"Jadi dari kapan, Kakak praktek di sini?" tanyaku.
"Hampir tiga tahun, lah." Kak Rifki menarik kursi di meja dekatnya.
"I see.. ." Aku mengikutinya, menarik kursi di sebelahnya.
"Dinas di mana sekarang?" tanyanya.
"Puskesmas, Kak."
"Hoo enak, ya, gak megang yang resti?" (-Resiko Tinggi)
"Iya, lah, udah gak boleh, sekarang. Banyak batasan. Lumayanlah, ngeringanin kerjaan dan stress. Haha," gelakku.
"Suami udah berapa, Mim?" tanyanya entah meledek atau mencibir.
"Astaghfirullah, emang boleh banyak, Kak? Eh," Aku cepat-cepat menutup mulut dan melihat kanan kiri, takut ada yang mendengar.
"Haha, pengen, ya? Gak boleh!" Ia tertawa.
"Dih, si Kakak. Kakak kali, tuh, yang pengen. Baru berapa emang, sekarang?" Aku menggodanya dengan memicingkan mata.
"Satu aja, gak kuat banyak-banyak!"
"Haha, dasar renta!" Aku balik mencibirnya.
"Biarin, yang penting udah merasakan nikmatnya dunia. Gak kayak bidan yang
Alunan lagu Virgoun berjudul Bukti mengalun dengan lembutnya. Sebuah tangan merayap dari balik pinggangku. Aku menutup mata, mengikuti ajakannya berdansa sesuai irama.Kamu adalah buktiDari cantiknya paras dan hatiKau jadi harmoni saat ku bernyanyiTentang terang dan gelapnya hidup iniEki semakin mengeratkan pelukannya yang melingkar di pinggangku. Mata kami beradu. Debar jantung saling bersahutan dan senyum tersungging secara alami tanpa bisa dihindari.Kakiku bergerak ke kanan kekiri mengikuti beat yang begitu sempurna, mengimbangi arahan Eki. Sungguh ia lelaki yang romantis. Mencairkan gunung es di dalam jantung. Mampu membuat riak tak lagi berteriak.Heels pada sepatuku tersangkut di gaun yang aku kenakan. Limbung, dan...Bruk!"Ouch!!" Aku mengusap bokong yang terbentur lantai kamar kost. Ternyata mimpi, mimpi yang terasa nyata. Mataku sontak terbuka."Bahkan mimpi-pun gak mau disinggahi lama-lama oleh aku dan Eki! Nasiib," gerutuku seraya bangkit dari mengasihani diri sendiri
Aku membuka mata, melirik kiri dan kanan, lalu tersentak."Kellan?" Mataku membelalak saat melihat sosok pria di sebelah kananku.Ia tersenyum. Wajahnya sedikit berubah dari terakhir kali kami berpisah, dengan rahang penuh jambang tipis membuatnya terlihat lebih macho dan dewasa. Potongan rambutnya masih sama, agak plontos."Hai Mim," sapanya."Kamu- aku- uhm maksudku, kok, aku bisa ada disini? Kamu kok, bisa? ah..." Aku menyilangkan tangan ke depan dada, melindungi tubuhku."Aku gak apa-apain kamu, kok."Aku menarik napas lega."Kenapa aku bisa sama kamu?" tanyaku heran."Kamu lupa, tadi pingsan?" ucapnya.Aku mengingat-ngingat kejadian terakhir."Kamu yang tadi nonjok driver ojek?" Mataku membesar setelah ingat apa yang terjadi sebelumnya. Ia mengangguk."Tukang ojek tadi ngapain, sih? Kok dia sampe narik-narik kamu gitu?" tanyanya geram. Ia memang selalu begini terhadap wanita. Tidak suka ada yang kasar
Aku mengayunkan kaki secepat mungkin. Ketika ragaku sudah mendekati sosok yang berdiri di sebelah sedan hitam tadi, aku sontak memeluknya. Erat. Lelehan yang tadi sempat mengering, kembali basah."Hei... slow down, Baby! Kamu kenapa?" tanyanya dengan suara lembut. Suara yang kurindukan."Ka...ngeeen!" Lelehan tadi semakin deras bak hujan badai."Miss you too, Mima!" Ia membalas pelukanku seerat aku memeluknya."Kamu kenapa gak hubungi aku selama di Oman?" Aku merengek, memukul dada bidangnya."Kamu nungguin? Aku pikir kamu gak mau dihubungi," tanyanya bingung."Bu Rieka kan udah jadwalnya kontrol. Aku nungguin dia datang! Yang tau kontaknya kan kamu..," jawabku berdalih.Ia tertawa keras, suara merdu tadi berubah menjadi bariton yang bisa saja membangunkan seluruh penghuni kost. Aku menutup mulutnya dengan telapak tanganku.Slup! Mulutnya tertutup.Namun tiba-tiba saja tanganku tadi ditarik, direkatkan ke dada bidangnya
