David berjalan menuju kantin sambil kembali mengingat-ingat saat pertama kali dia melihat wajah gadis berkerudung itu di parkiran kampus tadi pagi.
Wajah itu begitu cerah bersinar. Belum pernah aku melihat wajah yang bersinar cerah seperti itu. Walaupun Anggel adalah yang tercantik di sekolah, tapi wajah Anggel tak secerah wajah gadis itu.
Pikir David. Hatinya terus bergumam, mencoba mengingat-ingat peristiwa beberapa jam yang lalu.
Aku merasa tenang saat berada di kelas bersama gadis itu, tak pernah aku merasakan setenang itu. Tuhan, apakah aku jatuh cinta pada gadis itu? Aku sungguh belum pernah merasakan rasa ini sebelumnya pada gadis mana pun. Tiba-tiba saja aku seperti berubah. Berubah menjadi David yang lain. Apa mungkin Jardon benar? Aku memang tidak mengenalnya.
David berdialog dengan dirinya sendiri. Ia kemudian sampai di kantin itu dan memesan makanan. Setelah kenyang kembali ke kelas. David menemukan Gadis Dubai itu sedang duduk di bangku taman sambil membaca buku tebal yang tadi dia baca.
Apakah dia tidak lapar? tanya David dalam hati. Tunggu ... tunggu! Aku peduli padanya dan mengkhawatirkannya? Tidak, seharusnya Jardon salah. Aku tidak memperhatikannya, pikir David.
David memutuskan kembali ke kafetaria. Ia mengambil beef burger dengan mayonaise dan sebotol air mineral dingin, lalu membawanya ke Maryam yang duduk tenang membaca buku itu. Awalnya David ragu untuk mendekatinya, namun saat dia sudah berada di hadpannya, Ia pun memberanikan diri untuk bicara padanya.
“Maryam,” panggil David.
Maryam menoleh heran pada David.
“Ya?” jawab Maryam.
”You must be starving. Here are for you. Have them!” tawar David sambil menyodorkan makanan dan minuman di tangannya dengan sedikit gugup.
Maryam sedikit terkejut melihat kebaikan siswa pembelanya yang mendadak itu.
”Maaf, aku sedang berpuasa,” ucap Maryam mencoba menjelaskan.
“Puasa? Maksudmu, tidak makan tidak minum?” tanya David masih belum paham.
“Ya,” jawab Maryam menunduk.
”Baiklah, kau bisa menyimpannya. Pasti ada waktunya kau bisa makan dan minum lagi, kan?”
Maryam mengangguk lalu mengambil makanan dan minuman yang ditawarkan David.
“Terima kasih,” jawab Maryam sambil tersenyum.
David terlihat salah tingkah. Ia bingung harus berkata apalagi untuk memulai pembicaraan yang lain dengan Maryam. Dan akhirnya ia pun menyerah, lalu pamit ke kelas. Saat David sudah berada di kelas, ternyata Maryam datang lalu duduk di salah satu bangku yang ada di sana. Mereka tengah menunggu Dosen berikutnya. Sesekali, David menoleh pada Maryam. Maryam pun gugup diperhatikan begitu oleh David.
Saat jam kuliah berakhir, Maryam mengemasi buku-bukunya lalu beranjak keluar kelas. Sementara itu, David membuntutinya dari belakang. Dia ingin menjaga gadis itu dari teman-temannya yang membenci kehadirannya di kampus itu. Tiba-tiba saja ia menjadi penasaran dengan gadis muslim itu. Sejak jam istirahat berakhir dan jam kuliah dilanjutkan lagi, ia tak pernah berhasil untuk berkomunikasi lagi dengannya. Antara kebingungan karena tak tahu harus memulai dari mana dengan sesuatu yang berbeda yang terasa dalam hatinya. Untuk pertama kalinya selama ia hidup, David merasa wajah gadis Dubai itu seperti magnet dan ia sendiri ibarat logam yang tak bisa lepas dari magnet itu. Pada akhirnya, David mulai membenarkan ucapan Jardon tadi sedikit demi sedikit.
David merasa gadis itu memang seorang teroris. Gadis itu berhasil meneror pikiran dan perasaannya untuk selalu mengingat parasnya. Selama bersekolah di high school, David tak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya. Bahkan Anggel, teman sekelasnya yang terkenal dengan julukan The Next Miss World, pun tak pernah begitu menarik perhatiannya.
Dedaunan kering berguguran di sepanjang jalan trotoar menuju halte bus. Washington DC begitu hangat siang itu. Maryam berjalan menunduk menuju halte. Kerudungnya berkibar terembus angin yang sama dengan yang menerbangkan dedaunan kering di trotoar. Sementara David berjalan sambil menuntun sepedanya di belakang Maryam. Ia berharap bisa berbicara lagi dengan gadis muslim di depannya itu. Itulah sebabnya mengapa ia tidak mengendarai sepedanya tapi menuntunnya di belakang Maryam.
Tiba-tiba langkah Maryam terhenti di depan sana. David terkejut melihat Maryam berhenti di hadapannya, ia ikut berhenti. Lama Maryam tak membalikkan tubuhnya, ia masih saja membelakangi David. Maryam menarik napas, lalu berbalik menghadapi David dan menunduk.
“Maaf, aku merasa tak nyaman berjalan di hadapan anak lelaki yang juga berjalan menuju arah yang sama. Aku diajarkan untuk berjalan di belakang lelaki mana pun. Karena halte masih jauh, jadi kupersilakan kau berjalan duluan,” ucap Maryam masih sambil menunduk. Ini adalah kali pertama baginya berinteraksi dengan lelaki asing di tempat umum di kota itu.
