Share

4. Cinta Pada Pandangan Pertama

David melangkah memasuki kelas itu dengan pelan dan dengan tanya—yang sama dengan yang dilontarkan Jardon dan teman-temannya beberapa saat lalu—di kepalanya. Mengapa ia sampai berubah pikiran untuk tidak ikut campur dengan pernyataan teroris yang dituduhkan pada gadis itu?

Gadis itu sedang duduk sambil membaca sesuatu saat David berjalan menuju bangkunya. David duduk di sebelahnya. Lama tak ada pembicaraan di antara mereka. Bagi David, wajah se-innocent itu tidak tampak seperti menyimpan niat jahat untuk menghancurkan kampus dengan bom. Dan seperti kata ayahnya, gadis itu wajib diperlakukan seperti warga Amerika lainnya. Justitia omnibus. David mengingatnya lagi.

Maryam sendiri merasa tenang karena akhirnya ia merasa memiliki teman yang mendukungnya. Meski tak melihat wajahnya, ia yakin, mahasiswa yang masuk ke kelas itu adalah mahasiswa yang beberapa saat lalu berdebat dengan teman-temannya di parkiran kampus. Maryam ingin mengucapkan terima kasih pada remaja itu karena telah membelanya, namun ia tak tahu bagaimana harus memulainya.

Mereka berdua masih terdiam, padahal di dalam hati kedua anak manusia berbeda ras itu sangat ingin saling bertegur sapa. Namun, mereka tak kuasa dan tetap memilih diam. Lalu tiba-tiba, seorang dosen laki-laki berumur awal empat puluhan masuk ke kelas. Mr. Lizon. Dosen matematika bertubuh tinggi yang sedikit bungkuk.

Good morning. Ouch, only two of you? Ke mana mahasiswa dan mahasiwiku yang baik dan cerdas-cerdas itu, David?” tanya Lizon.

“Mereka semua pergi, Pak!” David tak melanjutkan kata-katanya. Ia menoleh ke arah Maryam, lalu akhirnya mengurungkan niatnya untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi pada gurunya. Ia khawatir akan membuat Maryam tersinggung dan gusar.

”Mereka kenapa?” tanya guru itu lagi.

”Mereka pikir aku seorang teroris, Pak,” sahut Maryam. “Padahal aku pindah ke sini jauh-jauh dari Dubai karena mengikuti ayahku yang bertugas di kedutaan besar Uni Emirat Arab untuk Amerika Serikat. Aku hanya mahasiswi biasa, bukan teroris.” Maryam berusaha menjelaskan.

”Begitu, ya?” ucap Lizon.lalu mendekat ke arah David, “Ini tanggung jawabmu sebagai BEM di kampus ini. Kau harus meyakinkan semua temanmu bahwa Maryam tidak seperti yang mereka duga.”

“Aku percaya dia bukan teroris, Pak. Dan aku akan berusaha semampuku untuk meyakinkan mereka,” ucap David dengan serius.

Maryam menoleh ke arah David. Selama bersekolah di Dubai, ia sama sekali tak pernah berada sekelas dengan anak lelaki. Ia kuliahkan di sebuah kampus khusus perempuan. Maryam merasa agak gugup, namun dia merasakan sesuatu yang berbeda. Ia merasa nyaman melihat seseorang yang begitu tulus mempercayainya.

Lizon memutuskan untuk tetap mengajar di kelas itu. Hari ini, Maryam tidak sendiri lagi.

***

Jam istirahat tiba. David beranjak dari duduknya. Ia ingin mengajak gadis berkerudung itu keluar untuk makan bersama, namun ia tak berani. Ia lihat Maryam malah tetap duduk dan membaca sebuah buku tebal. David akhirnya meninggalkannya.

Di perjalanan menuju kantin, David mencoba menelepon Jardon. Dia meraih handphonenya dan memencet nomor sahabatnya itu. Beruntung, Jardon di seberang sana mengangkatnya.

“Jardon?” sapa David setelah Jardon mengangkat teleponnya.

“Kau bukan temanku lagi. Untuk apa kau menghubungiku lagi, hah?” jawab Jardon ketus.

“Jardon, mari kita bicarakan ini lagi. Percayalah padaku. Gadis itu bukan teroris. Bahkan dosen-dosen kita percaya bahwa dia bukan teroris. Dia anak duta besar Uni Emirat Arab untuk Amerika Serikat. Ayolah, kenapa kalian bersikap begitu? Ayolah, kita semua teman. Bantu aku meyakinkan yang lain dan minta mereka untuk kembali kuliah,” pinta David.

”Kau ini kenapa, Dave? Kau bisa begitu saja percaya, padahal baru tadi pagi kau melihatnya. Kau belum tahu semuanya tentang gadis itu, bukan? Oh My God! Aku yakin kau pasti terhipnotis dengan parasnya. Karena kecantikan timur tengahnya itu kau jadi berubah pikiran. Ternyata benar, wanita bisa menghancurkan dunia. Kau ingat perkataan Mrs. Violen tentang Bill Clinton? Kau akan seperti dia, Dave. Hancur gara-gara wanita,” ucap Jardon.

“Jardon, kumohon. Percaya padaku kali ini saja. Kalau kau salah, kau akan menyesal.” David memohon.

”Dan kalau aku benar, apa kau akan menyesal? Ah, love at the first sight. Is it Dave?”

”Ini konyol, Jardon! Ini bukan tentang cinta. Ini soal keyakinanku bahwa dia bukan teroris!”

”Kau membelanya tanpa bukti, Dave. Sangat mungkin kau sedang jatuh cinta. Tapi aku tidak peduli lagi. Kita bukan teman lagi, kan?” ucap Jardon lalu mematikan handphone-nya tiba-tiba.

”Jardon!” Panggil David tapi sambungan itu telah terputus.

David terdiam sesaat. Ia terduduk di sebuah bangku di koridor dan mencoba memikirkan kata-kata Jardon.

Cinta? Aku jatuh cinta padanya pada pandangan pertama? Tidak. Itu tidak mungkin! Jardon tidak tahu apa-apa. Dia hanya kesal. Tidak. Ini tidak seperti itu!

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ar_key
mulai ada konflik dengan teman si David
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status