MasukGhina Ulya Syarifa tidak menyangka ternyata pernikahannya dengan Alaric Zalman Maheer-seorang CEO, duda beranak dua membawanya kejalan yang benar. Dari seorang wanita penghibur di sebuah Club malam berpakaian seksi kini dia berubah memakai hijab serba tertutup. Hijrahnya Ghina tidak serta merta semulus yang orang lihat, rintangan terbesarnya datang dari Ayunisa Shakila Maheer-putri satu-satunya, anak bungsu Zalman. Tugas besar Ghina menjadi ibu sambung dari ke dua anak Zalman tidaklah mudah. Bisakah Ghina menjadi istri soleha dan ibu sambung yang baik untuk keluarga Maheer?
Lihat lebih banyak"Ikut kami secara baik-baik atau dengan kekerasan?" ancam salah satu dari pria yang Ghina nilai adalah preman bayaran dari istri kliennya.
Ghina dengan kasar menghentakan tangannya hingga terlepas dari genggaman preman tersebut.
"Aku bisa jalan sendiri!" gertaknya. Kemudian dia berjalan santai seolah tidak terjadi apa-apa bahkan preman tersebut seperti pengawal yang mengikutinya dari belakang.
***
Setibanya di area parkiran mobil bawah tanah hotel tersebut, dua orang preman itu memaksa Ghina masuk ke dalam sebuah mobil Van. Dan seorang lagi menyupir melajukan mobil itu keluar dari area hotel. Ghina tidak tahu hendak di bawa kemana.
Selama perjalanan kedua preman yang duduk mengapit Ghina melakukan tindakan yang kurang ajar. Berusaha melakukan pelecehan terhadap dirinya.
"Ck! Sok jual mahal lo!" bentaknya.
"Gua juga bisa muasin lo lebih dari tuan Yudha!" ejeknya.
Ghina mencoba menepis tangan jahil mereka yang mulai menjelajahi tubuh mulusnya.
Ghina berteriak memohon, tapi ketiga preman itu malah tertawa terbahak-bahak.
Ciiittt!!!
Sontak mobil Van itu berhenti di tempat yang gelap dan sepi. Sang sopir membuka pintu tengah berharap dia juga bisa mencicipi tubuh Ghina. Tapi niatnya hanya menjadi angannya saja, bersamaan dengan terbukanya pintu, Ghina menendang kuat hingga pria itu terpental, entah kekuatan dari mana wanita itu berontak dan berhasil melarikan diri tanpa menggunakan alas kaki. Karena sepatu hak tingginya dia lepas di dalam mobil untuk memukul kepala kedua preman yang mencoba memperkosanya.
"WOI!!! JANGAN KABUR LO, DASAR PEREMPUAN JALANG! PELACUR!" teriak salah satu preman itu.
Ghina sempat berhenti sebentar untuk mengatur napasnya. Dan menoleh pada para preman itu, Ghina menunjukan jari tengahnya dengan wajah menyeringai kemudian dia melanjutkan pelariannya. Berlari secepat mungkin agar preman bayaran nyonya Yudha itu tidak dapat menangkapnya.
***
Napas Ghina terengah, dia bersandar pada tiang listrik untuk mengatur napasnya kembali.
"Awww," erang Ghina karena dia baru merasa telapak kakinya sakit karena lecet terkena kerikil di jalan selama dia berlari tadi.
Beruntung Ghina bisa terlepas dari para preman itu, dia juga masih memegang erat tas-nya yang berisi semua keperluannya, uang, kartu dan ponselnya.
Ghina mencari keramaian orang agar jika preman itu menemukannya dia bisa minta tolong. Mengabaikan tatapan orang-orang disana karena penampilan Ghina yang berantakan.
Dengan tangan yang masih gemetar, Ghina mencoba memesan taxi online dari ponselnya.
Tidak butuh waktu lama, taxi online itu pun datang menjemput Ghina pada titik yang sudah ditandai.
"Malam, Mbak. Dengan Mbak Ghina?" tanya supir itu dari dalam mobil dengan kaca terbuka setengah.
"Iya, Mas," jawab Ghina kemudian dia masuk ke dalam mobil.
"Sesuai aplikasi, ya, Mbak?"
Ghina mengangguk.
****
Ciiittt!!! BRAKKK!!!
