Maryam masuk ke kamarnya lalu berbaring di atas kasurnya. Tiba-tiba wajah David terbayang di pelupuk matanya. Berkali-kali ia mengusir wajah itu, tapi bayangan wajah David yang tampan itu tak mau hilang juga dari matanya. Maryam lalu duduk. Dia beristigfar berkali-kali. Namun sesaat dia tersadar saat pertama kali menatap wajah remaja itu tadi ada perasaan aneh yang muncul secara mendadak. Lalu ditambah saat dia menemaninya belajar di kelas tadi dan saat dia menemani Maryam ke halte dengan alasan dia khawatir kalau mahasiswa dan mahasiswi yang tidak suka dengannya itu akan berbuat jahat padanya. Tulus sekali niat pemuda itu, pikir Maryam. Selama hidupnya baru kali itu ada seorang lelaki asing yang baik padanya.
Inikah cinta seperti yang dikatakan penulis kisah seribu satu malam itu? Atau seperti yang dikatakan William Shakespeare dalam karyanya Romeo dan Juliet?
Tidak, itu terlalu cepat untuk menyimpulkannya begitu. Selama ini Maryam tak pernah percaya dengan kisah-kisah cinta seperti itu. Hidupnya selalu kesepian. Ia selalu merasa terkekang oleh sikap tegas dan keras ayahnya. Ia tak pernah merasakan manisnya kehidupan gadis remaja seusianya. Kalau bukan karena pindah ke ibukota negara adidaya itu, Maryam yakin, dia tak akan merasakan itu.
Tiba-tiba Maryam tersenyum. Ia mengintip dalam-dalam setiap getaran rasa kagumnya pada remaja Amerika itu. Ya, akhirnya dia jujur, dia suka remaja itu pada pandangan pertama. Apa itu benar? Kalau salah kenapa tadi dia merasa senang dan tenang saat bersamanya di kampus tadi, selama ini Maryam selalu cuek dan menjauh jika ada lelaki yang mendekatinya saat di Dubai dulu, tapi tadi dia malah ramah dan mengikuti irama David yang mendekatinya.
Tiba-tiba pintu kamarnya diketuk. Maryam bergegas membuka pintu dan menemukan ayahnya berdiri di depan pintu dengan senyum. Ia datang untuk mengajak Maryam ke ruang keluarga. Mereka pun pergi ke ruang keluarga. Maryam duduk di hadapan ayahnya itu dengan menunduk.
“Bagaimana kampus barumu, Maryam?” tanya ayah Maryam.
“Menyenangkan, Ayah.” Maryam menjawab singkat.
“Syukurlah, semoga kamu betah di sana,” ucap Ayahnya.
Maryam senang melihat ayahnya mendukungnya.
“Ingat, kamu harus tetap menjaga diri dengan baik, jangan sampai para lelaki yang bukan muhrimmu itu menyentuh dirimu meski secuil pun,” pinta ayah Maryam.
Maryam mengangguk lalu ayahnya itu pergi ke kamarnya. Maryam bangkit lalu kembali berjalan ke kamarnya juga. Di sana dia kembali berbaring. Memikirkan nasehat ayahnya tadi. Mendadak dia menjadi lesu dan berpikir jernih untuk menjauhi remaja itu. Namun beberapa saat kemudian dia mengurungkan niatnya itu. Dia berpikir, David sopan padanya, jadi tak mengapa jika hanya sebatas teman saja.
***
Dan di pagi itu, David mengayuh sepedanya dengan kencang. Dia tampak lebih semangat dari biasanya. Saat dia tiba di parkiran kampusnya itu, dia melihat teman-teman sekampusnya belum ada yang datang. Apa mereka masih takut dengan Maryam? Pikir David. Lalu beberapa saat kemudian Maryam datang. David langsung menghampirinya.
“Maryam!” teriak David memanggilnya.
Langkah Maryam terhenti. Dia menoleh sesaat pada David lalu secepat kilat dia menunduk. David heran.
“Kau kenapa?”
Maryam menggeleng. David lebih heran.
“Kau sedang berpuasa berbicara?” tanya David lagi.
“Tidak ada puasa berbicara dalam ajaran agamaku,” jawab Maryam.
David merasa tidak enak.”Maaf, aku tidak bermasuk meledek, tapi aku benar-benar bertanya karena tidak tahu apa-apa tentang agamamu.”
Sesaat Maryam tersenyum,”Iya, tidak mengapa.”
“Mau ke kelas bersamaku?” pinta David.