David tersenyum lalu berjalan mendorong sepedanya, mendahului Maryam. Kini giliran Maryam yang berjalan di belakangnya. Tak lama kemudian David berhenti. Ia berbalik menghadap Maryam, Maryam pun langsung menunduk.
”Maaf. Sepedaku tak memiliki kursi penumpang. Aku jadi tidak bisa memboncengmu. Stasiun masih jauh,” ucap David pada Maryam sambil tersenyum.
“Masih maukah kau menikah denganku?” Tanya David. Maryam terperangah. Sudah lama sekali dia menunggu kalimat itu terucap oleh David. Dan sekarang, saat semuanya telah berubah menjadi lebih baik, dan David benar-benar mengucapkan itu padanya, lelaki itu sudah memiliki seorang anak.“Kau bisa bilang pada ayahmu bahwa aku sekarang seorang muslim,” bujuk David. “Bukan karena orang tuaku muslim, bukan karena cinta untuk mendapatkanmu, tapi karena hatiku telah mantap memilihnya.” Ditatapnya wajah Maryam yang menunduk dalam.”Aku masih mencintaimu, Dave. Aku tidak bisa melupakanmu. Demi Allah.” Suara Maryam bergetar, kemudian melanjutkan, ”Tapi bagaimana kau menjelaskan perihal anak laki-laki yang memanggilmu ‘Daddy’ tadi?”David tersenyum lembut. “Ibrahim!”panggilnya. anak lelaki berpipi merah seperti tomat matang itu keluar ragu-ragu dari dalam, menemui David.“Y
”Bapa, saya ingin menemui David, dan saya ingin Bapa ikut bersama saya.” Di tengah isak tangisnya yang menyiratkan keharuan, Maryam berujar.”Bapa tidak bisa ikut denganmu. Pergilah dan temui dia. Kau bisa memakai mobil Bapa. Sampaikan salam Bapa pada David, bilang padanya untuk berkunjung ke sini karena ayah angkatnya begitu merindukannya.””Sekarang kau juga anakku, Maryam,” lanjutnya lagi.”Terima kasih atas kebaikanmu, Bapa.” Maryam menunduk dengan takzim, meminta izin untuk segera undur diri dari kediaman pastur itu dan segera mencari alamat David.Saat Maryam hendak membuka pintu mobil, Pinokio, Anjing kesayangan David, menyalak seakan menuntut perhatian Maryam.”Bawalah Pinokio bersamamu, Maryam. Dia sudah sangat rindu pada David,” ucap Pastur itu. Maryam pun akhirnya membawa serta anjing itu bersamanya.Maryam melaju kencang menembus kota Washington bersama
Maryam menerimanya dengan tangan bergetar. Amplop surat itu terlihat sedikit usang, menandakan telah cukup lama usia pembuatannya. Pelan dibacanya isi surat itu. Maryam... Tahukah kamu? Sejak pertama kali aku melihatmu di gerbang sekolah itu, hatiku langsung luluh, entah mengapa. Aku sama sekali tak percaya kalau kau seorang teroris seperti yang dikatakan oleh teman-temanku di sekolah, padahal aku sungguh ingin mengusirmu dari sekolah sejak aku menerima i
Sebuah taksi mengantarkannya ke tempat itu. Semua masih terlihat sama seperti beberapa tahun lalu. Maryam mengintip dari balik jendela taksi sebelum akhirnya memutuskan untuk turun. Dia menghela nafas, berusaha menepis gemuruh di hatinya. Matanya memicing begitu melihat seekor anjing menyalak-nyalak, menatapnya dari kejauhan.Tiba-tiba segala kenangan bersama David kembali terngiang.“Maryam,” panggil David.Maryam menoleh heran pada David.“Ya?” jawab Maryam. ”You must be starving. Here are for you. Have them!” tawar David sambil menyodorkan makanan dan minuman di tangannya dengan sedikit gugup. Maryam sedikit terkejut melihat kebaikan siswa pembelanya yang mendadak itu. ”Maaf, aku sedang berpuasa,” ucap Maryam mencoba menjelaskan. “Puasa? Maksudmu, tidak makan tidak minum?” tanya David masih belum
Berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, Khaled menunggu Maryam untuk bisa menyentuh tubuhnya. Namun Maryam tak juga mengizinkan Khaled untuk menyentuhnya. Hingga suatu hari, Khaled duduk di samping Maryam. ”Maryam, aku menyerah. Hari ini... Ya, tepat hari ini.. Aku... Aku... Aku akan menceraikanmu...” Derai air mata tercurah dari mata bening Khaled. Dia gugup mengatakannya.Bagai tersengat listrik, Maryam kaget luar biasa mendengar ucapan Khaled yang tiba-tiba itu.
”Maryam....Berhenti...! Maryam...Berhenti...!” Teriak David lagi.Maryam pias begitu melihat sosok David berada di belakang, berusaha mengejar mobilnya.”Kemudikan mobil ini cepat-cepat, Pak!” Pinta Maryam pada sopir keluarga itu. Dihapusnya sisa airmata yang masih menggenangi pipinya.Khaled merasa iba saat mengetahui David begitu gigih ingin menemui Maryam untuk terakhir kalinya. Sementara ayah dan ibu Maryam tak kalah pias. Namun mereka lebih memilih diam, tak tahu harus berbuat apa.”Maryam... Aku mohon... Aku ingin bicara sekali lagi... Untuk yang terakhir kalinya...!” Teriak David.” Hentikan mobilnya!” Ayah Maryam menyuruh menghentikan mobilnya dan kemudian berujar pada Maryam, ”Turunlah, Nak. Temui dia untuk yang terakhir kalinya.”Saat mengetahui mobil itu berhenti, David langsung menghempaskan sepedanya. Dia berlari menuju mobil itu. Sesaat kemudian Maryam turun dari mobil