Maryam mengangkat wajah. Untuk kedua kalinya ia menatap mata David secara langsung setelah melihatnya di halaman sekolah pagi tadi. Wajah David yang tampan membuat Maryam bergetar. Baru kali itu ia merasakan getaran seperti itu. Di Dubai, Maryam dikuliahkan di universitas khusus perempuan sehingga ia nyaris tak pernah berinteraksi dengan anak lelaki seusianya. Hatinya mengatakan ingin sekali menaiki sepeda remaja itu, namun Maryam malu. Interaksi itu membuat hati Maryam sedikit gelisah. Ia masih menghawatirkan apakah yang dia lakukan itu adalah dosa atau tidak.
“Kenapa harus meminta maaf?” tanya Maryam,”lagi pula, aku tidak mungkin menerima tawaran tumpangan sepeda anak lelaki asing.”
David terdiam. Sedikit kecewa mendengar ucapan itu. Tapi kemudian ia maklum. Untuk berjalan sejajar pun tak boleh. Mana boleh bersepeda berboncengan?
“Kau berjalanlah duluan,” pinta Maryam kemudian.
“Tapi kau jangan jauh-jauh dariku, aku khawatir teman-teman kampus akan menjahatimu,” Pinta David.
Maryam memikirkan perkataan David itu sejenak. Entah kenapa ia tiba-tiba seperti terhipnotis untuk menuruti kalimat anak lelaki itu. ”Oke. Tapi kau jangan menoleh lagi.”
“Tapi aku boleh berbicara, kan?”
Maryam mengangguk. Hatinya bergetar hebat. Sementara David juga merasakan hal yang sama.
Ya Allah … jika ini dosa, ampuni aku … bisik hati Maryam.
Lalu mereka kembali melangakah dengan sama-sama terdiam di sepanjang trotoar. Langkah kaki mereka berbunyi tok-tok seirama dengan detak jantung David saat itu. Dedaunan terbang malu-malu melihat kedua remaja yang berbeda keyakinan itu sedang berjalan beriringan tanpa kata-kata. Untuk pertama kalinya Maryam berada sedekat itu dengan lawan jenis. Di Dubai, Maryam sangat terlindungi. Ayahnya selalu mengontrolnya dan melarangnya bergaul dengan laki-laki. Tapi hari ini, Maryam benar-benar nekad. Secara tak terduga, ia mau saja diajak berjalan beriringan dengan anak lelaki yang baru dikenalnya tadi pagi. Maryam merasakan sesuatu yang berbeda di hatinya, berdesir hebat.
David menoleh pada Maryam dengan gugup.
“Kau betah di sini?” David memberanikan diri memulai percakapan.
Maryam terkesiap. Tapi akhirnya ia menjawab, “awalnya tidak.”
“Aku bisa mengerti perasaanmu. Maafkan teman-temanku. Mereka butuh sedikit waktu untuk memahami bahwa kau tidak seperti yang mereka tuduhkan.”
“Aku mengerti,” sahut Maryam.
“Bagaimana di sana?” tanya David lagi. “Maksudku, negaramu. Uni Emirat Arab.”
“Dubai,” jawab Maryam. “Aku tinggal di Dubai. Dubai tanah kelahiranku. Rumahku.”
“Ya. Setiap orang akan sangat mencintai rumahnya.” David berucap sambil terus menuntun sepedanya. Ia sengaja memperlambat langkah untuk mengulur waktu.
“Apa Dubai jauh berbeda dengan Washington?”
Maryam ikut memperlambat langkahnya. Menjaga jarak dengan David. “Tentu. Sangat jauh berbeda. Di sana gersang banyak padang pasir, sementara di sini terasa dingin. Dan di sana kami sangat menjunjung tinggi sebuah adab. Adab untuk mengatur jarak antara lelaki dan perempuan yang bukan muhrim. Mungkin sebagian seperti di Amerika ini, bebas, tapi sebagiannnya lagi mereka tidak akan mau berduaan seperti ini di tempat asing.”
David tercekat. Keterusterangan Maryam mengusiknya. “Benarkah?” tanyanya.