Maryam mengangguk, lalu mereka berjalan beriringan menuju kelas. Maryam sudah lupa dengan permintaannya pada David kemarin kalau dia diajarkan untuk berjalan di belakang lelaki. Tapi kali itu entah lupa atau apa, dia malah tampak biasa saja dan senang berjalan berdua dengan David.
Dan saat sudah berada di kelas. Mereka tampak sudah mulai akrab dan mulai bercanda-canda. Hingga David lupa akan tugasnya sebagai ketua BEM yang diminta dosennya untuk meyakinkan teman-temannya satu jurusannya agar mau kembali mengikuti jam kuliah. Dan saat jam kuliah berakhir, saat mereka mau keluar kampus. Maryam menoleh pada David sambil mengemasi buku-bukunya.
“Di sini, di mana tempat membeli benda-benda untuk dijadikan hadiah?” tanya Maryam yang mulai berani dengan David.
“Aku tahu tempatnya,” jawab David.
“Ya, di mana?” tanya Maryam penasaran.
“Mau aku antar?” tawar David.
Maryam berpikir, dia tak berani jika harus jalan berdua dengan lelaki itu. Semalam ayahnya sudah mengingatkan tentang sikap yang harus dia ambil saat berhubungan dengan lelaki yang bukan muhrim.
“Tidak, aku tidak bisa ditemani olehmu. Biar aku sendiri saja yang ke sana jika kau mau memberitahukan alamatnya padaku,” jawab Maryam.
“Kenapa?” tanya David heran.
Maryam tampak terdiam. Dia tak ingin menjelaskan alasannya pada lelaki itu. Dia takut David tersinggung saat tahu alasan sesungguhnya.
“Aku belum bisa cerita sekarang,” ucap Maryam.
Lalu David memberitahukan alamat tokonya kepada Maryam. Ternyata Maryam harus menaiki bus cukup jauh untuk ke sana. Akhirnya Maryam pamit pada David untuk pergi duluan. David diam-diam mengikutinya dengan menaiki taksi dan meninggalkan sepedanya di parkiran kampus.
Saat Maryam berada di dalam bus, dia teringat obrolan ayah dan ibunya di ruang tengah dan tak sengaja ia dengarkan di kamarnya. Kedua orang tuanya itu sedang membahas hari ulang tahun ayahnya besok. Ibunya menanyakan hadiah ulang tahun apa yang ayahnya mau. Ayahnya bilang beri saja dia maninan kunci berbentuk ka’bah, agar dia selalu teringat kiblat dan benda itu akan turut mengingatkannya akan sholat lima waktu. Ibunya berjanji untuk memberika hadiah itu pada suaminya. Dan untuk alasan itulah Maryam menanyakan pada David tadi soal toko yang menjual benda-benda yang biasa dijadikan hadiah. Maryam ingin memberi hadiah itu pada ayahnya tepat di hari kelahirannya. M
“Kau belum tidur?” tanya ibunya heran. “Aku ingin mengucapkan selamat ulang tahun pada ayah, Bu,” ucap Maryam sambil tersenyum senang. Ibunya terkejut, dia baru teringat kalau malam ini suaminya itu ulang tahun. Padahal kemarin malam dia sudah berjanji untuk memberikan kado padanya. Namun dia tak menemukan hadiah yang diinginkan suaminya itu.
Sebuah Bus berhenti di halte. David dan Maryam pun turun dari sana. Sesaat gadis berkerudung itu menoleh pada David.“Terima kasih, Dave. Hari ini kau sudah membawaku untuk mengenal dunia,” ucap Maryam dengan senang.“Sama-sama. Dan aku akan selalu siap untuk menemanimu ke mana pun kau mau,” ucap David.Maryam lalu berbalik dan meninggalkan David di sana. David menatap punggung Maryam yang kian jauh dari pandangan matanya.Dan setelah itu, setiap kali pulang kuliah, Maryam meminta David untuk menemaninya kembali berkeliling kota. Maryam pun meminta David untuk menemaninya ke mall, ke toko buku dan ke tempat restoran Arab yang ada di sana. Mereka mulai saling dekat dan saling mengenal. Mereka mulai merasakan kenyamanan saat bersama.Dan saat Maryam pulang sehabis pergi bersama David itu. Hari itu ada yang berbeda dengan ayahnya. Ayahnya berdiri marah di ambang pintu menunggu Maryam pulang. Maryam berjalan ke arahnya den
Pagi itu kota Washington sangat cerah, secerah hati David. Remaja itu masih mengayuh sepedanya dengan kencang, dia tak sabar untuk segera sampai ke kampusnya. Hatinya juga tak sabar ingin bertemu dengan Maryam. Di sepanjang perjalanan di jalur sepeda itu, dia memikirkan untuk mengajak Maryam kemana lagi hari itu. Hampir dari setiap sudut di kota itu sudah dia perkenalkan pada gadis itu.Setiba di kampus, David sangat senang saat melihat semua teman-temannya sudah berada di kelas untuk bersiap menerima materi kuliah lagi hari itu. Hatinya bertanya-tanya, siapa yang menggerakkan mereka untuk datang kembali ke kampusnya. Padahal dia sudah melakukan berbagai cara untuk membujuk dan meyakinkan mereka kalau Maryam bukan seorang teroris. Apa mereka sudah menerima Maryam dengan baik? Tanya David dalam hati. Lalu seketika mata yang biru itu mengitari seisi kelas. Dia heran karena tidak menemukan Maryam di sana.Jardon yang melihat David langsung menghampirinya.&nb
Sementara itu, Rusahel berdiri di depan pintu masuk asrama gereja. Dia heran sudah selarut itu anak angkat belum pulang juga. Pinokio–angjing kesayangan David datang menghampiri Rashel. Sepertinya anjing itu juga sedang menunggu sahabatnya datang. Pinokio tiba-tba berputar-putar dan menyalak-nyalak. Rushel menatap anjing itu dengan heran. ”Kau juga khawatir terhadap David?” tanya Rushel panjingnya itu. Pinokio menyalak-nyalak lagi. ”Tenanglah, sebentar lagi juga David pasti pulang. Ayo tunggu saja di dalam,” pinta Rushel pada anjingnya itu. Namun saat Rashel melangkah ke dalam gerbang asrama. Pinokio malah berlari keluar. Rushel pun heran lalu berteriak padanya.
Hampir tiga hari David kembali diwarat di rumah sakit. Para biarawan bergantian menjenguknya di sana. Dan hari ketiga itu, Anggel datang menemuinya. Duduk di dekatnya sambil memandanginya dengan sedih. ”Hai, Dave,” sapa Anggel. David menoleh padanya. “Mana Jardon?” tanya David pelan. “Sepertinya dia masih kesal denganmu,” jawab Anggel. David menghela napas. “Maafkan aku kalau aku mengacaukan niat kalian, tapi percayalah padaku Anggel, dia bukan teroris,” ucap David yang kembali memberla Maryam walau
Sedari tadi Jardon memang tidak menyadari ada Maryam di sana. Dia menyangka yang mengajaknya bicara tadi adalah salah satu mahasiwi di kampusnya.“Kau?” ucap Jardon ketakutan lalu langsung mundur tiga langkah dari hadapan Maryam.My terorrist classmate!“Ya, ini aku,” kata Maryam,“dan aku bukan teroris. Percayalah,” Maryam mencoba menjelaskan. “Aku memang muslim. Dan keyakinanku tidak mengajarkan terorisme. Sebaliknya. Kami mencintai perdamaian dan sangat menghargai perbedaan.”Jardon tampak tak percaya mendengarnya.“Lalu bagaimana kau menjelaskan aksi teror oleh orang-orang muslim itu? Mereka ingin menghancurkan negara kami. Amerika kami,” ucap Jardon, masih tak bisa menerima argumentasi Maryam.Maryam menggeleng lemah sambil tersenyum,“Mereka keliru, tentu saja. Mereka memiliki pandangannya sendiri. Dan itu adalah sesuatu yang bisa dijelaskan dengan mengingat lagi
Maryam pun berpikir. Dia harus melakukan sesuatu untuk melawan ayahnya itu. Bukan sesuatu yang durhaka, tapi dia ingin agar ayahnya mengerti bahwa dia juga perlu kebebasan untuk memilih dan menentukan sesuatu selama itu tidak melanggar ajaran agama yang dia anut. Maryam benar-benar ingin kembali pada kampus lamanya. Dia tidak sudah di kampus yang barunya. Maryam pun mengurung diri di kamarnya seharian. Dia bolos kuliah dan melewatkan makan siang dan makan malam. Ayah dan Ibunya heran. Ayahnya langsung mengetuk pintu kamar anak gadisnya itu.“Maryam, buka pintunya, kau akan sakit jika terus-terusan mengurung diri di kamar!” teriak ayahnya. Ibunya menangis di dekat ayanya.“Keluar lah, Maryam? Ada apa denganmu?” tanya ibunya sambil teriak.“Aku ingin pindah ke kampus lamaku, ayah!” teriak Maryam di dalam kamar, “aku tak mau kuliah di kampus yang baru. Aku tak akan keluar kamar jika ayah tak mau mengembalikan aku ke kampus