Suara ban mobil berdecit sangat kuat bergesekan dengan aspal, tidak lama suara benturan pun menyusul terdengar. Bersamaan dengan teriakan Ghina dan supir taxi online itu.
Beberapa warga yang masih lalu lalang tengah malam itu akhirnya berkumpul di dekat terjadinya kecelakaan. Sebuah mobil mini bus menabrak pembatas jalan dan berakhir di tiang listrik, supir dan penumpangnya cidera.
"Stop! Pak! Stop! Tolong bawa ke rumah sakit," ucap salah satu warga yang menghadang mobil sedan mewah milik Zalman.
"Ada apa ini, Bar?" tanya Zalman pada supirnya. Suara bising warga membangunkan Zalman yang baru saja memejamkan matanya.
"Ada kecelakaan mobil, Tuan, dan mereka meminta bantuan untuk membawa korban ke rumah sakit karena menunggu ambulance terlalu lama," jawab pria bernama Akbar itu pada majikannya.
"Astaghfirullahaladzim." Zalman beristigfar saat melihat mobil yang kecelakaan itu rusak parah di bagian depan karena menabrak tiang listrik.
"Bagaimana, Pak?" tanya Akbar meminta ijin majikannya.
"Iya berhenti, Bar, kita bawa mereka ke rumah sakit."
Mendengar itu Akbar langsung berhenti dan membuka pintu mobilnya.
Satu pria di gotong beberapa orang kemudian didudukan di kursi depan sedangkan yang wanita di masukan ke dalam kursi penumpang, di dalam Zalman memangku kepala korban wanita itu dengan tubuh dan kaki lurus sepanjang jok mobil.
"Nanti kalau ada polisi, arahkan saja ke rumah sakit terdekat sini ya, Pak," ucap Zalman pada warga.
"Iya, iya, Pak, sekarang selamatkan dulu keduanya," seru orang itu.
"Jalan, Bar!" titah Zalman pada supirnya.
***
Setibanya di rumah sakit dua buah brankar sudah siap di pintu IGD bersama team medis. Mereka siaga karena Akbar yang berteriak meminta tolong.
Zalman dan Akbar menunggu di ruang tunggu yang ada di depan pintu IGD.
"Selamat malam, Pak." Suara bariton dan tegas seorang pria berseragam cokelat membuyarkan lamunan Zalman.
"Selamat malam juga, Pak," sahut Zalman, berdiri dan berjabat tangan.
"Saya Andri dari Unit Lakalantas Polsek, ingin meminta keterangan Bapak sebagai saksi dari kecelakaan mobil mini bus yang kecelakaan di jalan kedondong tiga puluh menit yang lalu," ucap polisi muda itu.
Zalman menceritakan semua yang dia ketahui, walaupun bukan saksi mata yang sebenarnya melihat langsung kejadian. Namun, Zalman yang membawa korban ke rumah sakit. Keterangannya sangat membantu untuk melengkapi BAP kecelakaan lalu lintas yang terjadi malam ini.
"Dengan Keluarga pasien Ghina?" Seorang suster memanggil dengan lantang.
"Dengan Keluarga pasien Ghina?" ulangnya sekali lagi tapi tidak ada yang menjawab dirinya. Akhirnya suster itu kembali masuk ke dalam dan tidak lama keluar lagi bersama seorang perawat laki-laki.
"Permisi, Pak, apa Bapak yang membawa pasien korban kecelakaan tadi?" tanya pria berseragam putih-putih itu pada Zalman.
"Oh iya, Mas, kenapa?" sahut Zalman.
"Bapak dari tadi saya teriak-teriak manggil gak nyahut," gerutu suster bernama Hilda itu.
"Maaf, Sus, saya tidak tahu kalau nama wanita itu Ghina, saya kira tadi suster manggil orang lain," balas Zalman.
"Loh, bukannya Bapak suaminya korban?"
"Bukan suster, saya hanya orang yang kebetulan lewat dan menolong, bagaimana kondisi wanita dan pria itu?"
Perawat laki-laki itu menjelaskan kondisi kedua pasien korban kecelakaan itu dengan jelas, dan tidak lama dokter pun keluar dan menjelaskan lebih rinci tentang pasien yang baru saja selesai dia tangani.
"Sementara pasien harus rawat inap, Pak, agar kami bisa observasi lagi esok pagi untuk bagian kepalanya." Dokter itu menjelaskan.