“Ya. Bahkan di sana ada keluarga yang rela menghukum anaknya jika ketahuan berpacaran.”
David terkejut bukan main. Tapi Maryam tidak sampai melihatnya.
“Tadi aku mengikutimu bukan untuk maksud apa-apa,” ucap David setengah terbata. “Aku hanya berpikir, sedikit berbahaya bagimu berjalan di tengah kota dengan pakaianmu yang dianggap aneh dan berbahaya oleh warga kotaku. Dan aku tidak mau teman-teman menjahatimu” David menghentikan langkah kemudian berbalik menghadapi Maryam. Mereka telah sampai di halte.
“Terima kasih,” ucap Maryam sambil menunduk. Kerudungnya berkibar tertiup angin. Beberapa orang berambut pirang di halte itu memandang Maryam dengan sinis.
“Take care!” ucap David, lalu ia mulai menaiki sepedanya, bersiap untuk pulang.
“Hey!” teriak Maryam memanggil David.
David mengerem sepedanya, lalu menoleh ke arah Maryam.
“Terima kasih telah membelaku di hadapan teman-temanmu.” Maryam mengangkat wajahnya. “Terima kasih untuk burger air mineralnya. Aku akan memakannya ketika tiba waktu berbuka puasa nanti. Terima kasih juga sudah mempercayaiku. Aku sangat menghargainya.,” ucap Maryam. Sesaat kemudian, tersenyum kecil.
David mengangguk lalu kembali mengayuh sepedanya dengan kencang. Ia tersenyum sendiri. Untuk pertama kalinya David merasakan sesuatu yang berbeda ketika berdekatan dengan seorang gadis. Selama ini ia seringkali berinteraksi dengan banyak sisiwi di sekolahnya. Namun, tak seperti saat ia berinteraksi dengan Maryam.
Senyum David belum juga memudar sampai ia tiba di depan St. Paul. Rumahnya. Pinokio langsung berlari menyambutnya. Ia menyalak-nyalak girang melihat tuannya pulang.
”Hey, my Pinokio. I’ve got something to tell you, buddy!” seru David. Seolah-olah anjing itu mengerti apa yang ia katakan. Tiap kali David mengajaknya bicara, Pinokio hanya menyalak. Anjing itu mengikuti tuannya yang berjalan menuju kamarnya.
“Kau tahu siapa yang kutemui hari ini?” tanya David sambil membaringkan tubuhnya ke atas kasur. “Bidadari, Pinokio. Bidadari! Kau tidak akan tahu betapa cantiknya dia.” Mata David menerawang ke langit-langit kamarnya.
“Guk ... guk … guk ….” Pinokio hanya menyalak. Seolah berkata, “Benarkah?”
“Masih maukah kau menikah denganku?” Tanya David. Maryam terperangah. Sudah lama sekali dia menunggu kalimat itu terucap oleh David. Dan sekarang, saat semuanya telah berubah menjadi lebih baik, dan David benar-benar mengucapkan itu padanya, lelaki itu sudah memiliki seorang anak.“Kau bisa bilang pada ayahmu bahwa aku sekarang seorang muslim,” bujuk David. “Bukan karena orang tuaku muslim, bukan karena cinta untuk mendapatkanmu, tapi karena hatiku telah mantap memilihnya.” Ditatapnya wajah Maryam yang menunduk dalam.”Aku masih mencintaimu, Dave. Aku tidak bisa melupakanmu. Demi Allah.” Suara Maryam bergetar, kemudian melanjutkan, ”Tapi bagaimana kau menjelaskan perihal anak laki-laki yang memanggilmu ‘Daddy’ tadi?”David tersenyum lembut. “Ibrahim!”panggilnya. anak lelaki berpipi merah seperti tomat matang itu keluar ragu-ragu dari dalam, menemui David.“Y
