Share

6. Terima Kasih Darinya

Maryam mengangkat wajah. Untuk kedua kalinya ia menatap mata David secara langsung setelah melihatnya di halaman sekolah pagi tadi. Wajah David yang tampan membuat Maryam bergetar. Baru kali itu ia merasakan getaran seperti itu. Di Dubai, Maryam dikuliahkan di universitas khusus perempuan sehingga ia nyaris tak pernah berinteraksi dengan anak lelaki seusianya. Hatinya mengatakan ingin sekali menaiki sepeda remaja itu, namun Maryam malu. Interaksi itu membuat hati Maryam sedikit gelisah. Ia masih menghawatirkan apakah yang dia lakukan itu adalah dosa atau tidak.

“Kenapa harus meminta maaf?” tanya Maryam,”lagi pula, aku tidak mungkin menerima tawaran tumpangan sepeda anak lelaki asing.”

David terdiam. Sedikit kecewa mendengar ucapan itu. Tapi kemudian ia maklum. Untuk berjalan sejajar pun tak boleh. Mana boleh bersepeda berboncengan?

“Kau berjalanlah duluan,” pinta Maryam kemudian.

“Tapi kau jangan jauh-jauh dariku, aku khawatir teman-teman kampus akan menjahatimu,” Pinta David.

Maryam memikirkan perkataan David itu sejenak. Entah kenapa ia tiba-tiba seperti terhipnotis untuk menuruti kalimat anak lelaki itu. ”Oke. Tapi kau jangan menoleh lagi.”

“Tapi aku boleh berbicara, kan?”

Maryam mengangguk. Hatinya bergetar hebat. Sementara David juga merasakan hal yang sama.

Ya Allah … jika ini dosa, ampuni aku … bisik hati Maryam.

Lalu mereka kembali melangakah dengan sama-sama terdiam di sepanjang trotoar. Langkah kaki mereka berbunyi tok-tok seirama dengan detak jantung David saat itu. Dedaunan terbang malu-malu melihat kedua remaja yang berbeda keyakinan itu sedang berjalan beriringan tanpa kata-kata. Untuk pertama kalinya Maryam berada sedekat itu dengan lawan jenis. Di Dubai, Maryam sangat terlindungi. Ayahnya selalu mengontrolnya dan melarangnya bergaul dengan laki-laki. Tapi hari ini, Maryam benar-benar nekad. Secara tak terduga, ia mau saja diajak berjalan beriringan dengan anak lelaki yang baru dikenalnya tadi pagi. Maryam merasakan sesuatu yang berbeda di hatinya, berdesir hebat.

David menoleh pada Maryam dengan gugup.

“Kau betah di sini?” David memberanikan diri memulai percakapan.

Maryam terkesiap. Tapi akhirnya ia menjawab, “awalnya tidak.”

“Aku bisa mengerti perasaanmu. Maafkan teman-temanku. Mereka butuh sedikit waktu untuk memahami bahwa kau tidak seperti yang mereka tuduhkan.”

“Aku mengerti,” sahut Maryam.

“Bagaimana di sana?” tanya David  lagi. “Maksudku, negaramu. Uni Emirat Arab.”

“Dubai,” jawab Maryam. “Aku tinggal di Dubai. Dubai tanah kelahiranku. Rumahku.”

“Ya. Setiap orang akan sangat mencintai rumahnya.” David berucap sambil terus menuntun sepedanya. Ia sengaja memperlambat langkah untuk mengulur waktu.

“Apa Dubai jauh berbeda dengan Washington?”

Maryam ikut memperlambat langkahnya. Menjaga jarak dengan David. “Tentu. Sangat jauh berbeda. Di sana gersang banyak padang pasir, sementara di sini terasa dingin. Dan di sana kami sangat menjunjung tinggi sebuah adab. Adab untuk mengatur jarak antara lelaki dan perempuan yang bukan muhrim. Mungkin sebagian seperti di Amerika ini, bebas, tapi sebagiannnya lagi mereka tidak akan mau berduaan seperti ini di tempat asing.”

David tercekat. Keterusterangan Maryam mengusiknya. “Benarkah?” tanyanya.

“Ya. Bahkan di sana ada keluarga yang rela menghukum anaknya jika ketahuan berpacaran.”

David terkejut bukan main. Tapi Maryam tidak sampai melihatnya.

“Tadi aku mengikutimu bukan untuk maksud apa-apa,” ucap David setengah terbata. “Aku hanya berpikir, sedikit berbahaya bagimu berjalan di tengah kota dengan pakaianmu yang dianggap aneh dan berbahaya oleh warga kotaku. Dan aku tidak mau teman-teman menjahatimu” David menghentikan langkah kemudian berbalik menghadapi Maryam. Mereka telah sampai di halte.

“Terima kasih,” ucap Maryam sambil menunduk. Kerudungnya berkibar tertiup angin. Beberapa orang berambut pirang di halte itu memandang Maryam dengan sinis.

“Take care!” ucap David, lalu ia mulai menaiki sepedanya, bersiap untuk pulang.

“Hey!” teriak Maryam memanggil David.

David mengerem sepedanya, lalu menoleh ke arah Maryam.

“Terima kasih telah membelaku di hadapan teman-temanmu.” Maryam mengangkat wajahnya. “Terima kasih untuk burger air mineralnya. Aku akan memakannya ketika tiba waktu berbuka puasa nanti. Terima kasih juga sudah mempercayaiku. Aku sangat menghargainya.,” ucap Maryam. Sesaat kemudian, tersenyum kecil.

David mengangguk lalu kembali mengayuh sepedanya dengan kencang. Ia tersenyum sendiri. Untuk pertama kalinya David merasakan sesuatu yang berbeda ketika berdekatan dengan seorang gadis. Selama ini ia seringkali berinteraksi dengan banyak sisiwi di sekolahnya. Namun, tak seperti saat ia berinteraksi dengan Maryam.

Senyum David belum juga memudar sampai ia tiba di depan St. Paul. Rumahnya. Pinokio langsung berlari menyambutnya. Ia menyalak-nyalak girang melihat tuannya pulang.

”Hey, my Pinokio. I’ve got something to tell you, buddy!” seru David. Seolah-olah anjing itu mengerti apa yang ia katakan. Tiap kali David mengajaknya bicara, Pinokio hanya menyalak. Anjing itu mengikuti tuannya yang berjalan menuju kamarnya.

“Kau tahu siapa yang kutemui hari ini?” tanya David sambil membaringkan tubuhnya ke atas kasur. “Bidadari, Pinokio. Bidadari! Kau tidak akan tahu betapa cantiknya dia.” Mata David menerawang ke langit-langit kamarnya.

“Guk ... guk … guk ….” Pinokio hanya menyalak. Seolah berkata, “Benarkah?”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ar_key
asyik mulai ada getaran, tapi maaf Thor aku gak paham bahasa Inggris sorry banget, padahal cakep loh .........
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status