"Baik, dok, berikan yang mereka berdua butuhkan."
Kening dokter itu menyernyit dalam.
"Maaf, Pak, tapi korban pria sudah meninggal dunia dalam perjalanan, pria itu terkena serangan jantung," terang dokter itu.
"Innalillahi wa inna ilaihi rajiun," ucap Zalman, Akbar dan Andri bersamaan.
"Sepertinya kecelakaan tunggal itu terjadi karena supir itu terkena serangan jantung lebih dahulu, baru mobil oleng, naik ke pembatas jalan dan menabrak tiang listrik." Polisi itu menerka kronologi kejadian sementara seperti itu tapi untuk jelasnya tunggu pagi, pemeriksaan TKP.
"Bisa jadi, Pak," sahut dokter itu menanggapi.
"Silahkan, Pak, ikut saya untuk mengurus administrasi pasien Ghina," ajak suster Hilda.
Sungguh Zalman baru mengetahui kalau wanita yang di tolongnya bernama Ghina. Sementara polisi muda yang bernama Andri itu mengurus jenasah supir taxi online.
Zalman baru mulai menyadari betapa cantiknya suasana malam setelah ia menjadi pengunjung tetap balkon di gedung perusahaannya.Dari sana, seluruh pemandangan kota bisa dilihat dengan mudah. Mulai dari bangunan yang sama mewah seperti miliknya, sampai kerlap–kerlip lampu yang terus menyala.Wajahnya terasa kaku, sebab dinginnya angin tidak berhenti mengusiknya, sedari tadi."Hari ini, saya mendengar seseorang menyebut namamu lagi, Ghina." Bibir ranum itu mulai bergerak.Suara bariton khasnya yang penuh wibawa memecah keheningan dalam sekejap. "Saya agak terkejut. Jujur saja, jantung saya tidak bisa berhenti berdebar. Sudah lama sekali tidak ada yang menyinggung soal dirimu, kepada saya."Yang semula baik-baik saja, mulai terdengar gemetar. "Saya takut, Ghina. Saya takut mulai terbiasa tanpamu," bisik pria itu, begitu serak.Bicara seorang diri adalah kegiatan menyedihkan yang akhir-akhir ini Zalman lakukan. Demi menuntaskan rasa sedih dan rindunya pada Ghina.Bohong bila Zalman mengata
"Tidak bisa.""Aku sudah katakan, ini kondisi darurat. Kita tahu Zalman mungkin akan keberatan, tapi lebih baik seperti itu daripada berakhir menyesal."Saat berbicara dengan Soraya di telpon membahas perihal Zalman yang harus mengetahui kabar mengenai kondisi Ghina, Bian terlampau pokus.Dokter muda itu sama sekali tidak menyadari kalau istri sahabatnya justru sedang berada tepat di belakangnya, ikut mendengarkan."Aku akan tetap menemui Zalman, dan mengatakan segalanya.""Membiarkannya untuk melampiaskan amarah jauh lebih baik daripada membuatnya terpuruk. Saat dia tahu kebenaran, mungkin dia sudah sangat terlambat."Hampir setengah jam lamanya Bian dan Soraya berdiskusi, mengambil jalan tengah.Jelas keputusan yang sulit karena luka Zalman sendiri belum sepenuhnya sembuh. Apa yang Ghina torehkan pada pria itu sepertinya membuat trauma besar.Selesai bicara, hendak bersiap-siap pergi ke kantor dimana tempat kekasihnya bekerja, Bian terkejut hingga kehilangan keseimbangannya.Tepat t
Brak!"Saya tidak bisa selesaikan ini, Ra."Soraya yang baru meletakkan setumpuk laporan langsung memusatkan fokus pada sang Pimpinan.Matanya terbuka lebar.Zalman nampak kesal. Memerhatikan kertas yang harus ia baca dan setujui itu dengan ekspresi dingin."Apa ini masuk akal?""Saya sudah tanda tangani ratusan laporan, sejak pagi. Tapi lihat, kamu masih memberinya lagi dan lagi?" seloroh pria itu, tak biasanya bersikap kekanak-kanakan.Menekuk wajah dan acuh pada kehadiran Soraya di ruangan tersebut. "Tega sekali kamu, Ra. Ini penyiksaan, kamu tau?"Rahang gadis itu jatuh, tak percaya. "Sebentar, tapi apa yang terjadi, Pak?""Apanya? Saya bilang saya tidak mau lanjut!""Y-ya, tapi kenapa mendadak seperti ini?""Saya mau istirahat. Kita selesai hari ini," panjang lebar Zalman memerintahkan, satu tangannya ia gunakan memijat pelipisnya pelan.Apa yang bisa dilakukan jika atasan berpesan padanya seperti itu, Soraya hanya bisa menurut. Ia hendak pergi, sebelum Zalman melanjutkan dramany
