"Mim..." Suara tante Rita saat mendekatiku yang sedang duduk di ruang tamu.
"Ya Tante," jawabku buru-buru meletakkan telepon.
"Gimana persiapan pernikahan kalian?" Ia bertanya seolah tahu apa yang tengah terjadi.
"Barusan telepon mama Inen. Ternyata Mama Inen belum dapat bahan tile untuk kebaya Mima. Mana waktu tinggal empat belas hari lagi," curhatku. Entah kenapa hatiku tak tenang. Kepalaku mendadak pening.
"Trus saran mama Inen bagaimana?" Tante Rita yang tahu aku selalu mudah cemas dengan kondisi seperti inipun terdengar khawatir.
"Mima disuruh ke toko tempat Mima beli kain. Barangkali di sana ada." Aku memberi tahu tante Rita solusi dari mama Inen tadi sambil memijat kedua sudut keningku.
"Kapan Mima mau ke sana?" Ia kembali bertanya, wajahnya ikut khawatir dan tak tahu harus melakukan apa.
"Hari ini mungkin Tante. Mumpung Mima libur." Aku menjelaskan rencanaku pada tante Rita.
"Seserahan sudah selesai? Sudah dibeli semua?
Akankah semua akan berakhir seperti sebelumnya? Bahkan membayangkannya saja aku tak sanggup walau telah berserah.Aku mencoba menekan panggilan suara dari aplikasi pesan instan. Berharap pemilik telepon yang aku tuju menerima panggilan. Mehempaskan keresahan.Tuut.... nada panggilan tersambung namun tak ada jawaban.Tuut... kembali nada panggilan tersambung.[Halo assalammualaikum] sapa di seberang.[Allahuakbar, waalaikumsalam. Kamu dimana? Gimana pesawatnya?] Tanyaku beruntun.[Aku masih di Muscat International Airport. Pesawat gak ada yang bergerak karena badai.] terangnya.Aku mulai sesegukan.[Mima, aku ga akan menggagalkan pernikahan ini. Aku berusaha sekuat tenaga agar tetap sesuai jadwal. Kalau tidak, enggak mungkin aku membersamai kamu sejak enam bulan lalu.] Ia mencoba menenangkanku.[Iya, tapi... aku enggak bisa membohongi diri kalau aku khawatir. Khawatir kita sebetulnya tidak berjodoh. Menyesakkannya lagi, sem
Aku duduk sendiri di kamar, membiarkan penata rias melakukan aksinya. Puluhan tetes kecil foundation cair ia berikan pada wajahku, lalu diratakan menggunakan spons. Kembali ia membubuhkan foundation berbentuk stick berwarna sedikit lebih terang pada wajahku, diratakan kembali. Ia menambahkan shading berwarma coklat pada bagian bawah tulang pipiku di kanan dan kiri, meratakannya dengan kuas. Setelah itu ia menepuk-nepuk mukaku dengan bedak tabur bewarna natural. Lalu membubuhkan blush on berwarma pink pada pipi.Aku memperhatikannya dengan mata mengintip. Ia masih asyik membubuhkan warna pada kelopak mataku. Memberikan garis hitam pada tepinya. Memasangkan maskara yang kemudian ditimpa bulu mata palsu, lalu alis yang simetris."Akhirnya sahabat gue mau married juga. Gimana rasanya, Mim?"Suara Tri yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar mengagetkanku."Eh lo, baru dateng sih. Tapi syukur deh lo dateng sekarang. Deg-deg-an nih gue..""Udah, bismillah." I
"Baik, sila mempelai pria menjabat tangan wali." Penghulu memberi intruksi untuk diikuti oleh Eki"Bismillahhirohmanirrahim. Saudara Reiki Savian Altezza bin Kuncoro Adi Kusumo. Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan keponakan saya yang bernama Elmima Kamaniai Izdihar binti Nelson Izdihar dengan mas kawinnya berupa dua puluh gram logam mulis, seperangkat alat shalat dan mushaf wanita dibayar tunai," ucap om Kenzi dengan suara berat seolah menahan tangis."Saya terima nikah dan kawinnya Elmima Kamaniai Izdihar binti Nelson Izdihar dengan mas kawinnya yang tersebut tunai." Eki mengucapkan janjinya dengan lantang tanpa ada kesalahan sedikitpun."Bagaimana para saksi? Sah?" tanya penghulu ke arah saksi, juga para tamu yang hadir."Sah!" Seluruh yang hadir mengucapkan satu kalimat yang kami nanti."Alhamdulillah..."Seisi ruangan mengucap hamdalah. Pertanda aku telah sah menyandang gelar nyonya Eki.Aku mengusap wajah. Menutup wajah
Gambar yang ditampilkan oleh benda pipih berukuran tiga puluh dua inchi di hadapanku seketika berubah saat tombol pada remotenya kutekan. Hujan deras di luar, ditambah petir yang menggelegar dan saling bersahutan, membuatku mulai menguap dan mata menjadi berat."Ga ada yang seru ih acara tivi. Garing semua!" gerutuku sambil mengangkat tubuh menuju ruang jaga."Bu Bidan... tolong!" Terdengar suara teriakan yang menggema dari arah lorong Puskesmas.Tiba - tiba seorang pria paruh baya masuk ke ruangan bersalin saat aku baru saja akan merebahkan diri di ruang istirahat."Kenapa, Pak?" tanyaku dengan mata yang sempat redup, mendadak terang benderang dan segera bangkit mencari sendal."Penumpang bajaj saya anaknya keluar, Bu!" Bapak supir bajaj berkata dengan nada panik dan wajah yang pucat."Memey, siapin partus set, APD, bedong!" teriakku pada bidan magang. Aku pun berlari mengambil alat pelindung diri dan memakai handscoon, alias sarung tangan karet."Siap kak!" Ia segera berlari mengham
Aku membalikkan badan. Di hadapanku muncul sosok yang sangat aku kenal sepuluh tahun lalu. "Loh, Ujang? Ngapain disini?" tanyaku keheranan. "Eh Mima? Uhm, kerja di sini?" Ia juga bertanya. "Iya, Bidan disini. Kamu ngapain di sini?" Aku mengulang pertanyaan yang belum dijawabnya. "Aku nyari isteriku, tadi dia bilang mau ke puskesmas sini. Jadi aku segera menyusul." Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling lorong. "Isterinya sakit apa? Di sini ga ada ruang perawatan umum," ujarku menjelaskan. "Isteriku hamil." Ia menjawab dengan pandangan tak lepas pada sekeliling ruangan. "Eh, jangan - jangan yang barusan aku tolong lahiran di bajaj?" Mataku melirik ruang bersalin, "Di dalam situ sih pasiennya." "Aku boleh lihat, Mim?" Tanyanya hati-hati menunggu persetujuan. "Iya, boleh, silakan." Aku menunjukkan jari ke ruangan yang kumaksud. Ujang menghampiri ruangan yang kutunjuk tadi. Aku mengikutinya. Ia segera memeluk pasien tadi dan menyiuminya berkali-kali di bagian kepala dan pipi.
