"Aku telah salah melangkah, Seruni," ucap Ardi kembali seraya menghempaskan diri ke sandaran kursi.Seruni yang merasa bagai terpental jatuh dari atas gedung ikut menyandarkan diri pada kursi. Sudah sekian angan tercipta, ribuan harapan terukir. Kini lelaki yang katanya siap melayarkan bahtera bersamanya ternyata memilih memutar haluan."Mas bilang cinta padaku?" ucapnya lirih seraya memandang keluar mobil. Terasa ada yang menghangat pada kedua kelopak mata.Ardi memilih bergeming atas pertanyaan itu. Sementara di luar, rintik hujan mulai turun perlahan. Seolah menggambarkan hati Seruni yang tengah berderai karena sikap dingin Ardi."Lantas sekian banyak inbox yang isinya kalimat rindu dan ungkapan cinta itu, maksudnya apa, Mas? Hanya bercanda?"Wajahnya kini menatap sang lelaki."Seruni, aku minta maaf padamu. Aku telah salah menempatkan rindu. Selama ini aku terus menghindar dari Ze tapi apa yang kudapat. Aku kalah. Aku telah jatuh cinta padanya. Bahkan semenjak-"Ardi menghentikan
Ze membelalak mendengar ajakan Ardi. Dia tersenyum kecut tapi detik berikutnya membuang wajah. Jujur ia benci mendengar tawaran itu keluar dari bibir mantan suaminya.Bagaimana tidak, bukankah tadi pagi dia baru saja tahu jika Ardi mengajak Seruni bertemu? Tapi sekarang, kenapa ngajak rujuk? Pasti ada sesuatu yang ditutupi Ardi sehingga dia meminta rujuk.Berbagai pikiran menghampiri begitu saja di benak sang wanita.Ze membuang napas berat.Dia pernah bodoh karena mengira Ardi telah mencintainya setelah dua tahun bersama. Sekarang dia tidak mau dibodohi untuk kedua kali oleh lelaki itu dengan ajakan untuk rujuk. "Mas minta maaf sudah menceraikan kamu waktu itu, Mas akui Mas salah. Beri kesempatan untuk memperbaikinya."Ze menatap lelaki yang kini terlihat begitu serius."Kenapa Mas tiba-tiba pengen rujuk? Apa karena ditolak Seruni?"Masih dengan saling memandang, Ardi menjawab."Bukan.""Lalu kenapa?"Ardi membuang napas berat."Manusia tempatnya salah. Dan sekarang Mas sudah sadar
"Kamu kenapa Ze?" tanya Yeni melihat sahabatnya tersebut diam sembari menatap satu titik."Oh, nggak ada, Yen. Yaudah yuk langsung masuk."Oke, kita nunggu teman-temanku yang lain di lobi aja ya.""Oke."Mereka kembali melanjutkan perjalanan, sampai di lobi keduanya duduk menanti sahabat yang lain. Tiba-tiba Ze melihat Ardi keluar dari ruangan yang sepertinya adalah ruangan administrasi.Wanita itu mengucek mata.Benarkah yang kulihat ini? Mas Ardi?"Yen, aku mau ke kamar mandi bentar ya," pamitnya hendak mengejar Ardi."Oh iya oke. Aku tunggu di sini.""Sip."Ze mengejar langkah Ardi yang terus berjalan menuju sebuah kamar. Lelaki itu menutup pintu, membuat Ze tidak tahu apa yang terjadi di dalam sana. Ia akhirnya memilih menyembunyikan diri di balik tembok.Tak berapa lama, pintu ruangan itu kembali terbuka. Ternyata Ardi yang keluar dan pergi menjauh. Apakah Mas Ardi benar-benar pergi? Atau hanya pergi sebentar?Ze membuntuti dari belakang hingga sampai di koridor menuju lobi. Ter
Usai acara makan malam bersama, Ze pamit ke kamar. Sementara Ardi masih asyik bersama ibunda tercinta di ruang televisi. Ze masuk ke kamar Ardi, sesuai janji malam ini mereka tidur sekamar. Dia naik ke atas ranjang dengan perasaan tak enak. Tujuh hari yang lalu, ia masih tidur leluasa di ranjang ini. Ternyata dua tahun berlalu begitu cepat dan bahkan malam ini ia sudah bergelar janda meski masih dalam masa iddah.Ze mengambil bantal tidur, ini miliknya dan Ardi tidur di bantal guling. Ya, begitu lebih baik. Wanita itu membaringkan kepalanya. Jujur tidak ada keinginan untuk terpejam, tapi dua netranya benar-benar curang. Hanya berselang lima menit, ia sudah tak sadarkan diri lagi.Sementara itu di ruang televisi,"Ze mana?" tanya sang ibu setelah cukup lama dia dan Ardi duduk bercengkerama seraya menonton televisi. Ardi menoleh ke belakang. Tampak sepi."Sepertinya udah tidur, Ma.""Ya Allah, kasihan. Udah Mama juga mau tidur. Kamu pergi nengokin Ze, gih.""Iya, Ma."Ardi berjalan h
Beberapa kali ponsel Ardi berdering, tapi lelaki itu terlalu nyenyak hingga tak menyadarinya. Sementara di luar, bel rumah juga ikut berbunyi beberapa kali. Lelah terasa jemari tamu yang hendak menjenguk sang lelaki menekan bel. Hingga tamu tersebut memutuskan untuk mendorong pintu. Siapa tahu tidak dikunci.Ternyata memang benar, pintu rumah itu terbuka hanya dengan sebuah dorongan. Tamu wanita tersebut memberi salam."Assalamualaikum."Tidak ada jawaban. Dia kembali mencoba memanggil melalui ponsel, usahanya tetap sama seperti tadi. Ardi tak mengangkat panggilan itu. Dengan segenap keberanian dia putuskan untuk masuk tanpa permisi.Sejujurnya ada rasa sakit yang membersamai. Mengingat jangankan ke rumah tersebut menelpon saja Ardi melarang. Tapi keberaniannya saat itu tentu saja atas alasan rasa cemas, karena tadi baru saja mengetahui Ardi sedang tidak dalam keadaan baik.Ia masuk lebih jauh ke dalam rumah, sepi. Seperti tak berpenghuni."Permisi, ada orang di rumah?"Tak ada jaw
Dari kecil Ze terbiasa menyimpan luka. Bukan tanpa sebab, karena dia merasa tidak pantas berkeluh. Paman dan istrinya telah berbaik hati mau menampung, rasanya sangat tidak bersyukur jika dirinya masih mengeluh pada mereka, tentang apa saja yang tak disukai tapi harus diterima sebagi wujud bakti.Karena itulah Ze menjadi pribadi yang introvert. Tapi setelah menikah, dia seperti menemukan tempat ternyaman untuk berbagi. Sayangnya Ardi sebagai suami tak pernah benar-benar ikhlas menerima setiap keluhan sang istri.Bukan tak terasa di hati Ze, tapi ia mencoba abai dan menganggap sikap dingin sang suami hanya karena bawaan sejak lahir. Namun, setelah dia tahu apa yang sebenarnya terjadi, perasaannya begitu hancur.Diceraikan demi kembali pada wanita masa lalu itu rasanya begitu menyesakkan."Ze, beritahu Ibu mertuamu tentang musibah ini," perintah paman Ali pagi itu sebelum jenazah Bibi dikebumikan. Ze terhenyak dari lamunan."Baik Paman."Ze mengangguk dan segera menelpon mama mertua. Da
"Bruukkk!"Tanpa mendengar lagi jawaban dari Ardi, Ze menutup pintu kamar. Sang lelaki terduduk lesu di atas ranjang. Ternyata Ze tahu semua kartu buruknya. Tapi wanita itu tak pernah tahu jika benar dia sudah memutuskan untuk meninggalkan Seruni.Bagaimana caranya agar aku bisa membuktikan hal ini?Malam itu Ardi tidur bersama saudara Ze dari pihak ayah, sedang Ze sendiri tidur bersama ibu mertua. Keduanya ternyata sama-sama tak bisa terpejam dengan nyenyak. Ardi mengeluarkan ponsel dan mencoba mengirim pesan kepada sang mantan istri.[Aku minta maaf.][Akui semua kesalahan Mas dihadapan Paman juga Mama esok. Berani berbuat, berani bertanggung jawab.]Ardi membaca balasan pesan itu dengan keringat dingin keluar di pelipis. Dalam hal ini mungkin dia masih belum bernyali, mengingat paman Ze adalah tipe lelaki yang tegas.Bagaimana jika setelah jujur, justru lelaki itu yang menentang mereka kembali?[Di depan Mamaku saja?][Di depan pamanku juga. Mas menikahiku di hadapan mereka, jika
Ardi masih bergeming, inginnya tak begini. Ia berharap saat itu juga Ze bisa menerima permintaan rujuknya."Perlu Paman sampaikan lagi Ardi, bahkan Paman tidak bermaksud menahan keinginan kamu untuk rujuk. Karena sudah disebutkan dalam firman Allah, bahwasanya suami berhak untuk merujuk istri jikalau masih dalam masa iddah. Itu berarti tidak ada satu orangpun yang bisa menahan keinginan tersebut, sekalipun istrinya sendiri. Tapi yang ingin Paman jaga di sini adalah ketulusan dan keseriusan kamu terhadap niatmu itu. Paman sebagai wali dari pada Ze, mempunyai kewajiban untuk melindungi keponakan Paman ini dari hal-hal yang tidak baik. Sebagaimana pernah tersebut dalam sebuah riwayat, Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas bahwa pada masa Rasulullah saw ada seorang laki-laki yang menalak istrinya, kemudian sebelum masa idah istrinya itu habis, dia merujuknya kembali. Setelah itu dijatuhkannya talak lagi kemudian rujuk kembali. Hal ini dilaksanakan untuk menyakiti dan menganiaya istriny