Selama berhari-hari, Zalman hanya mengunci diri di kamar. Menolak untuk bertemu dengan siapapun, selain anak-anaknya.Bahkan orang-orang yang bekerja di rumahnya dibuat kewalahan karena Zalman memutuskan segala bentuk kontak fisik, pertemuan, dan laporan apapun yang menyangkut dirinya."Ini Calvin, Pa."Seperti biasa tepatnya setelah peristiwa yang mengharuskan Ghina pergi itu terjadi Calvin bertugas memerhatikan kewarasan Zalman di keluarga ini.Bukan karena mental Papanya itu terganggu, melainkan memang patah hati terkadang membuat seseorang mau tidak mau mulai terbiasa dengan kehidupan baru."Calvin bawa makan malam. Tolong buka pintunya sebentar, biar Calvin bisa masuk," ujar remaja yang masih tabah berada di luar walau sejak tadi panggilannya diacuhkan.Semenjak insiden perginya Ghina, tidak ada kehidupan di rumah itu, begitu suram.Zalman bergumam dari dalam, "Tunggu, Vin. Papa masih bersiap-siap. Tunggu lima menit, ya."Setelah beberapa lama, pintu akhirnya dibuka. Menampilkan
Ghina kini berusaha menggerakkan kakinya. Semula ia berhasil kembali menggunakan tangan untuk meraih gelas air minum yang terletak dimeja.Menandakan bahwa kondisinya pulih dengan sangat cepat."Aku harus pergi dari tempat ini secepat mungkin. Aku tidak mungkin tinggal dan merepotkan orang-orang yang mengenal Mas Zalman.""Soraya pasti akan melaporkan tentang kejadian ini. Jika Mas Zalman sampai tahu, akan semakin sulit bagiku untuk menghadapinya."Bagaimana penilaian pria itu bila sampai mendengar kabar ini, bahwa Ghina masih berurusan dan terlibat dalam dunianya.Wanita yang telah memberikan goresan besar dalam hidup orang sebaik Zalman tidak berhak menyulitkannya lebih dari ini.Ghina memejamkan mata, fokus. Ia harus bisa mendapatkan kendali atas dirinya sendiri dan mulai menjalani kehidupan baru tanpa bayang-bayang sang suami."Ingat, kamu sudah berjanji, Ghina. Kamu harus menempati apa yang kamu katakan."Untuk pergi dari hidup Dhanu, dan semua yang berhubungan dengan pria itu.B
Untuk waktu yang dirinya juga tidak tahu seberapa lama, Ghina merasa tubuhnya rileks sekali.Terlampau ringan, namun sulit digerakkan.Ghina berusaha mengingat apa yang sempat menimpanya, bagaimana ia bisa berada di sana, meski sulit. Kemudian menyadari bahwa ia sempat tidak sadarkan diri.Pertemuanya dengan Asisten Zalman!"Kamu sudah sadarkan diri, Ghina?"Rintihan yang keluar dari bibirnya membuat wanita bergaun putih selutut yang masih terus menatapnya tanpa berkedip menunggunya bangun itu menyadari bahwa ia telah sadar."Aku di mana?" hanya mengatakan sepatah kata itu saja membuatnya meringis sakit. "Ya Allah, sakit."Ada apa dengan tubuhnya?Mengapa begitu lemah, tidak bertenaga?"Ada apa? A-ah, tidak, tidak perlu dijawab. Jangan dulu bicara, biar kupanggilkan dokter saja!"Suara bermelodi merdu kali ini tengah berusaha memastikan kondisinya. Bukannya tidak mau, tapi Ghina tidak mampu memberikan jawaban."Dokter Bian!"Karena merasa tidak akan dapat jawaban apapun dari Ghina, wa






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen