Dua tahun hidup bersama, tak membuat Ardi mencintai istrinya. Dia masih saja berharap bisa hidup bersama dengan gadis yang pernah mengisi hidup sebelum pernikahannya dengan Ze terjadi. Meski begitu, Ardi tak pernah jujur, ia selalu menutup rapat akan hal itu. Hingga suatu ketika Ze tak sengaja membuka ponsel lelaki itu dan menemui ratusan inbox berisi kalimat cinta dan rindu yang tertuju untuk seorang wanita bernama Seruni. Bagaimanakah kelanjutan kisah mereka? Akankah Ze mampu mengembalikan hati suaminya yang telah tersesat pada wanita lain?
Lihat lebih banyakMas, ada yang nelpon ne dari Mbak Della."
Ze berteriak di balik pintu kamar mandi mengabarkan suaminya bahwa ada sepupu yang menelpon.
"Diangkat aja bentar, kasih tahu Mas lagi mandi."
"Iya, Mas."
Baru hendak mengangkat, panggilan sudah dimatikan.
Ze kembali menatap foto layar di ponsel Ardi, foto dimana lelaki itu memakai pakaian adat Padang saat pernikahan mereka dahulu.
Dia sudut bibir Ze tersenyum tipis.
Dua tahun menikah, dia jarang sekali membuka ponsel Ardi. Sedikit merasa segan dan percaya saja jika lelaki itu adalah tipe lelaki setia.
Tapi siang ini sesuatu menuntun jemarinya untuk iseng membuka lebih jauh isi ponsel tersebut.
Mulai dari W*, sampai chat di inbox. Ze pernah mendengar cerita temannya dimana dia mendapati suaminya ngechat perempuan melalui inbox.
W******p aman. Sekarang giliran massenger. Beberapa nama perempuan yang ngajak kenalan di inbox tak satupun dibalas oleh Ardi. Ze semakin jauh melihat hingga sampai di nama ke sepuluh.
Seruni.
Sebuah nama yang bagus, wanita itu membuka isi chatnya.
[Aku tidak bisa berpura-pura tidak merindukanmu karena aku selalu melihatmu dalam segala hal yang kulakukan.]
*
Jantung Ze seketika berdegup membaca pesan tersebut.
Benarkah ini pesan yang dikirim Mas Ardi?
Karena masih dipenuhi rasa penasaran, akhirnya Ze kembali menscroll pesan di akun itu mulai dari yang paling atas. Ia melirik ke kamar mandi, dimana percikan air masih terdengar berjatuhan.
Aman.
Ze kembali menatap tanggal terkirim dengan seksama. Ada dua puluh empat pesan yang terkirim ke nomor itu setiap bulannya. Tapi benar-benar tak satupun ada balasan.
Ze menelan ludah, terasa bagai menemukan ranjau di dalam rumah. Debar di dada begitu menyesakkan.
Seluruh pesan ia baca hingga sampai pada pesan yang terkirim bulan lalu.
[Saat ini aku hanya bisa menahan rindu dengan menyibukkan diri akan banyak hal. Tapi percayalah, hati selalu menanti waktu untuk menumpahkan kerinduannya, bersamamu. Seruni, kembalilah. Aku merindukanmu.]
Jemari Ze kini terasa kaku, napas seakan tercekat di tenggorokan.
Tidak mungkin orang lain, semua ini pasti dikirim oleh Mas Ardi sendiri. Tapi siapa Seruni? Apa mereka pernah membina hubungan dan terputus karena perjodohannya denganku? Ya Allah ...
Hati Ze seperti teremas, penyesalan mulai menghujam jantung. Selama ini ia berpikir dirinyalah wanita yang paling beruntung di dunia. Bisa menikahi lelaki tampan, mapan dan sholih. Tapi ternyata, itu semua hanya topeng.
Dua tahun bersama, Aedi selalu terlihat baik. Tapi bagaimana bisa lelaki itu menutupi semuanya?
Mas Ardi selama ini memang baik, tapi aku baru sadar dua tahun bersama, dia tidak pernah menyatakan cinta dan rindunya padaku. Apa mungkin karena semua itu telah lebih dulu dimiliki wanita lain.
Ze menyapu air mata yang jatuh tanpa bisa tertahan. Sakit hati tak tahu harus bagaimana meluapkan.
Tiba-tiba, pintu kamar mandi terbuka. Ze terhenyak dan segera mengembalikan ponsel Ardi ke atas ranjang.
"Lagi ngapain?"
Sang wanita menarik napas, tak mungkin langsung ia pertanyakan soal pesan ini pada Ardi. Ze akan mencari tahu kebenaran fakta itu dan setelahnya baru meminta Ardi untuk jujur.
"Cuma lagi buka-buka status w* aja, Mas," jaw*b Ze sekuat tenaga menjaga intonasi suara agar tidak beriringan dengan isakan.
"Kenapa, lagi bosan?"
Ze mengangguk pelan.
"Kalau bosan ajak Sandy ke mall, belanja. Nanti pakai mobil Mas aja. Mau Mas yang nelpon dia?"
"Nggak usah Mas, nanti aku sendiri yang telpon."
"Yaudah. Oya, Mas mau sekalian ijin ke Bandung selama dua hari."
"Ke Bandung?"
"Iya. Mas ditugaskan untuk ikut pelatihan di sana."
"Kenapa mendadak?"
"Baru dikabari tadi pagi. Kamu nggak papa 'kan tinggal sendiri selama dua hari? Atau kalau kamu takut, nginap di rumah Ibu aja sampai Mas pulang."
Ze menatap lelaki itu, membaca sorot mata yang kini terlihat penuh misteri.
Benarkah dia ke Bandung untuk mengikuti pelatihan? Atau ...
Pikiran buruk seketika merajai jiwa. Ze mencoba menarik napas dalam.
"Mana surat perintah tugasnya Mas, aku boleh lihat?"
Ardi berjalan ke meja lalu mengeluarkan sebuah amplop dari dalam tasnya dan menyerahkan pada Ze. Sang istri meraih benda itu lalu membaca dengan seksama.
Alhamdulillah ada sedikit kelegaan karena sampai sini dia tidak berbohong. Aku kembali menatapnya. Lalu siapa Seruni, Mas?
Ingin sekali Ze menanyakannya, tapi tak jua pita suara mampu bergetar untuk menghasilkan nada.
"Kamu udah percaya 'kan?"
Ze menganggukkan kepala.
"Mau nginap di sini atau di rumah Ibu?" tanya Ardi lagi.
"Aku pulang ke rumah Ibu aja."
"Yaudah, tapi nanti diantar Sandy aja ya. Selalu hati-hati kemanapun kamu mau pergi."
Ardi mengecup kening Ze sekilas, lalu mengenakan pakaian. Lelaki itu tampak begitu gagah, kemeja batik lengan pendek kini telah menyatu dengan tubuh. Sebuah ransel melekat di punggung.
Ardi menarik koper yang telah disiapkannya seorang diri lalu mengajak Ze keluar dari kamar.
Mereka telah sampai di pintu, dan ternyata sebuah mobil memang sudah berhenti di depan pagar.
"Pergi ya, Ze."
Sahabat Mas Ardi yang bernama Agung menyapa dari luar pagar.
"Oke Mas, hati-hati, ya."
Ze melambaikan tangan pada mereka yang kini menjauh pergi. Lalu tubuh dengan lunglai digerakkan untuk kembali ke dalam rumah. Memilih sofa ruang tamu untuk melepas lelah karena memendam gundah sedari tadi.
Bayang pesan di massenger Mas Ardi kembali terlintas. Dadanya seketika kembali terasa sesak.
Tiba-tiba, suara dering ponsel terdengar di bawah bantal sofa. Pikirannya buyar, Ze segera mencari benda tersebut. Betapa terhenyak saat tahu ternyata ponsel Ardi yang tertinggal karena tadi lelaki itu sempat duduk di kursi tamu untuk memakai sepatu. Dan ia sempat membuka ponsel mengetik balasan pesan untuk seseorang.
Mencoba tetap tenang, Ze membuka pesan w* yang masuk untuk kedua kali.
Pesan pertama,
[Hai.]
Pesan kedua,
[Apa kabar, Mas? Maaf ya selama ini aku selalu mengabaikan inbox darimu. Ada beberapa hal yang membuatku harus bersikap seperti itu, terutama jika mengingat status kita yang tak lagi bersama. Kuharap kamu bisa mengerti dan tidak membenciku. Katamu, kau ingin bertemu, baiklah kupenuhi. Temui aku di tempat pertama kita bertemu.]
Seketika tangan Ze bergetar, sedang hati seperti ada yang menusuk kuat hingga darahnya berserakan ke seluruh tubuh. Dia
mencoba menenangkan jiwa dengan menarik napas dalam.
Ze segera melihat akun pengirimnya yang belum diberi nama.
Seruni.
Astaghfirullah, wanita ini lagi? Ternyata inilah wanita yang dirindui suamiku selama ini?
Dua netra Ze membelalak, sedang jantung seolah kehilangan degupnya.
Ya Allah, jika Mas Ardi membaca pesan perempuan ini, mungkinkah mereka akan bertemu di sana?
***
Bersambung
Tidak ada ketaatan seorang istri kepada suami, melainkan telah Allah janjikan surga untuknya.***Tiga tahun berlalu begitu cepat. Tak terasa kini di hidupku sudah ada buah cintaku dan Mas Han yang hari ini genap berusia dua tahun. Tak banyak yang berubah, selain kualitas bahagia yang semakin jauh biduk rumah tangga mengarungi semakin bertambah pula kadar rasanya.Aku membelalak menatap test pack bergaris dua yang subuh tadi telah kupakai ini. Antara terkejut dan bahagia, entahlah. Mungkin ini terlalu cepat, tapi dengan penuh kesadaran kuiyakan saat Mas Han membujuk untuk bersedia kembali menambah jumlah keluarga ini.Oya berbicara tentang usaha, kini suamiku dan Abi sukses merintis usaha jual beli mobil klasik. Usaha ini membuat Mas Han tidak lagi mencoba melamar pekerjaan sesuai dengan kemampuannya di luaran sana. Mengingat hasil yang didapat melebihi target yang diperkirakan. Menurutku ini adalah sebuah anugerah untuk keluarga kecil kami ini yang sangat kusyukuri.Sambil menunggu M
Kedua kaki Seruni tiba-tiba kehilangan kekuatan, ia seketika terjatuh ke lantai. Bersyukur, Han dengan segera menangkap dan berhasil mendudukkan ibundanya di atas sofa."Ambilkan segelas teh hangat," pinta Ze pada ART nya."Baik, Bu."Mereka semua mendekati Seruni yang sudah ditidurkan Han di atas sofa."Maaf ya Abi, Umi. Padahal tadi di rumah, Ibu terlihat cukup sehat. Tapi kenapa tiba-tiba jadi pingsan begini, ya?" tanya Han khawatir. Ze dan Ardi terkejut bukan main mendengar ucapan Han tersebut."Dia ibu kandung kamu, Han?" tanya Ze yang masih tak percaya dengan kenyataan tersebut.Sementara Han, tanpa ada perasaan apapun seketika mengangguk yakin. Membuat Ardi dan Ze saling bertatapan."Kapan kamu menemukannya? Dan bagaimana kamu sangat yakin jika dia ibumu?"Ze kembali melempar pertanyaan."Menurut pengakuan Ibu sendiri, Mi. Tapi Han sudah mengirim sampel rambut untuk diuji DNA lagi. Supaya lebih pasti.""Hasilnya udah keluar?"Han menggeleng."Tapi kenapa kamu seyakin itu?"Ze
Seruni menatap Han yang sudah tampak rapi dan ingin memimpin shalat subuh pagi itu, sungguh rasa syukur tak henti ia langitkan kepada Rabb semesta alam. Betapa hal ini tidak terbayangkan dalam pikirannya, tapi Allah telah menjadikan semua itu nyata.Sementara di hadapan, Han menyunggingkan selarik senyum ke arah ibu dan istrinya lalu mengambil posisi di depan. Dia memang bukan lelaki dengan tingkat keimanan yang tinggi, tapi setidaknya Han pernah beberapa kali memimpin shalat saat masih duduk di bangku kuliah dahulu.Usai shalat, mereka membaca doa bersama, dilanjutkan duduk berzikir. Selesai semuanya pukul enam. Han mengajak sang ibu ke taman belakang, sementara Syarifa memilih ke dapur untuk menyiapkan sarapan.Duduk di taman, Han mengajak ibundanya berbicara."Bu, pagi ini aku akan berangkat kerja. Nanti di rumah, Ibu akan ditemani Syarifa. Boleh 'kan, Bu?" tanya Han seraya memegang jemari sang ibu.Seruni menatap snag anak, entah kenapa perasaannya tidak enak."Pergilah, lakukan a
Han berlari memeluk ibundanya. Ada rasa sedih dan haru yang melebur menjadi satu, jika mengingat semenjak lahir tak pernah tahu siapa wanita yang telah melahirkannya ke dunia ini.Tapi Allah Maha Baik, menampakkan semuanya meski waktu telah bergulir sedemikian lama.Kini, ia tak mau lagi kehilangan ibundanya. Setiap waktu, akan ia pergunakan untuk menggantikan semua detik yang telah berlalu. Ia benjanji untuk itu.*Setelah beberapa waktu terlalui, Seruni melerai pelukan lalu ia memerhatikan wajah sang anak dengan seksama. Wanita itu menggerakkan tangannya untuk mengusap wajah Han mulai dari rambut, alis, mata, hidung, pipi lalu membingkai wajah Han dengan kedua tangan yang tampak kotor tak terurus.Dua netra yang sedari tadi berkaca kini menumpahkan cairannya. Isak tangis menghiasi hari paling bersejarah tersebut."Sudah habis cara kuberdoa pada Allah. Tidak lain aku meminta Allah panjangkan umur agar bisa bertemu denganmu, Anakku."Hana kembali memeluk sang Ibu. Seperti halnya Serun
"Seruni?"Degup di dada Han menyentak kuat. Telah lama bahkan setelah kepindahan ke Qatar pun, ia terus mencari keberadlaan ibunya melalui seseorang yang ia percayai untuk hal itu. Tapi sampai detik ini, tak ada kabar apapun yang ia fapatkan.Dan, apa ini? Apa benar dialah wanita yang ia cari selama bertahun-tahun?"Apa Ibu pernah melahirkan seorang anak lelaki?"Han kembali melempar pertanyaan untuk mematahkan tanya dalam hatinya. Sementara itu, wajah Seruni seketika tertuju Han."Kenapa kamu bertanya sangat detail tentang hidup saya? Apakah penting untukmu?""Penting Bu. Sangat penting, tolong jawab dengan jujur. Apa Ibu pernah melahirkan seorang anak lelaki ke dunia ini?"Seruni yang merasa pertanyaan itu menganggu ketenangan batinnya, mencoba memaksakan diri untuk menjawab."Iya, pernah.""Apa Ibu melahirkan anak itu di penjara?"Dua netra Seruni melotot, lalu menunduk. Ia terdiam beberapa waktu."Bu."Sentuhan tangan Han di pundaknya membuat Seruni tercekat."Iya."Seruni tampak
Udah siap mandi ya, Bi?" tanya Ze pada suaminya yang baru keluar dari kamar mandi."Udah Sayang, kenapa?""Tolongin Umi bentar. Pasang kancing bagian belakang ini."Ze menunjuk punggungnya. Dia kini memakai gamis dengan model kancing di belakang."Iya, Sayang. Bentar, ya."Abi meletakkan handuk pada gantungan dan berjalan mendekati sang istri. Ia mengepaskan dua sisi baju Ze yang terbuka untuk memudahkan mengancingnya. Tapi pemandangan di depan mata, membuatnya berhenti bergerak."Kok nggak dikancing, Bi?" tanya Ze melihat suaminya tak melakukan apa yang dia pinta."Nggak, Abi cuma sedang mengagumi kemulusan kulit istri Abi ini."Ze tersenyum melihat suaminya suka sekali memuji padahal usia sudah tak lagi muda."Pandainya Abi merayu, ayo katakan Abi pengen apa?""Abi nggak sedang merayu, Sayang. Kenyataannya memang begitu."Sang suami sudah selesai memasang kancing. Dia kini memeluk sang istri dari belakang."Coba Umi lihat wajah di cermin."Pandangan mereka saling bertemu pada cermin
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen