurus. Ciiiit!Mas Ubay mengerem mendadak mobilnya dan menoleh ke arah ibu, "iya, kenapa kita nggak kepikiran, ya? Sayang juga, kan, kalau dibiarkan begitu saja. Mana sudah siap panen lagi. Ayo kita balik lagi!" Mas Ubay terlihat panik. Ibu tertawa melihat kami malah bahas tanaman cabai y
Kubaca sekali lagi status Mbak Vita karena masih belum paham dengan yang ia tulis kalau menyumbang itu sama dengan menitipkan uang. "Bu, apa benar seperti ini?" tanyaku setelah kupikir-pikir tidak menemukan jawabannya juga karena selama ini kalau nyumbang, ya, nyumbang aja nggak pernah minta balasan. "Apanya, As?" Ibu balik tanya. "Ini yang dibilang Mbak Vita kalau kita menyumbang itu seperti menitipkan uang? Artinya kalau kita pernah nyumbang banyak saat kita ada hajatan juga akan dapat banyak. Kalau seperti itu bukan tolong menolong untuk meringankan beban, dong, Bu?" tanyaku dengan dahi mengernyit. Ibu mengambil buah anggur dan memasukkan ke dalam mulutnya. "Seharusnya memang begitu, kalau kita menyumbang itu harus ikhlas, tetapi pada kenyataannya tidak begitu, kalau kita memberi lebih sedikit dari yang pernah kita terima pasti jadi omongan orang banyak. Seperti Rida kemarin." "Rida? Memangnya Rida kenapa, Bu?" tanyaku penasaran. Rupanya saat aku pulang ke kota waktu itu ada k
Aku sudah selesai mandi dan ganti baju. Sekarang aku merasa lebih segar dan nyaman dengan baju tidur tipis berwarna merah yang menempel di badan. Kuambil alat pengering rambut karena habis keramas. Percuma mandi kalau tidak keramas. Aku menggeleng saat melihat ibu masih saja berbicara di depan ponsel dan aku merasa kalau ia seperti orang yang sedang berpidato saat ini. Apakah tidak capek berbicara tadi, Bu? Bahkan hingga aku selesai mandi. Ibu sedang berdiri di depan aquarium besar yang berisi ikan hias kesayangan Mas Ubay. Sesekali ia mengarahkan ponselnya pada ikan-ikan koi yang sedang berenang di dalam air. "Aruna dan yang lainny pasti senang kalau diajak ke sini, Vit. Tuh lihat! Ikannya banyak dan lucu banget," kata ibu masih dengan semangat empat lima. Aku merasa ada yang aneh, kenapa ibu terus berbicara sedangkan Mbak Vita yang ada di seberang sana tidak merespon? Jangan-jangan ... Aku mendekati ibu yang masih asyik dan melongok ke ponsel yang dipegangnya. ternyata benar du
Ibu terus merengek minta ponsel agar bisa menghubungi anak pertamanya itu. "Mana ponselnya, As? Biarkan ibu melakukan siaran langsung saat makan seperti para selebgram itu." Ibu menadahkan tangan padaku. Tepuk jidat. "Ibu tahu selebgram sedang live makan-makan di mana?""Tahu lah, As. Meskipun tidak punya ponsel, tetapi Ibu punya televisi, kan? Ayo, mana ponselnya sebelum waktu imsak tiba." "Nah, itu, tahu kalau waktu imsak hampir tiba? Sebaiknya Ibu segera makan dan lupakan telepon dengan Mas Karim yang belum tentu dapat respon baik. Ibu lupa dengan apa yang Mbak Vita lakukan tadi malam? Ia mematikan sambungan telepon saat berbicara dengan Ibu? Ayolah, Bu. Jangan seperti anak kecil! Kita makan sekarang juga." "Asty benar, Bu. Sebaiknya kita segera makan karena waktu sahur ini sangat terbatas dan sekarang hanya kurang lima menit," sahut Mas Ubay. Ibu menggeleng dan tangannya bersedekap. Benar kata orang, orang tua kalau sudah merengek bisa melebihi anak kecil. "Ibu nggak mau mak