”Bapa, saya ingin menemui David, dan saya ingin Bapa ikut bersama saya.” Di tengah isak tangisnya yang menyiratkan keharuan, Maryam berujar.”Bapa tidak bisa ikut denganmu. Pergilah dan temui dia. Kau bisa memakai mobil Bapa. Sampaikan salam Bapa pada David, bilang padanya untuk berkunjung ke sini karena ayah angkatnya begitu merindukannya.””Sekarang kau juga anakku, Maryam,” lanjutnya lagi.”Terima kasih atas kebaikanmu, Bapa.” Maryam menunduk dengan takzim, meminta izin untuk segera undur diri dari kediaman pastur itu dan segera mencari alamat David.Saat Maryam hendak membuka pintu mobil, Pinokio, Anjing kesayangan David, menyalak seakan menuntut perhatian Maryam.”Bawalah Pinokio bersamamu, Maryam. Dia sudah sangat rindu pada David,” ucap Pastur itu. Maryam pun akhirnya membawa serta anjing itu bersamanya.Maryam melaju kencang menembus kota Washington bersama
Maryam menerimanya dengan tangan bergetar. Amplop surat itu terlihat sedikit usang, menandakan telah cukup lama usia pembuatannya. Pelan dibacanya isi surat itu. Maryam... Tahukah kamu? Sejak pertama kali aku melihatmu di gerbang sekolah itu, hatiku langsung luluh, entah mengapa. Aku sama sekali tak percaya kalau kau seorang teroris seperti yang dikatakan oleh teman-temanku di sekolah, padahal aku sungguh ingin mengusirmu dari sekolah sejak aku menerima i
Sebuah taksi mengantarkannya ke tempat itu. Semua masih terlihat sama seperti beberapa tahun lalu. Maryam mengintip dari balik jendela taksi sebelum akhirnya memutuskan untuk turun. Dia menghela nafas, berusaha menepis gemuruh di hatinya. Matanya memicing begitu melihat seekor anjing menyalak-nyalak, menatapnya dari kejauhan.Tiba-tiba segala kenangan bersama David kembali terngiang.“Maryam,” panggil David.Maryam menoleh heran pada David.“Ya?” jawab Maryam. ”You must be starving. Here are for you. Have them!” tawar David sambil menyodorkan makanan dan minuman di tangannya dengan sedikit gugup. Maryam sedikit terkejut melihat kebaikan siswa pembelanya yang mendadak itu. ”Maaf, aku sedang berpuasa,” ucap Maryam mencoba menjelaskan. “Puasa? Maksudmu, tidak makan tidak minum?” tanya David masih belum
Berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, Khaled menunggu Maryam untuk bisa menyentuh tubuhnya. Namun Maryam tak juga mengizinkan Khaled untuk menyentuhnya. Hingga suatu hari, Khaled duduk di samping Maryam. ”Maryam, aku menyerah. Hari ini... Ya, tepat hari ini.. Aku... Aku... Aku akan menceraikanmu...” Derai air mata tercurah dari mata bening Khaled. Dia gugup mengatakannya.Bagai tersengat listrik, Maryam kaget luar biasa mendengar ucapan Khaled yang tiba-tiba itu.
”Maryam....Berhenti...! Maryam...Berhenti...!” Teriak David lagi.Maryam pias begitu melihat sosok David berada di belakang, berusaha mengejar mobilnya.”Kemudikan mobil ini cepat-cepat, Pak!” Pinta Maryam pada sopir keluarga itu. Dihapusnya sisa airmata yang masih menggenangi pipinya.Khaled merasa iba saat mengetahui David begitu gigih ingin menemui Maryam untuk terakhir kalinya. Sementara ayah dan ibu Maryam tak kalah pias. Namun mereka lebih memilih diam, tak tahu harus berbuat apa.”Maryam... Aku mohon... Aku ingin bicara sekali lagi... Untuk yang terakhir kalinya...!” Teriak David.” Hentikan mobilnya!” Ayah Maryam menyuruh menghentikan mobilnya dan kemudian berujar pada Maryam, ”Turunlah, Nak. Temui dia untuk yang terakhir kalinya.”Saat mengetahui mobil itu berhenti, David langsung menghempaskan sepedanya. Dia berlari menuju mobil itu. Sesaat kemudian Maryam turun dari mobil