"Saya pesan nasi sapi lada hitam sama lemon squash ya, Mba." ucap Tri sambil mengangkat telunjuknya."Saya ifumie sama sweet ice tea." susul Eki."Saya bakso aja." ucap teman di sebelahnya.Hening.Semua melirikku."Lo diet? Lama bener milih menunya?" Kembali Tri mengejekku dengan wajah menyebalkannya itu.Uh! Ingin rasanya kutelan ia bulat-bulat."Iya sebentar, Uhm, saya mie siram seafood aja, Mba," ujarku."Minumnya apa, Bu? Pak?" sang pelayan mengarahkan jempolnya ke arahku dan teman Eki."Saya es teh tawar.""Saya es teh tawar." ucap kami berbarengan"Weits, kompak bener," Tri tertawa puas sekali dengan ketidaksengajaan yang terjadi tanpa skenario itu.Aku melirik ke arah Eki, kulihat air mukanya berubah.*"Jadi kamu nyuruh aku bawa teman karena mau ngejodohin Mima sama temenku?" tanya Eki ke arah Tri. Kulihat Tri mengangguk.Aku yang sedang menyuap mie dan mendengarnya, sontak terbatuk."Uhukk! Uhukk!" Mie yang baru kusuap masuk ke hidung.Sial!Seketika itu, Eki yang duduk dih
"Pagiii," sapaku ketika baru saja memasuki ruang bersalin."Pagi kak Mima, ceria amat!" Balas Memey, rupanya jadwal jaga kami sama lagi."Biar pasien ANC (Ante Natal Care - periksa hamil) pada semangat, Mey, jadi kita kudu semangat," ucapku mengangkat kepalan ke arah samping telinga. "Ada berapa pasien?" Aku melirik list pendaftaran dan status yang tersusun di meja."Ada delapan, Kak. Padahal baru jam tujuh pagi. Udah banyak aja yang datang." Ia menguap."Oke deh. Jam delapan kita mulai, ya." Aku menepuk pundaknya, membuyarkan sesi menguapnya dan mengerling."Ih kak Mima, mah. Ilang deh hasrat nguapnya." Ia mengerucutkan bibirnya ke arahku.Aku cekikikan, suka sekali mengerjai mahasiswa magang satu ini. Ekspresif.**"Ibu Asri, saya periksa perutnya dulu ya, Bu" Aku memegang metlin alias meteran untuk mengukur perut ibu hamil, memanjangkannya dari fundus (puncak perut di bawah dada) ke symphisis pubis (bawah tulang pinggul atau kelamin). Lalu melakukan palpasi (perabaan), mencari bagi
"Bapak ngapain, sih? Mau saya laporin, menghalangi ambulan jalan? Bukannya Bapak yang bohong, ya? PNS (-Pegawai Negeri Sipil) aja ngaku polisi!" Aku membentak pengemudi kurang ajar tadi dari arah kursi penumpang. Pak Dayat, supir ambulan kami kaget dengan bogem mentah yang dilayangkan tiba-tiba. Ia meraba pipinya yang memerah dan sedikit darah yang keluar dari hidung. Aku segera menghambur keluar, menghampiri pengemudi tadi. "Bapak pinggirin, gak, mobilnya? Jangan sampai saya foto muka dan mobil bapak, lalu saya viralkan di social media, ya!" Ancamku yang bersiap mengambil gawai dan membuat wajah si pengemudi tak tahu diri tadi pucat pasi. "Kamu berani sama saya?" Ia menantangku. "Saya bilang pinggiran mobilnya SE-KA-RANG!" Aku menekankan ucapanku seraya membuat video dengan kalimat pembuka, "Guys, aku lagi bawa pasien darurat nih. Eh ada bapak sok hebat yang ngaku polisi, ngehalangin jalan, ini mukanya. Ada yang kenal gak?" Kuarahkan kamera ke wajahnya yang tadi begitu sombong.