Mag-log inSetahun kemudian, Bisnis baru Zalman mulai kembali, keluarga Maheer bangkit dari keterpurukan ekonomi mereka secara berkala.Ghina dan Zalman sedang berada di sebuah rumah sakit, dan sedang ada acara di sana.Zalman menggandeng pergelangan tangan istrinya dengan lembut, "Kamu sudah makan?" tanyanya.Pas sekali karena mereka berhenti di meja prasmanan, Zalman menawarkan Ghina mencicipi apa yang tersedia di sana. "Makanannya enak, Sayang. Mau coba bersama?"Ghina tidak membalas, ia hanya melamun sejak tadi."Ada apa, Ghina?""Apa ada yang salah?" Zalman meraih bahu sang istri, membawanya lebih dekat padanya.Matanya memandang penuh kasih, "Kamu merasa tidak enak badan? Wajahmu pucat sekali. Haruskah kita beristirahat dan memeriksakan diri?"Dhanu tersadar akan sesuatu, ia mudah memahami perubahan emosi dari wanita yang menjadi teman hidupnya ini."Ya Tuhan, apa kamu merasa sakit karena bekas operasi itu?" tebak pria itu, "Bagaimana kalau kita pulang saja, ya?"Zalman menggeleng, geraka
Ghina baru saja hendak terlelap.Menjalani rutinitas pengobatan bukankah hal mudah yang harus dirawat yang seseorang.Mereka yang diberikan takdir untuk senantiasa kuat menjalani hal tersebut adalah orang-orang terpilih.Dan istri Zalman itu adalah salah satunya.Baru saja ingin memejamkan mata, niatnya urung kala mendengar suara ketukan pintu, menandakan ada yang datang."Mas Zalman baru saja pergi. Siapa yang menemuiku?"Matanya mengerjap awas, memusatkan kembali fokus. Ia takut kalau-kalau tenaga medis datang, memeriksa kondisinya.Perempuan yang terpasang peralatan medis itu yakin yang menemuinya saat ini bukanlah Zalman, sebab suaminya itu baru saja ijin keluar untuk mencari sesuatu."Lama tidak melihatmu, Ghina!" kata pria bersnelli putih, dengan kacamata yang bertengger di wajahnya, "O-ah, maaf. Apa kamu sedang beristirahat?""Masuk saja, Dokter. Aku tidak jadi tidur."Berjalan tegap menghampiri Ghina. Senyuman sehangat mentari terbit dari sudut wajahnya yang tampan, "Kamu yaki
"Ini terasa sangat aneh," Zalman berceletuk, mengusir hening yang terjalin sejak 1 jam lalu.Ghina yang hanya mendengar separuh dari kalimat itu spontan menengok ke arah suaminya tersebut. "Apanya yang aneh, Mas?"Pandangan itu mengedar ke sekeliling, lalu beralih kembali pada Ghina yang berada di sebelahnya."Tempat ini mulai terasa asing," lanjut pria itu, "Apa karena sudah lama sejak terakhir kali kita mendatanginya?"Pernyataan itu terlalu acak bagi Ghina. Perempuan dengan balutan kerudung berwarna putih itu membalas sekenanya, "Heum, mungkin saja karena itu."Jalanan yang biasa mereka lewati entah sepulang kerja, atau saat ingin mendatangi suatu tempat telah begitu jarang dikunjungi.Hanya saat jadwal pengobatan Ghina berlangsung saja, pasangan itu kembali ke Kota ini. Selebihnya, hidup di tempat baru.Perubahan demi perubahan yang ada di sudut jalan, bangunan yang ditata ulang, fasilitas, membuat desir aneh terasa di diri masing-masing.Kompleks yang semula memiliki begitu banya
"Mas Zalman, dengar dulu —""Apalagi yang harus saya dengar? Pembicaraan kita selesai!" serobot pria itu, menyanggah menggunakan nada bicara yang begitu dingin.Padahal, sebelumnya, Zalman sepakat untuk memperbaiki sikap dan tidak marah-marah kembali pada Ghina.Tetapi, ia tidak bisa menahan diri untuk memberikan sanggahan beserta penolakannya terhadap pemikiran aneh sang istri."Kita sepakat memikirkan jalan keluar bersama, Mas Zalman." Ghina kekeuh, ia bukannya ingin jadi keras kepala pada suaminya."Tapi ini bukan jalan keluar, Ghina." Zalman merendah, suaranya begitu lirih.Diantara banyaknya pilihan, pria itu mengungkit contoh lain. "Yang dinamakan jalan keluar adalah apa yang kita pilih dengan pemikiran terbuka.""Katamu, setiap kali mengalami masalah, kita akan sama-sama cari penyelesaiannya." Ghina menuntut, "Tetapi mengapa kamu justru menolak ide dariku?""Apa kamu berpikir bahwa ini adalah ide yang masuk akal?" Zalman menjawab, wajahnya mulai memerah."Ya!""Ghina, hentikan!
"Apa yang terjadi?" tanya Ghina, melihat kepala putranya tlah terluka, "Ada apa ini, Vin?!"Darah segar mengalir dari pelipis Calvin, lebam biru juga nampak tercetak di tempat yang sama."Kenapa kalian hanya bungkam saat bunda bertanya?""Apa tidak ada yang mau menjelaskan, atau mengatakan yang terjadi pada Bunda atau Papa?!" tuntut Ghina, gemas."Ada apa dengan anak-anakku ini. Kalian nampak sangat kompak ingin menyembunyikan apa yang terjadi!"Perempuan dengan aura keibuan yang membuat siapa saja mampu merasakan kasih sayangnya itu frustasi karena harus mendesak lebih dulu baru ada yang angkat bicara."Tidak apa-apa, Bunda.""Tidak apa-apa bagaimana? Kamu terluka seperti ini!""Ini hanya kecelakaan kecil," jawab putra sulung Zalman itu, merespon setenang yang ia bisa. "Hal yang biasa anak laki-laki terluka seperti ini."Zalman juga terkejut, sebenarnya sama khawatirnya dengan Ghina. Akan tetapi, ia tetap bisa mengontrol diri.Karena bila semua orang merespon sama, panik dan membuat
Zalman kembali dengan setelan baru.Kaos hitam dengan celana pendek warna senada sepatu yang sama seperti yang Ghina kenakan, dan topi agar tidak langsung tersengat sinar matahari."Bagaimana?" celetuknya, bertanya.Pria itu bahkan sengaja berputar, menampilkan sisi lain dan bersikap bagai pria keren. Ini lucu sebab diusianya yang tidak lagi muda, Zalman tau caranya menghibur sang istri.Ghina menunjukkan jempolnya, "Keren!" pujian itu dilontarkan dengan senyuman mengembang sempurna.Zalman mendekat, membuka lebar telapak tangannya. "Tos!"Karena tubuh suaminya yang terlihat cukup tinggi, Ghina harus sedikit berjinjit menggapai tos–an itu."Mas yakin kita bisa? Apa Mas Zalman sudah pernah ikut membantu sebelumnya?" tanya Ghina, melontarkan lebih dari satu kalimat tanya.Wajahnya menunduk dalam, menatap permukaan tanah berkerikil yang ia lewati. "Pekerjaan di ladang tidak akan semudah itu," cicitnya, menambahkan namun dengan suara yang lebih pelan.Zalman menanggapi obrolan Ghina denga