Aku buru-buru menghapus sisa minuman di bibirku dan meraih tissue untuk membersihkan muka Eki akibat ulahku."Maaf.. maaf.." sesalku.Ia meraih tanganku yang sedang mengusap mukanya, dengan wajah datar tanpa amarah, ia berkata."Kalau kamu terima lamaran aku, tiap hari disembur juga aku ikhlas.." ucapnya dengan pandangan mematikan bagiku.Aku melempar tissue tadi ke mukanya. Urung melanjutkan itikad baikku sebelumnya.Dengan wajah kasihan, ia mengusap wajahnya sendiri. Ya ampun lelaki ini!"Eki..., " ucapku ragu."Hmm?" Ia mendongak sambil tangannya tetap membersihkan baju yang sedikit basah."Kamu kenapa bisa suka sama aku, sih?" tanyaku penasaran."Aku sudah pernah jawab, kan. Kamu tuh unik. Susah ditebak. Selain itu, setelah aku tahu tentang keluargamu dari Tri, aku melihat kamu tipe wanita tangguh. Tapi aneh juga, sih, saat sama aku kenapa kamu bisa se-slebor ini, ya?" Ia mengernyitkan dahi.Jleb! Dia sadar ju
Aku baru saja tiba di depan ruang bersalin, tiba-tiba Kak Ros menyapa."Pagii, eh, glowing amat. Abis perawatan, ya?" Tanya Kak Ros."Bukan, Kak, lagi jatuh cinta!" kak Nita mengkoreksi."Ih ,kak Nita, apaan sih." Aku mendorong lengannya."Oh iya nih, mukanya langsung bersemu merah," kak Ros menimpali."Iih udah ah, ngeledeknya. By the way lagi pada apa? Kok, pada tegang gitu mukanya?" tanyaku"Ini, bikin slide AMP," jawab kak Ros. (-Audit Maternal Perinatal)"Eh, ada yang plus? Kapan? Dimana?" (-plus : meninggal)"Ada kemarin pas dirujuk karena Pre Eklampsi, keluarganya kelamaan ngambil keputusan. Alhasil sampe RS udah plus. Tapi yang kena kan kita," wajah kak Ros berubah masam."Aku tuh suka ga abis pikir deh sama keluarga pasien. Udah tahu melahirkan itu antara hidup dan mati, tapi kok ya ga gerak cepat dalam mengambil keputusan.""Kemarin tuh suaminya belum datang, tetangganya ga berani ambil keputusan. Si ibu
"Assalammualaikum.." Aku mengucapkan salam saat memasuki rumah Mama."Waalaikumsalam.." sahut dari dalam, "Loh, kamu pulang, Nak? Gak dinas?" tanya Mama heran."Ini baru pulang dinas, Ma. Langsung ke sini.""Emang besok libur?" Mama bertanya masih dengan nada heran."Gak sih, cuma kangen banget sama Mama." Aku mendekap mama erat.. Kuciumi kepalanya tanpa henti."Yuk, masuk, tapi Papa gak ada di rumah." Ia mempersilakankuAir mataku berderai seketika. Ingatan Mama kacau sejak Papa meninggal. Kadang Mama mengira Papa masih hidup. Kadang Mama mengira om Kenzi dinas luar. Tak jarang teman-temanku yang masih single dikira sudah menikah dan punya anak. Ketika Skizonya kumat, ia akan histeris karena mengira tamu yang datang ialah perampok yang akan membunuhnya.Beruntung isteri om Kenzi bersedia menemani. Sehingga ada yang menemani Mama mengobrol dan meminimalisir Skizonya kambuh. Anak-anak om Kenzi sedang kuliah di luar kota, mereka a
Kami berada di ruang tamu yang tak seberapa besar. Hatiku memantul ke sana kemari bak naik trampolin. Sungguh ingin menelan Eki hidup-hidup. Lelaki ini selalu membuat diareku kumat."Siapa ini?" tanya Mama yang menghampiri kami setelah dibangunkan oleh tante Rita."Eki, Tante." Ia meraih tangan mama."Ooh Eki. Teman Mima yang punya anak dua itu?"Oh no! Mama mulai kumat Skizonya. Aku melirik tante secepat kilat."Bukan Uni, ini teman Mima jaman sekolah dulu.""Ooh,.." Mama mengangguk, membalas uluran tangan Eki. Mengusap kepalanya lembut dengan tangan satu lagi.Deg!Ada rasa menyeruak tiba-tiba.Rasa sakit sekaligus bahagia."Ada apa datang ke sini?" tanya Mama melihat Eki dengan wajah bingung."Saya mau melamar Mima jika diijinkan, Tante." ucap Eki sopan."Oh... memang Mima belum menikah, ya?" jawab mama."Mama, Mima 'kan masih single." jawabku buru-buru."Mima mau, menikah dengan dia
"Ibu.. gimana, bayinya mau nyusu?" Aku bertanya pada pasien yang baru saja melahirkan."Belum dapat, Bu Bidan, masih mencari-cari," jawab si Ibu pelan. Wajahnya memucat. Di sebelahnya, sang suami berdiri memeluk isterinya dan memandang buah cinta mereka."Gak apa-apa, namanya juga baru keluar. Saya suntik dulu, ya, Bu, pahanya." Aku melakukan informed consent atas tindakan kala tiga. (fase persalinan - plasenta)"Iya, Bu Bidan." jawabnya."Pak, tolong ibunya dikasih minum, ya. Biar ada tenaga. Saya mau keluarkan ari-arinya." ucapku pada suami pasien."Oh iya, Bu Bidan." Ia mengambil minum yang sedari tadi ia beli namun belum sempat disentuh."Bu Bidan, saya ngantuk banget, Bu..," ucapnya lemah dengan mata setengah tertutup.Aku yang sedang memegang perut pasien untuk melakukan asuhan kala tiga dalam persalinan, sontak melarang. Karena butuh kerjasama pasien."Jangan tidur dulu, Bu. Belum selesai, masih ada plasentanya nih, yang